Politik
Pangan Pulau Kecil
Muhamad
Karim ; Dosen
Bioindustri UniversitasTrilogi,
Direktur Pusat
Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
|
SINAR
HARAPAN, 20 Mei 2014
Isu
pulau-pulau kecil kian naik daun. Sebagai negara kepulauan, Indonesia punya
ribuan pulau kecil. Ada yang berpenghuni, ada yang kosong, ada yang letaknya
dekat pulau besar, ada yang jauh hingga terpencil di samudra. Tantangan
keberdaannya pun beragam; Keterbatasan pasokan pangan, air tawar, hingga
ancaman perubahan iklim.
Eksistensinya
di ujung tanduk. Sewaktu-waktu bencana mengancam, yang amat menakutkan
pasokan pangan. Pulau kecil kerap tak punya lahan pertanian subur. Kala
gelombang tinggi disertai angin topan, praktis pasokan pangan absen. Bukankah
penduduknya terancam kelaparan?
Ancaman Krisis
Kebijakan
politik pangan kita hingga kini bergantung beras. Pulau kecil pun demikian.
Pasalnya, amat sulit menemukan pulau kecil berlahan subur buat menanam padi,
jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian. Apalagi, pulaunya miskin sumber air
tawar. Praktis pasokannya bergantung air hujan, atau membeli dari kapal
penjual air tawar. Semua masalah ini mengancam ketahanan dan daya dukung
pulau kecil.
Dari kacamata
pasokan sumber pangan dan air tawar, pulau kecil dapat dikelompokkan.
Pertama, pulau kecil berlahan subur dan berair tawar. Pulau ini mampu memasok
kebutuhan air tawar penghuni dan pangannya.
Umpamanya
Pulau Palue di NTT. Penduduknya bisa menanam pangan nonberas (jagung dan
umbi-umbian). Pasalnya, tanaman padi tidak tumbuh baik. Kendati demikian,
amat jarang masyarakatnya mengalami defisit pasokan pangan hingga kelaparan.
Inilah bukti empiris masyarakat pulau kecil yang berdaulat dan mandiri pangan.
Kedua,
pulau kecil berlahan gersang tanpa air tawar. Pulau ini amat jarang dihuni.
Penduduk hanya menjadikannya sebagai persinggahan sementara tatkala menangkap
ikan hingga mencari teripang. Mereka pun bisa berlindung kala ombak laut
ganas disertai badai. Kendati begitu, jenis pulau ini kerap berpanorama
indah.
Pantai
berpasir putih, air lautnya bersih, dan dikelilingi gugusan terumbu karang,
amat cocok buat berwisata menyelam, memancing, hingga berenang. Jarang
penduduk menanam bahan pangan pokok. Acap kali lahannya kurang subur karena
didominasi bebatuan. Kalaupun ada, lahan tanah umumnya kurang subur.
Pasalnya, bercampur pasir dan lumpur.
Pulau
semacam ini amat rawan ancaman krisis pangan. Uniknya, tanaman kelapa dan
sukun kerap tumbuh baik di gugusan Kepulauan Seribu. Selain ancaman pangan
dan keterbatasan air tawar. Pulau kecil juga rawan ancaman perubahan iklim.
Topan, badai, empasan gelombang tinggi hingga kenaikan muka air laut.
Imbasnya daya dukungnya kian merosot.
Pemerintah
Kepulauan Vanuatu di Pasifik—melalui pendekatan adat—menghijaukan pulaunya.
Mereka menanam pepohonan. Tanaman tumpang sari ditanam di bawahnya. Jenisnya
umbi-umbian, sayuran, dan kacang-kacangan. Dalam lima tahun, Pulau Vanuatu
kian hijau. Daya dukung ketahanan pulau meningkat.
Masyarakatnya
pun mampu menyediakan pangan secara mandiri dan sehat melalui sistem
pertanian organik berupa agroekologi. Imbasnya meningkatkan kemandirian,
ketahanan dan kedaulatan pangan masyarakatnya. Pelajaran dari Pulau Vanuatu
ini mengingatkan urgensi pangan di pulau kecil karena menyangkut hidup mati
penghuninya. Jika absen, ancaman kelaparan mengadang di depan mata.
Kebijakan
Sebagai
negara kepulauan, Indonesia memiliki ribuan pulau kecil berpenghuni.
Ketersedian pangan bagi penghuninya tak bisa ditawar lagi. Pemerintah mesti
menerapkan kebijakan politik pangan tepat di pulau kecil. Ada penduduk yang
sewaktu-waktu nyawanya terancam akibat kekurangan makanan. Apalagi kita kian
hari kian bergantung pada pangan impor.
Pertama,
pengembangan sistem transportasi pemasok pangan. Mesti ada sistem logistik
pangan terapung yang bisa melayari pulau kecil kala mengalami kekurangan
pasokan pangan. Hal ini penting agar pasokannya aman. Terutama pulau kecil di
perbatasan, terpencil dan tak mampu memproduksi pangan sendiri. Jika
gelombang tinggi dan cuaca buruk otomatis kapal sulit berlayar.
Jalan
pintasnya, pemerintah mesti menyediakan transportasi udara khusus pemasok
pangan pulau kecil. Pesawatnya multifungsi hingga mampu mendarat di laut. Ini
akan memudahkan penduduk mengambil pasokan pangan. Mau tidak mau politik
anggaran kita mesti mengalokasikan di masa datang.
Kedua,
pemerintah mengembangkan kebijakan affirmative soal diversifikasi pangan.
Kebijakan mesti mendapatkan dukungan anggaran memadai. Imbasnya, pemerintah
pusat maupun daerah kian masif membudayakan inovasi-inovasi baru pangan
nonberas di pulau kecil.
Pulau
Lingga di Kepulauan Riau, pulau-pulau di Maluku dan Raja Ampat tumbuh subur
pohon sagu, umbi-umbian, dan ikan melimpah. Mestinya diversifikasi pangan
berbasis sagu, umbi-umbian, dan ikan kian marak. Namun, kenyataannya jauh
panggang dari api.
Di Pulau
Lingga, malah sagu dijual dalam bentuk gelondongan ke luar daerah. Jika ini
dibiarkan impian memperkuat kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan di
pulau kecil tinggal cerita. Jika sebaliknya pulau kecil mampu memproduksi
keragaman pangan secara mandiri dan berdaulat, ketahanan pangan pulau kecil
kian terjamin juga mengurangi ketergantungan beras. Bukan tidak mungkin,
dalam jangka panjang rakyatnya mensubtitusi beras dengan produk diversifikasi
pangan.
Ketiga,
mengembangkan pertanian agroekologi. Pendekatan multisistem dalam memproduksi
pangan berkelanjutan. Agroekologi juga mencakup sistem sosial, budaya, dan
politik guna mewujudkan keberlanjutan sistem pangan. Terutama untuk pulau
berlahan subur dan cukup air tawar. Contohnya, Pulau Natuna, Enggano, dan
Nias.
Pola
polikultur maupun permakultur. Jenis tanaman pepohonannya berupa sukun,
kelapa, jenjeng, waru, dan ketapang. Tanaman ini dapat ditumpangsarikan
dengan sayuran, umbi-umbian, kacang-kacangan hingga padi ladang. Bila sebuah
pulau kecil mampu menyediakan pasokan pangan, otomatis ia mampu menyuplai
pulau lainnya yang kurang subur.
Pertanian
agroekologi ini bersifat terpadu karena selain tanaman pangan, juga jenis
ternak besar hingga unggas. Feces maupun air seninya bisa dibuat pupuk organik
cair, kompos, hingga energi alternatif terbarukan. Model pertanian ini,
selain menyediakan pangan aman dan sehat, juga ramah lingkungan. Imbasnya,
pulau kecil mampu berdaulat pangan, energi hingga keberlanjutan ekosistemnya.
Pulau
Vanuatu sukses mempraktikkan ini. Pendekatannya memberdayakan kelembagaan
adat. Pertanian agroekologi diperkenalkan melalui kelambagaan adat ini hingga
masayarakatnya menerima hanya tanpa hambatan berarti. Pelajaran spektakuler
lainnya, yaitu kesukseskan mempraktikkan pertanian agroekologi membebaskan
rakyat Kuba dari ancaman kelaparan selama 40 tahun akibat embargo ekonomi
PBB.
Keempat,
merevitalisasi dan membudayakan masyarakat pulau kecil mengonsumsi pangan
lokalnya, semacam singkong maupun sagu. Orang Buton punya makanan khas
bernama kasuami terbuat dari singkong kukus. Makanan ini mampu bertahan lama
hingga kerap jadi makanan kala melaut. Makanan ini pun kerap dikonsumsi
bersama ikan asap maupun asin, mirip orang Maluku dengan sagu bakarnya.
Mereka juga mengonsumsinya dengan ikan asap, kering, dan asin.
Masyarakat
pulau kecil di Buton dan Maluku menjadikannya pangan pokok hingga kini.
Bukankah hal ini solusi strategis menghadapi ancaman kelaparan di pulau
kecil? Pendek kata, pengolahan pangan lokal di pulau kecil mesti dihidupkan
kembali sekaligus melestarikan kuliner berbasis budaya.
Inilah
salah satu agenda “penting” bagi presiden pemenang Pemilu 2014. Kita berharap
presiden terpilih setidaknya mampu mengaktualisasikannya hingga membebaskan
pulau kecil dari ancaman krisis pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar