Rabu, 21 Mei 2014

Menyetop Korupsi Pajak

Menyetop Korupsi Pajak

Marwan Mas ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINAR HARAPAN,  20 Mei 2014
                                                            
                                                                                         
                                                      
Penetapan tersangka mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (21/4), membuat publik terkesima. Betapa tidak, Hadi dijerat bertepatan dengan berakhirnya masa tugasnya sebagai ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Ia diduga menggunakan kekuasaannya untuk meloloskan keberatan pajak BCA senilai Rp 5,7 triliun pada 2003. Bobot keterkejutan publik juga menjadi jawaban, bahwa modus klasik tentang keterlibatan orang dalam di institusi pajak dengan cara berkolusi bersama wajib pajak, bukan isapan jempol.

Keberhasilan KPK dan Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi pajak, tentu tidak lepas dari peran para peniup pluit (whistle blower system) yang ada di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang memberikan informasi.

Keterbukaan dan kerja sama dengan aparat hukum patut diapresiasi sebagai upaya membersihkan DJP dari parasit korupsi. Penyimpangan dana pajak yang diduga begitu besar akan membuat kita “kehilangan momentum” untuk memeratakan pembangunan dan menyejahterakan rakyat.

Kendati sudah ada upaya membersihkan diri, bahkan tidak sedikit aparat pajak yang diproses hukum, tetapi belum sepenuhnya menimbulkan rasa takut bagi pegawai lainnya untuk tidak berkolusi dengan wajib pajak. Kebocoran pajak yang terus terjadi, tidak mungkin lagi selalu menyalahkan substansi aturannya. Hal yang patut diseriusi adalah bagaimana membina moralitas aparat pajak agar tidak gampang tergorda rayuan finasial dalam melaksakan tugas dan wewenangnya.

Modus Operandi

Mengkaji temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang diurai Emerson Yunto (Kompas, 28/4) mengenai modus korupsi pajak, setidaknya dapat dijadikan masukan dalam menyetop korupsi pajak. Pertama, menerima suap dengan berkolusi atau nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa, termasuk penempatan pegawai dan pejabat di lingkungan pajak. Ini korupsi di internal pajak yang juga banyak terjadi di institusi negara.

Kedua, korupsi secara eksternal yang berkaitan dengan pembayaran pajak dengan berbagai modus operandi. Di sini memunculkan begitu banyak pola korupsi, misalnya negosiasi pembayaran pajak dengan wajib pajak agar pajak yang dibayarkan tidak besar dari yang semestinya dibayar kepada negara. Bagi yang melakukan negosiasi tentu saja mendapatkan imbalan yang besar dari wajib pajak.

Malah ada modus lain yang dilakukan secara sendiri oleh petugas pajak dengan cara berfungsi ganda menjadi “konsultan pajak bayangan”. Perannya cukup strategis karena memberikan konsultasi yang jelas-jelas merugikan negara dengan menunjukkan cara bagaimana memanipulasi laporan keuangan wajib pajak agar kewajiban pajak dapat ditekan seminimal mungkin.

Bukan hanya itu, ada juga modus seperti yang dilakukan Gayus Tambunan, yang kini sudah menjalani hukuman. Caranya, berkolusi dengan hakim pengadilan pajak, termasuk dengan pejabat di lingkungan DJP. Tujuannya agar perkaranya dimenangkan di pengadilan sehingga pembayaran pajak relatif rendah, atau pengembalian pajak dikabulkan. Akibatnya, uang negara yang seharusnya diterima menjadi hilang.

Banyaknya persentase kekalahan negara di pengadilan pajak setidaknya membawa konsekuensi terburuk. Misalnya, akan menutup potensi penerimaan pajak yang harus diterima oleh negara. Jika terus-menerus dana pajak diselewengkan, pada akhirnya rakyat akan semakin geram dan bisa berimbas untuk tidak patuh membayar pajak.

Berbagai modus ini harus dihentikan. Kita juga yakin masih banyak aparat pajak yang bersih dan jujur. Mereka inilah yang perlu dibina agar tidak ikut-ikutan terseret dalam pusaran penyalahgunaan wewenang.

Terapi Khusus

Sejak mencuatnya skandal pajak Gayus Tambunan beberapa tahun lalu, memang Kementerian Keuangan sudah berupaya melakukan berbagai reformasi birokrasi di lingkungan DJP. Selain pengawasan yang intensif, juga gaji atau remunerasi sudah dinaikkan untuk menutup niat jahat (mens rea) aparat pajak untuk menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri atau keuntungan sendiri dan pihak lain.

Tetapi seperti yang sudah menjadi pengetahuan umum, kendati sudah diawasi, dibina mentalnya, bahkan ditingkatkan penghasilannya, tetap saja orang pajak tanpa rasa malu berlagak penyamun. Indikasi itu sudah terurai di ruang publik dan dalam sidang pengadilan yang membuat rakyat kehilangan simpati. Apalagi, hampir 70 persen anggaran negara dalam APBN-APBD bersumber dari pajak.

Untuk menyetop korupsi pajak perlu terapi khusus, antara lain melakukan pencegahan dengan membenahi moralitas aparat pajak, selain penindakan yang dilakukan aparat hukum. Di tangan merekalah anggaran negara banyak digantungkan. Upaya pencegahan harus dilakukan sistematis dan terukur. Pencegahan jauh lebih bermakna ketimbang selalu menangkap aparat pajak yang menerima suap atau gratifikasi.

Kalau sudah diberikan terapi khusus dan kesejahteraan sudah dipenuhi tetapi masih tidak mempan, tindakan keras dalam bentuk pemecatan dan hukuman berat harus terus diintensifkan. Rakyat bisa kehilangan kesabaran jika terus-menerus melihat ada aparat pajak yang lupa diri.

Kasus yang ditangani kejaksaan dan KPK harus diungkap sampai akar-akarnya. Itu agar institusi pajak tidak lagi terjebak dalam lingkaran korupsi. Seberani dan secanggih apa pun KPK, kepolisian, dan kejaksaan dalam mengendus modusnya, tetap saja akan kewalahan jika “korupsi sejak awal sudah dicita-citakan”. Mengemplang uang rakyat dari hasil pajak, sama saja dengan melakukan penzaliman terhadap rakyat. Akibatnya, kalau rakyat marah bisa memicu sikap untuk tidak taat membayar pajak.

Lebih jauh dari itu, wajar juga jika kita khawatir pada hasil pemilihan umum legislatif yang ditengarai penuh politik uang dan kecurangan. Kalau yang terpilih mayoritas bermasalah, boleh jadi uang negara dalam APBN dan APBD tidak aman dari tangan-tangan jahil.

Itu karena yang tersimpan dalam memori mareka adalah bagaimana mengembalikan uang yang dikeluarkan untuk politik uang dan biaya kampanye. Inilah yang perlu diawasi dengan melakukan reformasi birokrasi pemerintahan, reformasi kelembagaan parlemen, dan reformasi penegak hukum secara menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar