Tantangan
Ekonomi Makin Berat
Sumaryono ;
Dosen Fakultas Ekonomi Untag, Cirebon
|
KORAN
JAKARTA, 26 Mei 2014
Pasangan
Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa telah menjalankan sebagian
tahap kandidat pemilu presiden. Kedua pasangan sama-sama memilih warna putih
sebagai identitas. Mungkin itu untuk memberi pesan bahwa mereka bersih. Citra
demikian penting saat banyak kasus korupsi.
Putih
juga mungkin untuk mengesankan mereka tulus mengabdi demi kepentingan rakyat,
independen. Pasangan Jokowi-JK mengusung visi “Jalan Perubahan untuk
Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian”, sementara
Prabowo-Hatta Rajasa bertemakan “Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan
Indonesia”. Mereka sama-sama mengklaim mengusung ekonomi kerakyatan.
Agenda
safari politik untuk meraih dukungan mulai digencarkan. Berbagai janji muluk
pun disampaikan. Kedua pasang capres-cawapres berjanji membuka jutaan
lapangan kerja, meningkatkan pendapatan per kapita, membuka jutaan hektare
lahan baru, membangun infrastruktur, menata sektor pertambangan, menata
sektor energi. Mereka juga akan mengembangkan energi terbarukan, membangun
kilang, memperbaiki, membangun irigasi untuk jutaan hektare lahan. Tak lupa
juga akan meningkatkan hasil perikanan, kesejahteraan nelayan, menata sektor
keuangan, dan banyak lagi.
Meski
keduanya mengusung ekonomi kerakyatan, bentuk dan gambarannya belum jelas.
Naga-naganya mereka tetap mengusung sistem ekonomi kapitalisme dengan sedikit
polesan berupa program yang “menyasar rakyat kecil, petani, dan nelayan”.
Pilar-pilar sistem ekonomi kapitalisme-liberal masih dipertahankan. Sistem
ekonomi nonriil masih menjadi jantung ekonomi kapitalis modern saat ini.
Presiden
baru tak boleh mengabaikan tantangan masa depan ekonomi nasional. Sebagian
ekonom sudah menyampaikan bahwa pembangunan ekonomi dianggap menyimpang jauh
dari cita-cita para pendiri bangsa. Menurut Direktur Bank Dunia, Norman
Loayza, dalam peluncuran laporan World
Development Report 2014, tingkat kemiskinan Indonesia kini masih
memprihatinkan.
Sekitar
75 persen penduduk Indonesia hidup kurang dari 4 dollar AS (sekitar 40.000
rupiah) per hari. Tingginya biaya hidup tak ditopang pendapatan memadai
sehingga dua pertiga masyarakat masuk kategori miskin versi Bank Dunia. Tentu
ini menjadi ironi di tengah tingginya potensi kekayaan sumber daya alam yang
belum dioptimalkan secara serius untuk kesejahteraan masyarakat.
Padahal
dengan penerapan inovasi teknologi, pengelolaan sumber daya alam bisa
memiliki nilai tambah produk dan membuka lapangan pekerjaan. Indonesia perlu
menjadi tuan rumah bukan mengandalkan impor.
Warisan
persoalan ekonomi mendasar yang menjadi fokus presiden baru mendatang
semenjak pascareformasi adalah kesejahteraan kelompok masyarakat bawah yang
makin menurun. Pendapatan per kapita memang tumbuh, namun sangat kecil
dibanding kenaikan pendapatan golongan menengah ke atas. Kesejahteraan
menjadi kian merosot karena kenaikan harga pangan melebihi tambahan
penghasilan sehingga, secara riil, daya beli menurun.
Selain
itu, jurang pendapatan antara masyarakat miskin dan kaya semakin lebar.
Majalah Forbes pada 2013 memaparkan daftar 50 orang terkaya Indonesia
memiliki total harta 95 miliar dollar AS. Penguasaan kue ekonomi kini
terkonsentrasi pada kelompok superkaya yang jumlahnya sangat kecil. Di sisi
lain, kemiskinan tetap meluas.
Hal yang
sama terjadi di sektor energi. Minyak dan gas dari warisan pemerintahan
sebelumnya, eksploratornya masih didominasi asing sehingga sebagian profit
jatuh tidak ke Indonesia. Potensi batu bara, emas, perak, nikel, aluminium,
bijih besi, dan lain-lain yang diambil dari perut bumi diekspor mentah, tidak
ada nilai tambah.
Realisasi
Di sisi
lain, sebagai negeri agraris, mewujudkan kedaulatan pangan dalam menggerakkan
ekonomi perlu benar-benar diperjuangkan agar bisa direalisasikan. Sebab saat
ini kondisi pertanian amat memprihatinkan. Mulai bibit, pestisida, komoditas,
dan perdagangan dikuasai asing. Pemerintah makin sukar menjaga stabilitas
pasokan dan harga karena pasar domestik dikuasai komoditas impor. Nilai impor
pangan melonjak terus. Sebagian tentu mengurangi insentif petani domestik
untuk berproduksi.
Problem
klasik warisan utang luar negeri semakin meningkat, dan APBN sebagai sumber
terpenting pemerintah untuk mengurus hajat publik kian tak sehat karena
terkuras buat belanja birokrasi, pembayaran utang, dan misalokasi yang parah.
Akibatnya, proporsi belanja untuk kesejahteraan rakyat terus mengecil dan
keseimbangan primer terganggu.
Sementara
itu, keberadaan BUMN semakin terancam dengan kebijakan privatisasi. Sejak
reformasi ekonomi, banyak BUMN dijual sehingga mengurangi kemampuan negara
menyediakan layanan publik. Masalah infrastruktur, khususnya jalan, transportasi
darat, laut, dan udara tidak berkualitas. Pemerintahan baru harus membenahi
infrastruktur.
Kondisi
perekonomian Indonesia membutuhkan perubahan. Berbagai persoalan ekonomi
harus diselesaikan. Pemerintahan baru merumuskan kebijakan ekonomi yang
berdaulat, kuat, efisien, dan mampu menyejahterakan rakyat. Jangan terjebak
kebijakan liberalisasi secara masif. Sebab kondisi perekonomian akan semakin
sulit menghadapi pasar global jika tetap dengan ekonomi liberal.
Dampak
liberalisasi rata-rata tarif impor yang ditekan jauh lebih rendah ketimbang
negara-negara ASEAN, juga Jepang dan China. Tarif rendah bukan hanya
komoditas pertanian, namun juga manufaktur, sehingga sejak 2012 Indonesia
mengalami defisit neraca perdagangan. Dampak lain liberalisasi, pemerintah
terlalu membuka diri pada asing. Di era globalisasi mendatang, ketika
Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 diberlakukan, pemerintah harus mendesain
makroekonomi guna menunjang ekonomi berdaya saing tinggi.
Usaha
mikro kecil menengah perlu dibenahi agar dapat bersaing menghadapi gempuran
berbagai produk impor di pasar domestik. Akhirnya, janji-janji yang
disampaikan dua pasangan terkait ekonomi perlu dikawal agar dapat mewujudkan
kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar