Rebut
Kembali Kemerdekaan Indonesia
Ibnu Jharkasih ;
Kepala Departemen Seni dan Budaya
Unit Pencinta Budaya
Minangkabau 2012
|
HALUAN,
30 Mei 2014
Indonesia merupakan negara terbesar keempat di dunia berdasarkan luas
wilayahnya yang memiliki kekayaan alam yang tak terhitung nilainya. Orang
bilang tanah kita tanah surga. Sudah lebih dari 67 tahun Indonesia merdeka
semenjak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia oleh proklamator kita pada
tanggal 17 Agustus 1945. Selama itu pula pemimpin-pemimpin negeri ini
berjuang untuk menjadikan Indonesia negara yang berdaya. Namun apa yang kita
rasakan saat ini tidaklah sebijak apa yang seharusnya telah dicapai oleh
negara setua ini.
Dalam umur Indonesia yang sudah
terbilang tua ini, sebaiknya kita kembali mempertanyakan apakah saat ini
Indonesia sudah benar-benar merdeka dan berdaulat sepenuhnya? Amien Rais
mengatakan, dalam bukunya “Selamatkan Indonesia!”, kemerdekaan dan
kedaulatan Indonesia saat ini masih semu, dan belum kita miliki sepenuhnya.
Sebagai negara yang pernah dijajah, Indonesia saat ini masih mengalami
penjajahan dengan bentuk dan format yang berbeda. Indonesia sudah menjadi
korban arus globalisasi barat yang tak terbendung masuknya, menyebabkan
bangsa ini tetap tergantung dan menggantungkan diri pada kekuatan asing
dalam banyak hal. Sebagai bangsa kita telah kehilangan kemandirian,
dan sampai batas yang cukup jauh, kita juga sudah kehilangan kedaulatan ekonomi.
Kemerdekaan Indonesia ini
diperjuangkan oleh orang-orang hebat. Kemerdekaan yang diperjuangkan itu
tidak hanya merupakan hasil jerih payah pahlawan pada tahun 40’an, tapi juga
merupakan akumulasi semangat kemerdekaan yang diwariskan oleh para pahlawan
selama 350 tahun sebelumnya. Namun, sejak 17 Agustus 1945 Indonesia
merdeka sampai sekarang, saya rasa yang pantas disebut zaman kemerdekaan
itu hanya selama zaman pemerintahan Soekarno-Hatta dan kawan-kawan. Setelah
itu tidak ada lagi kemerdekaan. Indonesia seolah menyerahkan kemerdekaan
Indonesia kepada lintah darat dunia IMF, World Bank, dan WTO (World Trade Organization) yang merupakan
tiga institusi pilar penopang globalisasi dunia. Ketiga institusi ini
dengan lihainya memainkan globalisasi sebagai proses pemiskinan kaum melarat
dunia dan pengayaan kaum kaya.
Dengan memberikan investasi,
mengatur ekonomi dan aliran pasar modal, Indonesia menjadi salah satu korban
kebiadaban mereka. Memang benar, pada zaman orde baru kita membangun negeri
kita, memajukan pendidikan, dan sumber daya manusia dan sumber daya manusia
lainnya. Namun di balik itu semua kita dinaungi bayang-bayang gelap yang
merenggut kemandirian kita sebagai bangsa. Ketika mereka menagih utangnya
kita tidak bisa melalukan apa-apa. Apa yang bisa dilakukan Indonesia
kemudian?
Tentu saja menjual apa saja
yang dimilikinya demi menutupi utang itu. Kita lihat saja, pada saat ini
yang menguasai sebagian besar sumber daya alam Indonesia yang bonafit seperti
pertambangan dan perminyakan bukan Indonesia. Lihat siapakah yang memiliki
6 dari 10 perbankan yang ada di negeri yang kita cintai ini? bukan
Indonesia. Pertanyaan terakhir, jadi milik siapakah Indonesia ini sekarang?
Apakah Indonesia ini masih milik rakyat Indonesia? Apakah masih pantas kita
disebut sebagai negara yang merdeka?
Indonesia saat ini seperti
seseorang yang punya rumah yang sibuk memperindah pagar rumahnya sementara
membiarkan siapa saja mengambil yang terdapat dalam rumah tersebut. Bukan
bermaksud untuk menyebarkan pesimisme terhadap Indonesia, Tapi inilah fakta
yang sedang kita hadapi saat ini. Semoga saja masih ada harapan dan optimisme
untuk membangun kembali Indonesia ini. Bukan tidak mungkin Indonesia kelak
menjadi negara yang mandiri. Masalahnya bukan seberapa besar masalah yang
kita miliki, namun seberapa besar jiwa kita untuk menghadapi masalah
tersebut.
Dalam keadaan Indonesia yang
kritis seperti ini, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan. Membiarkan
bangsa ini terus menderita sampai mati, atau membangkitkan kembali semangat
perjuangan rakyat Indonesia dan memberikan solusi tepat yang dapat membangun
Indonesia agar lebih baik lagi kedepannya.
Kedua pilihan ini ditujukan
kepada para pemuda Indonesia yang merupakan aset terbesar bangsa dalam
pembangunan negeri. Melalui tangan-tangan dan pikiran para pemuda Indonesia,
kelak Indonesia akan menjadi negara yang berjaya di mata dunia. Begitu berharganya
seorang pemuda menurut Ir.
Soekarno, Proklamator sekaligus presiden pertama Indonesia, “Berikan aku 10 orang pemuda, maka aku
akan menggoncang dunia”.
Maka ketika pemuda saat ini
bersikap acuh tak acuh tehadap keadaan negara saat ini dan lebih menikmati
arus globalisasi yang membabibuta, secara otomatis pilihan pertamalah yang
kita ambil. Mari bersama kita saksikan bagaimana negeri ini akan mati secara
perlahan. Namun, apabila sepuluh orang pemuda saja sudah sadar, seperti yang
dikatakan Soekarno, sesungguhnya itu sudah cukup untuk mulai menggoncangkan
dunia. Sekarang pertanyaannya, apakah pemuda Indonesia sudah termasuk
kategori sepuluh pemuda yang akan menggoncangkan dunia ini? Hanya anda yang
mampu menjawabnya.
Wajah Indonesia saat ini,
merupakan cerminan para intelektual yang berkiprah di Indonesia, lebih
khususnya lagi pemudanya. Para intelektual dan pemuda Indonesia sebagian
besar berasal dari kalangan mahasiswa. Maka sebagai mahasiswa kita
mempunyai tanggung jawab besar dalam mengatasi permasalahan negara ini. Bisa
jadi keadaan Indonesia saat ini merupakan cerminan dari rakyat, termasuk mahasiswanya,
yang berkiprah di Indonesia. Untuk membuat keadaan Indonesia yang berbeda
kita harus melakukan sesuatu yang berbeda pula untuk membangun negeri ini.
Mari kita memantaskan diri menjadi manusia yang mandiri. Hal ini akan
tercermin pula sebagai wajah baru Indonesia.
Mulai dari diri sendiri,
kemudian sebarkan kepada orang lain. Ketika sudah semakin banyak yang
menyadari keadaan seperti ini dan memantaskan diri untuk perubahan Indonesia
yang lebih baik, maka kejayaan Indonesia akan semakin dekat.
Ayo bersama-sama kita rebut kembali kemerdekaan Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar