Menimbang
Kebijakan Pendidikan Kejuruan Jokowi
Suharti ;
Lulusan Australian National University (ANU)
-Penekun Kajian
Pendidikan; Bekerja di Bappenas
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Mei 2014
KETIKA menghadiri Rapat Pimpinan
Nasional Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) pada 13 Mei 2014 di Jakarta,
calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Joko Widodo
menyampaikan usulan kebijakan di berbagai sektor pembangunan, termasuk
pendidikan, bila ia terpilih menjadi presiden. Di antara kebijakan penting
yang akan diambil ialah meningkatkan jumlah SMK dengan merujuk pengalaman
negara-negara industri maju, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman.
Diyakini, peningkatan jumlah SMK
penting karena sekolah kejuruan memberikan bekal keterampilan dan teknologi
bagi para lulusannya, yang diperlukan dunia usaha/dunia industri. Bekal
keterampilan dan teknologi dapat membantu para lulusan SMK lebih mudah
terserap di pasar kerja. Usulan kebijakan itu perlu ditimbang dengan saksama
agar setiap kebijakan pembangunan pendidikan didasarkan pada argumen yang
kuat dan merujuk pada hasil-hasil riset dengan data-data yang valid. Artikel
ini bermaksud menguji apakah benar kebijakan yang diusulkan Jokowi--capres
yang punya probabilitas sangat tinggi untuk memenangi pilpres--punya rujukan
kuat dan bersifat evidence-based policy.
Tren penurunan SMK
Negara-negara industri maju
seperti Jerman, Jepang, dan Korea Selatan memang acap kali dijadikan kiblat
dalam pengembangan pendidikan kejuruan. Sayang, pemahaman mengenai praktik
pendidikan kejuruan di negara-negara tersebut tidak selalu benar dan tidak faktual.
Korsel memang pernah berencana meningkatkan proporsi siswa sekolah menengah
kejuruan menjadi 50%, tetapi target tersebut tidak pernah tercapai. Data
UNESCO (1999-2012) memberi gambaran sangat jelas perihal tren penurunan
jumlah siswa SMK di sana. Alih-alih mengalami peningkatan, proporsi siswa
kejuruan justru terus menurun dari sekitar 37,9% (1999) menjadi hanya sekitar
19,4% (2012).
Pada periode yang sama, proporsi
siswa menengah kejuruan di Jerman juga mengalami penurunan signifikan dari
64,6% menjadi 48,3%. Demikian pula di Jepang, proporsi siswa SMK hanya pada
kisaran 25,7% (1999) dan menurun menjadi 23,1%(2012). Hal berkebalikan
terjadi di Indonesia. Proporsi siswa SMK terhadap siswa SMA/MA meningkat dari
35,8% menjadi 43,3%.
Bila dilihat angka rata-rata
jumlah siswa menurut kategori negara--maju dan berkembang-juga tampak
gambaran yang berbeda. Pada 2012, proporsi siswa kejuruan di negara maju
sekitar 31,1%, sedangkan di negara berkembang berkisar 20,8%. Dengan dukungan
industri yang sudah sangat maju sekalipun, ternyata proporsi siswa SMK di
negara maju terus mengalami penurunan. Simak data-data berikut. Dari 227
negara yang tercatat dalam data UNESCO, hanya 10 negara yang proporsi siswa
SMK-nya di atas 60%, yaitu Austria (76%), Serbia (76%), Bosnia-Herzegovina
(75%), Republik Ceko (72%), Kroasia (71%), Slovakia (70%), Belanda (68%),
Montenegro (67%), Swiss (65%), Rumania (62%), dan Slovenia (60%). Namun
penting dicatat, ke-10 negara tersebut bukan termasuk kategori negara
industri maju seperti Jepang, Jerman, dan Korea Selatan. Banyak pihak sering
kali keliru memahami praktik pendidikan kejuruan di negara-negara maju, yang
berbeda dengan data dan fakta yang ada.
Kondisi SMK di Indonesia
Data Kemendikbud menunjukkan
pada 2012 jumlah siswa SMK mencapai 4,2 juta, sedangkan siswa sekolah
menengah atas (SMA) dan madrasah aliah (MA) masing-masing sebanyak 4,3 juta
dan 1,1 juta. Dari 4,2 juta siswa SMK, 1,58 juta berasal dari sekolah negeri
dan 2,61 juta dari sekolah swasta, dengan total lulusan sekitar 1,15 juta per
tahun. Data potensi desa (2005-2011) menunjukkan jumlah SMK swasta meningkat
dari 3.643 menjadi 6.404 unit, sedangkan SMK negeri hanya meningkat dari
1.437 menjadi 2.526 unit.
Keberadaan sekolah kejuruan
selalu dipahami punya kaitan erat dengan perkembangan ekonomi suatu negara.
Bagaimana sesungguhnya kontribusi lulusan SMK terhadap perekonomian
Indonesia? Berbagai penelitian, Chen (2009) dan Newhouse & Suryadarma
(2011), mengonfirmasi tidak cukup kuat argumen untuk mendukung kebijakan
ekspansi SMK. Sebabnya, lulusan SMK tidak terbukti punya peluang yang lebih
besar untuk diterima di pasar kerja dan tidak pula berpendapatan lebih tinggi
dari SMA. Para pelaku industri seperti grup Astra dan Indofood mengakui dunia
industri/dunia usaha lebih memilih lulusan SMA ketimbang lulusan SMK. Mereka
menilai lulusan SMA lebih mudah beradaptasi dengan perubahan teknologi dan
lebih mudah dilatih sesuai dengan kebutuhan pekerjaan di perusahaan dan
industri mereka. Para pelaku industri mengungkapkan, ketika menerima tenaga
kerja, kemampuan nonteknis (seperti matematika, pemecahan masalah,
komunikasi/bahasa) lebih diutamakan ketimbang kemampuan teknis/vokasi.
Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas) 2012 juga mengungkapkan angka pengangguran terbuka lulusan SMK lebih
tinggi (9,88%) bila dibandingkan dengan lulusan SMA (9,60%), bahkan tergolong
tinggi baik di perdesaan (10,66%) maupun perkotaan (9,60%). Dengan
pertimbangan biaya sekolah yang lebih be sar, pendapatan lulusan SMK
diharapkan lebih besar daripada pendapatan lulusan SMA. Namun, fakta
menunjukkan rata-rata pendapatan bersih lulusan SMK tidak lebih tinggi
ketimbang pendapatan lulusan SMA, yakni pada kisaran Rp1,5 juta per bulan.
Selain itu, SMK swasta makin menjamur yang umumnya berkualitas rendah sehingga
sangat potensial menghasilkan lulusan-lulusan tak berkualitas. Tak mengherankan
bila produktivitas mereka pun rendah.
Peningkatan kualitas SMK
Dalam kenyataan, biaya
pendidikan kejuruan per siswa jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya
pendidikan umum. Karena itu, rencana meningkatkan jumlah SMK harus ditimbang
dengan sangat hati-hati karena berimplikasi pada peningkatan beban pembiayaan
pendidikan secara keseluruhan. Mungkin akan lebih bermanfaat bila kita
berupaya meningkatkan kualitas SMK untuk bidang-bidang keterampilan yang
diperlukan di semua sektor pembangunan. Maka, pembelajaran di sekolah
kejuruan harus berkualitas didukung fasilitas pendidikan yang lengkap,
termasuk laboratorium dan workshop
sebagai tempat praktikum.
Pun, yang sangat penting
pemberian kesempatan magang di industri. Saat ini kegiatan magang sangat
sedikit dilakukan industri selain karena keterbatasan fasilitas dan SDM,
pelaku industri juga tidak melihat manfaat signifikan yang mereka peroleh
dengan memberikan fasilitas magang. Untuk itu, pemerintah perlu memberi
insentif--baik finansial maupun nonfonansial -agar industri (kecil dan
menengah) dapat menyediakan tempat dan fasilitas magang yang diperlukan
siswa-siswa SMK.
Hal yang tidak kalah penting
ialah memperkuat kecakapan dan keterampilan lunak, seperti matematika, pemecahan
masalah, dan bahasa bagi siswa siswa SMK, yang dinilai masih lemah. Jika
kualitas pendidikan kejuruan membaik, kontribusi SMK dengan jumlah lulusan
mencapai lebih dari 1 juta orang per tahun--terhadap peningkatan perekonomian
menjadi lebih signifikan.
Penguatan litbang
Apabila Indonesia ingin meniru
keberhasilan Korea Selatan, Jepang, dan Jerman, hal mendasar yang harus
dilakukan ialah penguatan penelitian dan pengembangan (R&D). Anggaran
untuk kegiatan R&D di Korea Selatan pada 2010 mencapai sekitar 3,4%
terhadap GDP. Angka itu termasuk tiga besar dunia selain Israel (4,3%) dan
Finlandia (3,9%). Jumlah peneliti di Korea Selatan pun terbilang sangat
banyak, mencapai 5.451 orang per satu juta penduduk. Anggaran R&D di
Jepang dan Jerman juga sangat tinggi, berturut-turut mencapai 3,2% dan 2,8%,
dengan peneliti sebanyak 5.151 orang dan 3.950 orang per satu juta penduduk.
Bandingkan dengan Indonesia yang
hanya mengeluarkan anggaran sekitar 0,08% terhadap GDP (2009), dengan jumlah
peneliti hanya sekitar 90 per satu juta penduduk-jauh menurun dari tahun 2000
sebanyak 215. Dengan demikian, kebijakan pendidikan kejuruan lima tahun
mendatang seyogianya fokus pada perbaikan kelembagaan SMK serta peningkatan kualitas
dan kompetensi lulusannya, sehingga kompetitif di dunia kerja dan adaptif di
dunia industri.
Peningkatan jumlah SMK akan kontraproduktif bila tidak
disertai jaminan mutu, terlebih lagi biaya pendidikan kejuruan jauh lebih
mahal daripada pendidikan umum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar