Selasa, 20 Mei 2014

Jokowi dan Ekonomi Politik Revolutif

Jokowi dan Ekonomi Politik Revolutif

Ansel Alaman ;   Guru Kader Pancasila dan Pilar-Pilar Bangsa PDIP
MEDIA INDONESIA,  20 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DALAM opini di Kompas (10/5), calon presiden (capres) yang diusung PDI Perjuang an, NasDem, PKB, dan Hanura, Joko Widodo, menyadari sistem ekonomi ‘pasar bebas’ sekarang menjadi salah satu pemicu penggerusan ekonomi kita. Akibatnya selain meng alir derasnya barang impor, juga sumber daya alam kita dikuras oleh pemburu rente dari perusahaan multinasional kerja sama komprador dalam negeri. Persoalannya, strategi revolutif apa yang diperjuangkan pemerintahan Jokowi jika terpilih?

Menteri Pertanian era Presiden Megawati Soekarnoputri, Bungaran Saragih, saat menyampaikan sikap pada Pertemuan Tingkat Menteri WTO di Cancun, Meksiko, 2003 menyatakan telah terjadi ketidakadilan bagi Indonesia oleh kebijakan liberalisasi. “Kita turunkan tarif, hilangkan subsidi, larang praktik monopoli, buka pasar bebas seluasluasnya dengan standar aturan impor yang lemah. Sikap ini ternyata tidak adil bagi petani Indonesia karena dihadapkan dengan persaingan yang tidak adil dengan petani negara lain, yang dengan mudah mendapatkan perlindungan tarif dan nontarif serta subsidi langsung,” ungkapnya.

Protes Saragih disebabkan lemahnya regulasi yang mengatur impor yang tentu berakibat dominasi dari negara kuat dan tumbal bagi negara lemah seperti Indonesia. Hanya, seberapa besar akses Indonesia untuk mengubah regulasi agar memastikan pengendalian nafsu anggota WTO menguasai pasar ASEAN, khususnya Indonesia? Petani produsen negara lain mendapat insentif besar berupa subsidi dari pemerintahnya, sementara petani kita hanya sedikit insentif seperti subsidi pupuk dan pembangunan infrastruktur dasar dan irigasi.

Padahal, di masa itu Uni Eropa menerapkan subsidi gula 152% hingga 297%, Jepang 361%. Di Amerika 2002 Presiden George Bush mengalokasikan US$180 miliar untuk subsidi pertanian. Itu membuat pemerintah Indonesia belum sepenuhnya mendukung full liberalization, tapi memilih secara bertahap (gradual liberalization), sambil melakukan kebijakan proteksi dan subsidi (Deptan, Diplomasi Indonesia di Sektor Pertanian, 2004). Protes 10 tahun lalu itu, seperti apa hasilnya sekarang?

Toh kenyataan barang-barang impor semakin menggila, dari otomotif, perangkat media, hingga pangan seperti beras dan buah-buahan. Belum lagi perjanjian dengan AFTA, khusus dengan Tiongkok, yakni ACFTA (ASEAN China Free Trade Agreement). Sepeda motor buatan Tiongkok, misalnya, semakin menjamur di Indonesia, apalagi menerapkan nol (zero) persen down payment (DP). Belum lagi geliat korporatokrasi (kekuasaan korporat raksasa) dunia yang berkolaborasi dengan komprador-komprador Indonesia makin mengancam kita menjadi--seperti disebut Bung Karno, ‘bangsa kuli dan bangsa tempe’. Kuli liberalisasi juga dikisahkan oleh John Perkins (Perkins, Secret History of the American Empire, 2007), yang menemukan liberalisasi dalam cengkeraman perusahaan-perusahaan seperti eksploitasi minyak dan gas nasional.

Ekonomi politik berbasis negara

Kongres III PDI Perjuangan 2010 merumuskan pembaruan ekonomi politik berdasar amanat Pasal 33 UUD 1945. Konstitusionalisme ekonomi dalam sikap itu difokuskan pada peningkatan kesejahteraan rakyat dengan semangat kebersamaan atau gotong royong, seperti diatur dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4). Kedua ayat itu memberi tekanan pada usaha bersama atas asas kekeluargaan, dan demokrasi ekonomi dalam prinsip kebersamaan, efisiensi, keadilan, kemandirian, dan lain-lain.

Itu berarti paradigma penyelenggaraan ekonomi harus dirombak khusus makna frase ‘dikuasai’ oleh negara (ayat 2 dan ayat 3). Penguasaan tidak bermaksud memonopoli atau sekadar berorientasi hasil dalam jangka pendek, tetapi wajib mengembangkan dan melestarikan untuk jangka panjang. Dengan itu kita mengoreksi teori negara Max Weber yang menyatakan bahwa negara sebagai ‘komunitas manusia yang mengklaim memiliki monopoli atas penggunaan absah kekuatan fi sik pada teritorium tertentu’ (Gerald T Gaus, Chandram Kukathas, Handbook of Political Theory, 2004).

Kekuatan absah negara dalam pemberdayaan ekonomi politik wajib bertumpu pada peningkatan kualitas kesejahteraan rakyat. Kualitas kesejahteraan tidak hanya membagi hasil pembangunan secara proporsional, tetapi juga harus berbasis ideologi bangsa. Pendekatan ekonomi politik berbasis negara (state centered approach)-seperti dikatakan Caporaso dan Livine (James Caporaso, David P Levine, Theories of Political Economic, 1992)--mau mengafi rmasi otoritas dan ideologi itu. Keduanya berpendirian bahwa pendekatan ekonomi politik berbasis negara adalah pendekatan yang memandang wilayah politik adalah wilayah negara dan agenda negara dan perekonomian juga agenda wilayah pribadi.

Wilayah politik sebagai wilayah negara bisa diartikan bahwa politik adalah instrumen negara bagi kedaulatan rakyat. Negara itu sendiri instrumen bagi kesejahteraan sosial untuk ‘memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut menata dunia yang lebih adil beradab’ seperti amanat alinea IV Pembukaan UUD 1945. Namun, paradigma ekonomi politik berbasis negara (state) perlu penyesuaian, kalau tidak disebut berubah, dalam penggunaan otoritas/kewenangan mengelola sumber-sumber alam sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Artinya penggunaan ‘kekuasaan’ belaka bisa terjebak menjadi negara otoriter atau menambah skandal korupsi dengan tameng kepentingan rakyat.

Karenanya, upaya-upaya seperti menghentikan privatisasi BUMN, privatisasi sumber alam seperti air, mendorong BUMN dan BUMD ialah perjuangan bukan sekadar memperbesar kue nasional dari pengelolaan sumber alam secara adil. Tujuannya merealisasikan pemanfaatan alam Indonesia untuk ‘empat pro’ yakni pro-poor, pro-job, pro-environment, dan pro-green.

Selain itu, sebagaimana protes Saragih di pertemuan WTO Cancun, Meksiko, kewibawaan dan kedaulatan negara harus dipertaruhkan terhadap perjanjian tarif dan bea masuk barang antar negara, perjanjian pasar bersama ASEAN, perjanjian dengan Tiongkok (ACFTA) agar dilakukan reschedule dan renegotiation agar ekonom Indonesia tidak terus tergerus.

Ekonomi revolutif Jokowi

Tawaran solusi Jokowi, “Dibidang ekonomi Indonesia harus melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan pemenuhan kebutuhan lainnya dari impor.”

Visi politik revolutif Jokowi jelas, yakni berdikari/melepaskan diri dari ketergantungan tidak dimaksud memutus hubungan kerja sama yang telah diratifikasi di WTO, AFTA, APEC, dan bahkan ACFTA. Instrumennya ialah reschedule atau renegotiation agar menjamin fair competition dalam perdagangan. Sementara itu, di dalam negeri harus dilakukan kampanye besar-besaran bagi penggunaan produk dalam negeri, memberi insentif (pajak, perbaikan rezim ekonomi misalnya dari perizinan ke rezim pendaftaran produser putra bangsa berkualitas), dalam rangka peningkatan daya saing dan kualitas produk dalam negeri, hasil karya anak bangsa.

Upaya-upaya itu dimulai dengan perubahan regulasi agar tidak menghambat bahkan bertentangan dengan konstitusi, terutama nilai-nilai Pancasila. Selain itu, ditinjau kembali perjanjian/kontrak-kontrak baik pembagian hasil maupun teknologi yang sejatinya ditangani anak-anak bangsa, tanpa menutup kemungkinan kerja sama terbatas dengan negara lain. Dalam konteks itulah makna ‘nasionalisasi aset’ diterapkan agar kerja sama antarbangsa tetap  terjalin, tetapi di sisi lain saatnya menegakkan kedaulatan bangsa di kancah ekonomi politik internasional. 
Tujuannya ialah kemakmuran berkeadilan berdasar konstitusi. Benarlah Calvin Coolidge, kemakmuran hanya instrumen/alat untuk dipergunakan dan bukan dewa untuk dipuja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar