Kamis, 15 Februari 2018

Menanti Pengakuan Bahasa Indonesia Ragam Whatsapp

Menanti Pengakuan Bahasa Indonesia
Ragam Whatsapp
Iqbal Aji Daryono  ;   Esais, tinggal di Bantul
                                                  DETIKNEWS, 06 Februari 2018



                                                           
"Bu q Tony mahasiswi ibu ibu ke kampus jam berapa luang jm brp qtunggu untuk bimbingan kasitau kalo sudah sampe bls cepat qharus segera pergi nih tq."

Jenis-jenis pesan Whatsapp semacam itu sering menjadi korban screenshot dan tersebar di dunia maya. Para dosen yang menerima pesan biasanya mengeluh, disusul para komentator yang tertawa bersama sembari menyimpulkan, "Ah, anak zaman sekarang memang sudah nggak kenal tata krama."

Kesimpulan gegabah itu akan lebih nikmat lagi manakala ditambahkan bahwa segalanya terjadi akibat hilangnya Penataran P4 dan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila. Wow.

Nah, betulkah problemnya adalah problem etika, alias anak jaman old lebih paham tata krama dan anak jaman now tidak?

Sebelum masuk ke situ, mestinya kita lebih jeli dulu dalam memetakan psikologi anak generasi milenial. Mereka dibesarkan oleh internet, khususnya media sosial. Medsos mengaburkan batas-batas hierarki, dan melahirkan karakter komunikasi yang lebih terbebas dari sekat-sekat kecanggungan. Karakter komunikasi itu melekat dalam karakter pribadi-pribadi mereka, terbawa ke pembawaan keseharian. Saya rasa sudah banyak orang yang membahas itu, jadi tak perlu saya perpanjang.

Dalam iklim seperti itu, anak-anak muda cuma menjalani, barangkali, 30% aktivitas tulis-menulis dalam bahasa Indonesia ragam resmi untuk tugas-tugas sekolah dan kampus. Selebihnya, 70% apa yang ia tuliskan dalam hidup sehari-harinya adalah pesan pendek, pesan panjang, unggahan medsos, berikut komentar-komentar serta perdebatan di dalamnya. Bukan mustahil jika teks Whatsapp, Telegram, Line, dan segala unggahan mereka di medsos selama satu semester dibukukan, tebalnya tak akan kalah dengan novel Arus Balik. Eh, mereka baca Arus Balik tidak ya?

Ini beda jauh dengan generasi sebelumnya yang bisa jadi hampir keseluruhan aktivitas menulisnya hanya terkait urusan bangku sekolah, sehingga bahasa tulis yang paling mereka akrabi adalah ragam formal.

Maka, alih-alih hanya menonjolkan keprihatinan perkara tata krama dan ujung-ujungnya nyerempet ke moralitas, selayaknya kita juga menengok pendidikan bahasa, khususnya materi bahasa tertulis. Sudahkah pendidikan bahasa di sekolah menyikapi perkembangan situasi mutakhir dengan medan kebahasaan yang sudah sama sekali berubah ini?

Sebagaimana kita sudah hafal luar kepala, jargon dalam berbahasa Indonesia adalah berbahasa dengan baik dan benar. Poin "baik" di situ dijelaskan sebagai berbahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Orang beli cilok tidak perlu memakai bahasa sebagaimana Gubernur DKI berpidato. Seorang pembina upacara tidak pas memberikan amanat dengan gaya bahasa stand up comedy. Dan sebagainya.

Rumus itu tetap selalu bisa diterapkan. Namun, mestinya di masa ini aktivitas menulis sebagai sarana berkomunikasi via gawai oleh anak-anak milenial itu mendapat penekanan khusus untuk mewujudkan kemampuan "berbahasa yang baik", sebanding dengan porsi kebutuhannya dalam realitas yang mereka hadapi sehari-hari. Bukan mustahil nantinya akan muncul pengakuan atas "bahasa tulis ragam pesan pendek", misalnya. Kenapa tidak?

Dengan jalan demikian, pendidikan bahasa menemukan relevansi sosialnya. Ia tidak berhenti sekadar sebagai pengetahuan, melainkan juga sebagai life skill yang konkret, life skill yang sungguh-sungguh menjawab kebutuhan riil anak didik dalam berbahasa. Manfaat utama dari life skill tersebut tentu saja adalah mengoptimalkan lancarnya komunikasi tertulis dengan gawai mereka, dan mengurangi potensi konflik yang sangat mungkin terjadi karenanya.

Ada satu hal yang kerap tidak kita sadari, yakni kemampuan verbal seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan literernya. Ini berlaku di segala generasi. Berkali-kali saya berjumpa para penulis dengan buku-buku yang begitu memukau, namun dalam forum diskusi kemampuan oral mereka tidak setara dengan kedahsyatan tulisan-tulisan yang melambungkan nama mereka. Demikian pula sebaliknya, orang yang memesona di panggung dengan ceramah mereka tak jarang amburadul tulisannya.

Kemampuan verbal tidak selalu sebanding dengan kemampuan menulis, kemampuan menulis tidak selalu bisa menjadi cerminan kemampuan lisan, dan satu lagi: kemampuan menulis tidak selalu bisa kita jadikan acuan untuk mengukur keterampilan seseorang dalam urusan kesopanan.

Di zaman SMS, saya pun tidak cuma satu-dua kali menjumpai kasus yang kira-kira menunjukkan gejala pola serupa.

Pernah suatu ketika saya menjadi panitia sebuah seminar. Lalu seorang aktivis pers mahasiswa berkirim pesan pendek ke ponsel pisang saya. Bunyinya: "Mas tolong sampaikan tujuan dari acara seminar tadi!!! Apa yang melatarbelakangi Anda memilih tema tersebut!!! Saya tunggu jawabannya!!!"

Di lain waktu, ketika bekerja di sebuah rumah penerbitan, saya membuka penerimaan karyawan untuk pos pemeriksa aksara. Kemudian datanglah sebuah pesan: "Pak tolong terangkan maksudnya pemeriksa acara!! Karena saya belum begitu jelas!!!"

Pesan-pesan pendek itu sebenarnya hanya bermasalah pada penggunaan tanda seru yang berlebihan. Secara naluriah, kesan yang muncul seketika di kepala saya adalah kedua anak itu berambut cepak, berdiri tegak, dan membentak-bentak saya. Padahal dari maksud mereka—yang sesungguhnya mudah saja kita pahami, mereka berada pada posisi yang sangat membutuhkan saya. Artinya, betulkah mereka mengetik seperti itu karena minimnya tata krama?

Saya yakin bukan itu yang terjadi. Andai saya berjumpa langsung dengan mereka pun (sayangnya tidak), saya percaya mereka tidak melotot di depan muka saya, apalagi sampai menyuruh saya push up 50 kali atau lari keliling lapangan. Mereka akan datang sebagaimana seorang mahasiswa wartawan kampus yang malu-malu, juga seorang pelamar kerja yang berwajah memelas. Mereka tahu tata krama, mereka bisa menerapkan etiket saat berjumpa langsung dengan orang lain. Malangnya, mereka kurang cukup terampil mengaplikasikan konsep unggah-ungguh itu secara tertulis. Itu saja masalahnya.

Rasanya, itu juga yang terjadi pada masa kejayaan Whatsapp ini. Belum tentu mahasiswa yang mengetik pesan pendek ke dosen-dosen mereka itu dari jenis yang sama dengan anak sekolah pencekik guru di Sampang kemarin itu. Jika bertemu langsung, sangat mungkin para pengirim Whatsapp itu sebenarnya baik-baik saja. Cuma, bisa jadi mereka membutuhkan sentuhan lebih dari guru bahasa Indonesia mereka tentang betapa pentingnya menuliskan titik dan koma yang benar pada percakapan semi-verbal di pesan pendek, apa makna tersirat dari hujan lebat tanda seru, bagaimana mengucapkan maaf dan terima kasih yang cocok untuk ragam tertulis nonformal, dan sebagainya.

Oh, ya. Di zaman pra-ponsel, saya sendiri merasa cukup terampil berbahasa tulis. Saya pernah menulis sebuah pesan di balik kertas ujian saya, saya tujukan kepada dosen mata kuliah Kewiraan yang seorang purnawirawan Letnan Kolonel itu.

"Pak, dua tahun yang lalu saya mengambil mata kuliah ini, dan dapat C. Tahun lalu saya mengambilnya lagi, dan dapat D. Semester pendek berikutnya saya kembali mengambilnya, dan dapat C lagi. Sekarang, saya mohon kebijaksanaan Bapak. Terima kasih."

Pesan tertulis itu cukup sopan. Untuk ukuran dosen-dosen jaman now pun, saya rasa bahasa pesan saya itu sudah memenuhi aturan tata krama. Tidak ada kalimat kurang ajar dengan nada memerintah, tidak ada tanda seru banyak, dan tidak ada singkatan-singkatan kata yang asal-asalan.

Meskipun begitu, toh terbukti bahasa tertulis yang halus dan lembut tidak selalu dianggap sebagai jaminan sopan santun dan tata krama. Buktinya jelas sekali: nilai Kewiraan saya akhirnya malah tidak keluar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar