Matinya
Demokrasi di Mesir
Zuhairi Misrawi ; Intelektual Muda Nahdlatul Ulama;
Analis Pemikiran dan Politik
Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
|
DETIKNEWS,
08 Februari
2018
Ketika
Hosni Mubarak berhasil ditumbangkan oleh angin revolusi pada 2011, semua
melihat fajar demokrasi telah terbit di Mesir, bahkan diramal akan menjalar
ke dunia Arab yang lain. Dunia internasional memandang dunia Arab akan
mengalami transformasi besar karena rakyat akan menemukan momentumnya sebagai
pemegang kedaulatan utama.
Namun
harapan besar tersebut sekarang terkubur. Setelah 7 tahun revolusi, Mesir
kembali ke masa lalu: otoritarianisme. Pemilu Presiden yang akan digelar pada
Maret 2018 mendatang terancam hanya akan diikuti oleh satu kandidat, yaitu
Abdul Fattah el Sisi, Presiden Mesir.
Para
kandidat lain yang sejatinya akan mewarnai Pemilu Presiden di Mesir satu per
satu gagal melenggang. Ada yang menolak maju, dikriminalisasi, hingga
dipersekusi. Ada aroma yang sangat menyengat, bahwa petahana melakukan
berbagai manuver untuk menghadang munculnya lawan yang tangguh dalam
konstestasi demokrasi.
Sami
Anan, kompetitor terkuat el Sisi akhirnya dikriminalisasi dengan tuduhan
korupsi. Anan merupakan lawan terkuat el Sisi yang punya latar belakang
militer serta mempunyai jaringan kuat dengan Eropa dan Amerika Serikat plus
Arab Saudi. Langkah Anan untuk melenggang sebagai kandidat orang nomor satu
di Mesir dijegal di tengah jalan, karena dianggap mampu menggerus popularitas
dan elektabilitas el Sisi.
Maklum,
dalam empat tahun terakhir tidak ada pencapaian yang istimewa dari el Sisi
kecuali soal perang melawan kelompok teroris. Itu pun Mesir tidak pernah
absen dari ancaman bom bunuh diri. Kelompok teroris melancarkan serangan
mematikan tidak hanya di gereja, tetapi juga di masjid, dan pihak keamanan.
Belum
lagi, perekonomian di Mesir terus merosot hingga titik-nadir dengan naiknya
harga bahan-bahan pokok, dan tingginya inflasi yang menyebabkan terjun
bebasnya nilai mata uang Mesir terhadap mata uang asing, khususnya dolar
Amerika Serikat.
Mesir
dalam beberapa tahun terakhir sejak dipimpin el-Sisi juga terpuruk dalam hal
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), karena terjadi penangkapan terhadap
lawan-lawan politik dan para aktivis HAM, sehingga Amerika Serikat menunda
bantuan militer ke Mesir karena catatan buruk soal HAM.
Melihat
kondisi yang miris itu, sebenarnya Pemilu Presiden dapat menjadi momentum
untuk mengoreksi kepemimpinan el Sisi. Apakah rakyat Mesir masih menghendaki
petahana atau sebaliknya justru menghendaki perubahan kepemimpinan nasional?
Tidak
hanya Sami Anan yang diperlakukan secara tidak adil. Hisyam Gunaynah yang
digadang-gadang akan ditunjuk oleh Sami Anan sebagai Cawapres jika dirinya
memenangkan pertarungan juga diperlakukan secara mengenaskan. Ia diserang
oleh orang yang tidak dikenal, sehingga mengalami luka yang dapat mengancam
nyawanya.
Begitu
pula kandidat dari kelompok kiri dan kaum muda, Khaled Ali memilih untuk
mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai Presiden Mesir. Ia menjadi
harapan bagi gerakan Januari 2011 yang berhasil menjatuhkan Hosni Mubarak.
Tapi karena kondisi politik yang sangat tidak sehat, ia diminta oleh berbagai
aliran politik untuk mengurungkan niatnya maju sebagai kandidat Presiden.
Ahmad
Syafiq, mantan Perdana Menteri yang mendapat dukungan dari kelompok borjuis
dan mempunyai popularitas lumayan besar pun mengurungkan niatnya untuk maju
sebagai kandidat Presiden Mesir. Ia diancam akan dikriminalisasi atas
sejumlah dugaan korupsi di masa lalu.
Ada
satu kandidat lagi, Muhammad Anwar Sadat, Pimpinan Partai Reformasi dan
Pembangunan, yang mendapat dukungan dari kalangan liberal pun tidak jadi maju
sebagai kandidat Presiden karena ia mencium ada bau tak sedap dalam Pemilu
Presiden yang akan datang.
Hanya
ada dua kandidat yang akan menjadi kompetitor el Sisi yang mendaftar di
detik-detik akhir jelang penutupan, yaitu Ahmad Fudhali dari Partai Damai
Demokratis dan Musa Musthafa Musa dari Partai Esok. Kedua kandidat ini
sebenarnya dari partai yang mendukung pemerintahan el Sisi. Banyak pihak
memandang kedua kandidat sengaja dimajukan, sehingga el Sisi tidak menjadi
kandidat tunggal.
Melihat
peta pertarungan Pemilu Presiden di Mesir pada Maret nanti hampir bisa
dipastikan tidak akan ada demokrasi yang substantif. Ada pemilu, tetapi tidak
ada demokrasi yang meniscayakan kompetisi gagasan untuk kemajuan Mesir.
Banyak pihak memandang, bahwa Mesir terperangkap dalam kubangan
"demokrasi tanpa kaum demokrat". Artinya, demokrasi hanya
dilaksanakan secara prosedural, tapi tidak ada jiwa besar dari petahana untuk
menciptakan demokrasi yang substantif.
Mesir
telah kembali ke era Hosni Mubarak yang terbukti mematikan api demokrasi.
Rezim otoriter telah membunuh demokrasi. Karenanya, kelompok oposisi di Mesir
mengancam untuk memboikot Pemilu Presiden yang akan datang.
Hassan
Hanafi dalam analisisnya di Harian al-Masry al-Youm memandang adanya upaya
yang tidak sehat dalam Pemilu Presiden di Mesir karena media massa yang
umumnya dikuasai pemerintah mewacanakan Presiden el-Sisi ditetapkan secara
aklamasi untuk memimpin Mesir empat tahun yang akan datang. Padahal Mesir
dengan segala pluralitas faksi politik sejatinya memerlukan sebuah kompetisi
demokrasi yang sehat, sehingga rakyat dapat memilih pemimpin terbaik.
Pada
akhirnya, Mesir akan menghadapi masa-masa komplikasi politik di masa yang
akan datang. El Sisi diprediksi akan melenggang bebas sebagai Presiden Mesir
untuk empat tahun yang akan datang. Namun kepemimpinannya tidak akan
mendapatkan legitimasi politik yang kokoh dari rakyat karena diraih melalui
proses yang tidak jujur, bebas, dan adil.
Kondisi
tersebut akan memunculkan ketidakpercayaan terhadap el-Sisi dan pada akhirnya
Mesir akan mengalami goncangan politik lagi. Apalagi prasyarat revolusi
benar-benar nyata di depan mata, seperti krisis ekonomi dan retaknya
lingkaran militer. Di samping kaum muda yang mulai kehilangan harapan
terhadap el Sisi yang nyata-nyata membunuh benih-benih demokrasi yang
sebenarnya mulai tumbuh di Mesir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar