Selasa, 20 Februari 2018

Korupsi dan Titik Kritis Demokrasi

Korupsi dan Titik Kritis Demokrasi
Umbu TW Pariangu  ;    Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
                                                KORAN SINDO, 19 Februari 2018



                                                           
Aroma pekat korupsi ma­sih menyengat di negeri ini. Tampaknya bangsa ini perlu perjuangan eks­trak­e­ras, berani serta punya napas pan­jang untuk bisa menge­li­mi­nasi kasus korupsi agar ke­mak­muran dan kemaslahatan rak­yat bisa terwujud di negeri ini.

Bayangkan, belum genap dua bulan kita menjalani 2018, sudah 8 kepala daerah yang di­te­tapkan menjadi tersangka ka­sus korupsi. Mereka adalah Bu­p­ati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, Bupati Kebumen Mo­ham­mad Yahya Fuad, Bu­pati Jombang Nyono Suharli, Bu­pati Ngada Marianus Sae, Bu­pati Halmahera Timur Rudi Era­wan, Bupati Subang Imas Aryumningsih, dan terakhir Bu­pati Lampung Tengah Mus­tafa.

Mereka terlibat berbagai kasus mulai dari menerima suap pro­yek dan pemberian gratifikasi atas sejumlah pro­yek yang meng­gunakan APBD hingga me­nerima suap per­izin­an peng­urusan jabatan, suap penge­sah­an APBD, suap proyek infra­struk­tur jalan, rumah sakit, dan suap terhadap DPRD untuk usul­an pinjaman pem­ba­ngun­an kepada swasta.

Ironisnya, sebagian suap yang dilakukan kepala daerah itu untuk membiayai Pilkada 2018. Hasrat berkuasa para elite rupanya tak pernah surut di tengah begitu banyak stok dana-dana bancakan daerah yang sangat menggiurkan. Ini sekaligus membuktikan bahwa siklus korupsi di kalangan elite daerah akan terus bereskalasi entah sampai kapan.

Di dae­rah, para koruptor yang keba­nya­kan para pemegang ke­kua­saan itu tidak hanya mencuri uang dae­rah, tetapi juga dana dari APBN yang ditransfer ke dae­rah dalam rangka pelak­sa­naan otonomi daerah, baik berupa desen­tra­li­sasi, dekon­sen­trasi maupun asas tugas pem­bantuan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya merilis data, sepanjang 2015, kasus korupsi yang masuk tahap penyidikan sebanyak 550 kasus dengan total kerugian negara sebesar Rp3,1 triliun. Korupsi paling besar terjadi di sektor keuangan daerah, yakni sebanyak 105 kasus dengan kerugian negara Rp385,5 miliar atau melebihi 10% dari total kerugian negara sepanjang tahun lalu.

Tak aneh jika pihak yang paling banyak ditindak pada 2015 adalah pejabat, baik pe­ga­wai pemda atau kementerian, yakni sebanyak 379 orang, ke­pala dinas sebanyak 48 orang, ser­ta kepala desa, camat dan lurah sebanyak 25 orang. Yang lebih mengenaskan, saat itu di­sinyalir ada satu provinsi yang me­miliki banyak kepala daerah atau elite pemerintahan ter­san­­dung kasus korupsi.

Tam­pak­nya dugaan tersebut kian me­nge­ras seiring makin ba­nyak­nya pejabat (lokal) yang ter­tangkap tangan oleh aparat hu­­kum saat ini. Bayangkan, sejak KPK lahir pada 2014 hingga 2017 sudah 80 orang kepala daerah (gubernur, bu­pati, wali kota) yang tertangkap tangan.
Ini sudah tentu menjadi titik kritis dalam pembangunan de­mo­krasi.

Demokrasi yang di­se­mai dari lokal sampai nasional ternyata didasarkan pada basis kontinum spirit politik yang berbasis uang dan kekuasaan seperti dalil Socrates (seba­gai­ma­na dikutip oleh Plato dalam buku Republic).

Di dalamnya ta­tanan kekuasaan yang korup karena mutu pengelolaan mo­ral para penyelenggara negara yang lemah, ditambah kekua­saa­n yang didominasi dan di­rasuki oleh para pemburu uang (money grubbing), sudah pasti akan menghasilkan jabatan publik yang gampang dikomoditaskan, yang kemudian sa­ngat mudah membunuh ke­sem­patan rakyat untuk me­nikmati hak-hak kesejah­te­ra­annya.

Di sisi lain perilaku korup juga kian mengekalkan seg­re­gasi sosial di mana orang kaya di­hormati, disanjung-sanjung, se­mentara mereka yang miskin malah dikutuk dan diren­dah­kan. Ini membuat masyarakat terbius oleh pragmatisme-ma­te­rialisme sikap yang me­nge­li­minasi pentingnya integritas dan moralitas.

Menurut Thomas Ferguson dalam Investmen Theory of Party Competition  (1995), da­lam sis­tem politik yang dige­rak­kan oleh uang, kebijakan-kebijakan politik tak lebih me­ru­pakan perpanjangan kepen­ti­ngan eli­te maupun investor politik. Ke­bijakan yang diha­silkan dari cara kerja seperti itu tentu lebih banyak menilap hak-hak kese­jah­teraan publik.

Memang di panggung de­pan, mereka seolah bersikeras dan yakin akan selalu mem­per­juang­kan kepentingan masya­ra­kat. Mereka selalu memanteli rakyat dengan bahasa dan jar­gon-jargon populis, yang enak dan meyakinkan untuk di­de­ngar atau bahkan diper­ca­yai. Namun di panggung belakang, yang terjadi justru mereka lebih tertarik untuk menggalang stra­tegi, kom­pro­mi, untuk me­la­kukan pe­ram­pasan uang rakyat dengan berbagai dalih dan modus nakal.

Kembali ke Daulat Rakyat 

Jika ingin negara ini tum­buh sehat sebagai negara demo­kra­si, yang bermaslahat bagi se­luruh rakyat, tidak ada jalan lain, semua ekses korupsi yang menindih ruang napas bangsa ini harus disumbat salurannya dan dimatikan. Ruang politik yang melahirkan pemimpin dan berbagai produk kebijakan penting yang akan menentukan masa depan bang­sa ini harus disterilkan dari sin­drom mo­ne­tisasi politik, yakni politik yang berbasis uang atau rente.

Para politikus yang ditugasi konstitusi untuk memimpin dae­rah, mengelola kekayaan negara, dan memberikan kese­jah­teraan kepada seluruh rak­yat harus dipastikan memiliki kematangan berpolitik (poli­ti­cal ripeness) yang tangguh un­tuk selalu sensitif terhadap persoalan moral bangsa, kemiskinan, termasuk tidak men­ja­dikan medan atau ranah po­litik sebagai killing field  (ladang pembantaian) terhadap para kader pemimpin terbaik. Da­lam mekanisme rekrutmen ke­pe­mim­pinan di parpol, jangan hanya karena ketiadaan uang, popularitas, dan koneksitas, kader-kader terbaik lantas di­si­sihkan.
Meminjam istilah WS Ren­dra, perlu ada gerakan sis­te­ma­tik dan pelembagaan untuk me­ngembalikan “daulat tuanku (pe­modal)” kepada “daulat rak­yat” misalnya seperti apa yang sudah di­tem­puh oleh peme­rin­tah kemarin, yakni: men­cu­kup­kan kebu­tuh­an parpol dengan dana publik (APBN). Ini tak lain untuk menstimulasi keman­di­ri­an fis­kal parpol dalam pe­nge­lolaan dana secara transparan dan akuntabel sehingga parpol tid­ak dijadikan arena bancakan ekonomi.

Namun dana tersebut pun belum memadai untuk mem­bia­yai proses kegiatan politik secara keseluruhan. Maka itu negara sebaiknya membiayai kegiatan parpol dalam pilkada termasuk biaya kampanye sehingga parpol tidak terus me­ngemis atau mencari biaya po­litik dari korporat yang mem­buat politisi atau parpol selalu memiliki ikatan transaksi yang kemudian melahirkan ko­rup­si. Jika ne­gara yang membi­yainya, rakyat tentu akan lebih in­tensif dan be­rani un­tuk me­la­ku­kan kon­trol terhadap pe­n­ge­lo­­laan ang­garan po­litik ter­se­but ka­rena ang­­garan itu dibiayai oleh pajak.

Selain itu membuka proses rekrutmen bagi kader-kader parpol yang memiliki kua­li­fi­kasi moral, integritas, kom­pe­tensi sebagai kaum cerdik-pan­dai yang rela men­de­di­kasikan kemampuan dan ke­ahliannya demi kemaslahatan bersama. Kalau parpol sung­guh-sung­guh menerapkan asas me­ri­tokrasi dalam seleksi kader di par­pol­nya, negeri ini tak akan kesulitan men­da­pat­kan pemi­m­pin yang visioner, trans­for­masional, bu­kan ber­visi fulus.

Negeri ini punya Bupati Ba­nyumas Achmad Husein, alu­m­nus Teknik Sipil ITB yang rela meninggalkan dunia kor­porasi; Bupati Tegal Ki Enthus Susmo­no yang harus kehi­la­ngan pen­dapatan ratusan juta ru­piah per pekan sebagai dal­ang kondang, Bupati Batang Yoyok R Sudibyo, peraih Bung Hatta Award 2015  yang me­mutuskan pensiun se­ba­gai perwira Angkatan Darat, Bu­pati Trenggalek Emil Dar­dak, doktor ekonomi yang ma­sih muda tetapi memilih me­ning­galkan “menara gading” un­tuk bergulat meniti per­ubah­an de­ngan rakyat serta tokoh-tokoh lain.

Susan Rose Ackerman (1978) pernah mengatakan, “The­ pre­sen­ce of one honest official may eli­minate all corruption.”  Umur pan­jang pemberantasan ko­rup­si selalu membutuhkan ke­ha­dir­an kaum-kaum berintegritas ting­­gi, cendekiawan untuk tu­run dari menara gadingnya demi menghadirkan teladan kons­truktif yang nyata sebagai kanal perjuangan melawan praktik kekuasaan yang korup dan amoral.

Para kaum berintegritas tersebut harus ber­satu dalam kecendekiaannya untuk men­ja­di suluh sejati, penerang ke­ge­lap­an moralitas, dengan tak jemu jemunya menyuarakan kejujuran, ke­benaran, hidup da­lam kesederhanaan, bahkan siap men­derita demi ke­ba­ha­gia­an rak­yat banyak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar