Efek
Domino Paslon Tunggal
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Politcial Literacy
Institute Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Januari 2018
FASE krusial kandidasi pilkada serentak
2018 sudah dilalui. Menurut data KPU, ada 569 pasangan calon (paslon) yang
diterima mendaftarkan diri untuk mengikuti kontestasi pemilihan gubernur,
bupati, dan wali kota pada pilkada serentak 2018.
Sebanyak 57 paslon mendaftarkan diri untuk
pemilihan gubernur/wakil gubernur di 17 provinsi, 373 paslon untuk pemilihan
bupati/wakil bupati di 115 kabupaten, dan 139 paslon mendaftar untuk
pemilihan wali kota/wakil wali kota di 39 kota.
Dari jumlah paslon tersebut, semula ada 13
daerah yang memiliki paslon tunggal.
Setelah masa pendaftaran diperpanjang
(15-17 Januari), akhirnya paslon tunggal ada di 12 daerah yang berpilkada
tahun ini.
Hanya ada satu daerah yang bertambah
kandidatnya, yakni pasangan calon yang mendaftarkan diri di pilkada Kabupaten
Karanganyar, Jateng.
Satu hal menarik untuk dikritisi dalam
proses kandidasi pilkada serentak 2018 ialah semakin banyaknya paslon
tunggal.
Sebagai komparasi, di pilkada serentak 2015
hanya ada tiga paslon tunggal.
Di pilkada serentak 2017 jumlah paslon
tunggal naik menjadi sembilan.
Kini, di pilkada serentak 2018, paslon
tunggal naik lagi menjadi 12 daerah.
Kalau melihat pola itu, paslon tunggal itu
akan memiliki efek domino pada pilkada serentak di masa mendatang.
Jejak
kuat petahana
Benang merah semakin banyaknya paslon
tunggal ada pada paslon petahana yang melaju ke periode kedua atau orang yang
didukung politik kekerabatan dari kepala daerah yang sudah dua periode dalam
kekuasaannya dan tak bisa maju lagi di daerah tersebut.
Data menunjukkan 12 paslon tunggal di
pilkada serentak 2018, mayoritasnya (11 paslon) ialah petahana dan 1 orang
keluarga inti (anak) dari kepala daerah yang sudah dua periode.
Paslon petahana di Kota Prabumulih Sumatra
Selatan Ridho Yahya-Ardiansyah Fikri, didukung 10 partai politik yang
memiliki 25 kursi di DPRD Prabumulih.
Dengan didukung 10 partai, praktis semua
partai politik yang ada di Prabumulih dikuasainya.
Di Kota Tangerang, pasangan Arif-Sachrudin
didukung 10 partai yang ada di DPRD Kota Tangerang. Partai yang mendukung
tersebut ialah PDIP, Golkar, NasDem, PKB, Demokrat, Hanura, PAN, PPP,
Gerindra, dan PKS.
Plus tambahan dua partai nonparlemen yang
ikut mendukung pasangan tersebut, yakni PKPI dan PBB.
Kondisi serupa terjadi di Kabupaten
Tangerang, Ahmad Zaki Iskandar-Mad Romly didukung koalisi 12 partai yang ada
di Kabupaten Tangerang, yaitu PDIP, Golkar, NasDem, Demokrat, Hanura, PKS,
PPP, PKB, Gerindra, PKPI, PAN, dan PBB. Praktis petahana melaju sendirian.
Masih di Provinsi Banten juga, di Kabupaten
Lebak pasangan Iti Octavia Jayabaya dan Ade Sumardi menjadi calon tunggal.
Mereka didukung 11 partai politik, yakni
Partai Demokrat, PDIP, Golkar, PAN, PKB, PBB, PKS, Hanura, NasDem, PPP, dan
Gerindra.
Petahana di Kabupaten Pasuruan, yakni
pasangan Irsyad Yusuf-Mujib Imron, resmi didukung 8 partai pemilik kursi
DPRD, yakni PKB, NasDem, Golkar, Gerindra, PPP, PKS, Hanura, dan PDIP. Total
kekuatan yang mengusung pasangan itu 44 kursi.
Syarat minimal dukungan ialah 10 kursi.
Pilkada Kabupaten Enrekang dipastikan
diikuti satu pasangan calon.
Pasangan petahana Muslimin Bando dan Asman
mengamankan rekomendasi hampir dari seluruh parpol di Enrekang.
Mereka maju dengan dukungan 26 dari total
30 kursi DPRD setempat, yakni dari Golkar, PAN, Demokrat, Gerindra, NasDem,
Hanura, dan PDIP.
Petahana pasangan calon Bupati-Wabup
Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, James Sumendap-Jesaja Legi mendapatkan
dukungan dari mayoritas partai. Delapan dari sembilan partai di daerah
tersebut mendukung mereka.
Kedelapan partai pengusung ialah PDIP,
Partai Golkar, PKPI, Partai Gerindra, PPP, Partai Demokrat, Partai Hanura,
dan PAN.
Pasangan petahana di Kabupaten Tapin,
Arifin Arpan-Syafrudin, memborong dukungan dari delapan partai politik, yakni
Golkar, PDIP, Gerindra, PKB, PAN, Demokrat, PKS, dan PPP.
Di Papua, ada Willem Wandik dan Alus Murib
yang mencalonkan diri kembali sebagai Bupati dan Wakil Bupati Puncak, Papua,
periode 2018-2023.
Sebagai petahana dia mendapat dukungan 10
partai politik yang secara otomatis membuat tak satu pun tokoh di luar paslon
itu yang mendaftar untuk menjadi penantang.
Pilkada Kabupaten Mamasa 2018 hanya akan
diikuti satu pasangan calon. Bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Mamasa,
Ramlan Badawi-Marthinus Tiranda, memborong 10 rekomendasi parpol pengusung,
yakni Golkar, PPP, PDIP, PKB, PKS, PAN, NasDem, Demokrat, PKPI, dan PBB.
Sebenarnya pasangan itu awalnya mendapat
penantang, yakni Obed-Benyamin, tetapi mereka hanya mendapatkan dua partai
pengusung, yakni Partai Hanura dan Gerindra dengan total 5 kursi.
Hal tersebut tak memenuhi syarat minimal
20% atau 6 kursi di DPRD Mamasa.
Bakal calon Bupati dan Wakil Bupati
Jayawijaya, Papua, yakni Jhon Richard Banua-Marthin Yogobi, memborong
dukungan dan usungan dari 10 parpol, di antaranya PDIP, Demokrat, Gerindra,
PKB Hanura, dan PAN.
Partai lainnya PKS, NasDem, PKPI, dan PBB
atau setara dengan dukungan 26 kursi di DPRD Kabupaten Jayawijaya yang
berjumlah 30 jumlah kursi.
Terakhir, paslon di Kabupaten Padang Lawas
Utara (Paluta), Sumut, Andar Amin Harahap-Hariro Harahap, yang didukung
Pilkada Paluta 2018, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat,
PKB, PDI Perjuangan, PAN, NasDem, PPP, Hanura, PBB, dan PKPI.
Perlu menjadi catatan, calon Bupati Andar
merupakan anak Bachrum Harahap yang saat ini menjabat Bupati Padang Lawas
Utara.
Dengan demikian, itu memperteguh pola
berkembangnya paslon tunggal, kalau tidak petahana, pasti kerabat dekat
petahana.
Basis
justifikasi
Jika pilkada serentak digelar lagi di
kemudian hari, hampir bisa dipastikan paslon tunggal akan semakin banyak
lagi.
Hal itu berlandaskan pada justifikasi
payung hukum, politik dan sosial.
Di payung hukum, memang tidak ada larangan
paslon tunggal.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan
permohonan uji materi soal calon tunggal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
MK membolehkan daerah dengan calon tunggal
untuk melaksanakan pilkada serentak periode pertama pada Desember 2015.
Dalam pertimbangannya, MK menyebut
perumusan norma UU Nomor 8 Tahun 2015, yang mengharuskan adanya lebih dari
satu pasangan calon tidak memberikan solusi.
Hal itu dapat menyebabkan kekosongan hukum.
Dapat berakibat pada tidak bisa diselenggarakannya pilkada.
Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon
dianggap berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.
Justifikasi politik kerap disandarkan
mereka yang menjadi paslon tunggal dan pendukungnya pada model konsensus
dalam demokrasi berbasis kemufakatan.
Kurang lebih argumennya ialah bermufakat
dengan mayoritas partai, bahkan seluruh partai, untuk memilih pemimpin
dianggap menjadi solusi lebih baik.
Padahal, jelas, pilkada serentak saat ini
tidak melalui DPRD, tetapi rakyat memilih langsung.
Di level elite, di tengah fragmentasi
kekuatan politik multipartai ekstrem dengan parpol lebih dari lima (highly
fragmented multiparty system) seperti Indonesia, rasanya sulit membuat
mufakat secara alamiah kecuali ada aspek penyatunya, misalnya politik
transaksional, mahar, beli perahu, atau istilah lainnya yang menggambarkan
kandidat terutama petahana sedang memborong banyak partai untuk masuk ke
gerbong koalisi besar.
Sementara itu, justifikasi sosial yang
kerap dikemukakan ialah paslon tunggal bisa menekan konflik horizontal akibat
polarisasi dukungan politik di masyarakat. Paslon hanya akan dihadap-hadapkan
dengan kotak kosong.
Itu merupakan teknik mencari pembenaran
yang berlebihan seolah-olah pilkada yang banyak calonnya akan berbahaya.
Betul saat pilkada akan muncul rivalitas,
gesekan, dan konflik, tapi sejarah pilkada serentak kita di 2015 dan 2017
menunjukkan jikapun ada konflik, sifatnya minor, secara umum pilkada serentak
kita berjalan aman.
Dampak
buruk
Paling tidak, ada tiga dampak buruk jika
paslon tunggal itu terus bertambah banyak dalam penyelenggaraan pilkada.
Pertama, melemahkan pelembagaan politik di
tubuh partai. Pola borongan partai oleh petahana dalam kandidasi akan
menyebabkan mandeknya proses kaderisasi, terutama upaya partai dalam
distribusi dan alokasi kader terbaik mereka untuk berkompetisi di pilkada.
Kader-kader potensial di partai akan
tertekan dengan model pilihan oligarkis karena penentuan kandidat bisa jadi
lebih karena pertimbangan politik transaksional dengan orang berkuasa baik
petahana maupun kandidat yang memiliki modal besar yang lebih tertarik
membeli dukungan dan usungan partai secara borongan.
Kondisi itu diperparah model kepartaian
kita yang masih bergantung kuat pada pemimpinnya.
Kritik Thomas Carothers, dalam tulisannya
di Jurnal Carnegie Endowment in International Peace (2006), Confronting the
Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies misalnya,
mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader
centric yang didominasi suatu lingkaran kecil elite politikus. Saat elite
pragmatis dalam 'mendagangkan' partai jelang perhelatan kontestasi elektoral
seperti pilkada, partai akan mengalami deinstitusionalisasi.
Hal senada juga disampaikan peneliti Paige
Johnson Tan, dalam tulisannya Reining the Reign of the Parties: Political
Parties in Contemporary Indonesia, di Asian Journal of Political Science, vol
20, No 2 2012, yang mendeskripsikan sistem kepartaian Indonesia sedang berada
dalam proses deinstitusionalisasi, dan memprediksi partai-partai akan melemah
dengan cara yang tak jelas.
Salah satu yang menyebabkan partai melemah,
tentu saja, proses pemilihan calon pemimpin di internal maupun eksternal
secara serampangan.
Kedua, model borongan itu juga berpotensi
buruk bagi tata kelola yang baik (good governance) dan pemerintahan bersih
(clean government) di daerah bersangkutan sebagai dampak utang budi pada
mayoritas partai yang mendukung, dan ketiadaan kekuatan pengontrol.
Hal itu bisa meneguhkan politik kartel dan
demokrasi yang kolusif (collusive democracy).
Terlebih jika kesepakatan koalisi besar itu sejak awal dibarter dengan
konsensi kebijakan, kaveling proyek, dan lain-lain yang sifatnya 'bancakan'.
Ketiga, tidak menguntungkan bagi warga. Sebagai
pemilih, warga tak punya banyak pilihan yang kompetitif.
Petahana lawan kotak kosong itu
sesungguhnya sekadar menyandarkan cara mekanistik dalam logika demokrasi
prosedural akal-akalan. Meraih suara sah lebih dari 50% bagi paslon tunggal
yang melawan kotak kosong sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 bukanlah
perkara susah. Jika kualitas pilkada kita mau naik kelas, saatnya parpol
berbenah dan serius memikirkan proses kandidasi yang tidak asal-asalan atau
bohong-bohongan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar