Birokrasi
dalam Pilkada Serentak
R Siti Zuhro ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
01 Februari
2018
Sebagaimana ditetapkan, pilkada serentak
gelombang ketiga akan dilaksanakan 27 Juni 2018. Dalam perspektif demokrasi,
pilkada serentak ini kelanjutan dari pilkada serentak gelombang pertama
(2015) dan gelombang kedua (2017). Akan tetapi, berbeda dengan sebelumnya,
pilkada tahun ini diikuti oleh 171 daerah yang notabene adalah daerah-daerah
strategis pengumpul suara terbanyak dalam pemilu nasional.
Oleh karena itu, pilkada tahun ini (2018)
memiliki arti sangat strategis bagi berbagai kekuatan politik di tingkat
nasional. Bagi parpol, pilkada sekarang ini tidak sekadar arena kompetisi
demokrasi, tetapi juga momentum untuk meraih gengsi politik (political
prestige)yang diharapkan berkorelasi positif bagi hajatan politik nasional
tahun 2019, yakni pemilu legislatif dan pemilihan presiden secara serentak.
Itulah sebabnya mengapa pilkada serentak
saat ini nuansanya berbeda dengan sebelumnya. Daerah-daerah lumbung suara,
seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dipastikan akan menjadi ajang
pergulatan yang cukup eksesif antar-aktor politik yang terlibat secara
langsung.
Gejala semacam itu sudah mulai terasa
menjelang pencalonan dan pembentukan koalisi parpol sebelum pilkada digelar.
Keriuhannya kian terasakan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Berbagai manuver politik sudah
dilakukan kandidat dan partai pengusung/pendukung. Hal itu terlihat dari
ramainya pemberitaan di media sosial terkait video asusila calon dan isu
mahar politik/uang dalam pencalonan.
Selain itu, bongkar pasang calon dan
sulitnya membangun soliditas koalisi partai untuk mengusung pasangan calon
menjadi gambaran tersendiri. Sebagaimana lazimnya dalam pilkada, para
kandidat dan skondan pendukungnya biasanya akan memanfaatkan semua sumber
daya politik secara all out untuk memenangkan kompetisi.
Obsesi untuk menang tak jarang menyebabkan
para kandidat melakukan langkah yang melanggar aturan main yang telah
disepakati, seperti memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan politiknya.
Pengalaman empiris di sejumlah daerah
menunjukkan potensi untuk memanfaatkan birokrasi yang selama ini menjadi home
base PNS cenderung menguat. Tak jarang petahana yang notabene memiliki
pengaruh cukup kuat di birokrasi pemerintahan, dari tingkat provinsi hingga
kelurahan di seluruh wilayah, menggunakan fasilitas ini. Lawan tanding lain
juga tak tertutup kemungkinan akan menggunakan jaringan yang dimiliki untuk
memenangi pilkada.
Sebagai aparatur pemerintahan,
birokrat—baik di pemda maupun di kepolisian dan TNI—seharusnya bersikap
netral, independen, tidak memihak, dan menjaga jarak yang sama terhadap para
kandidat meski tidak bisa dihindari adanya ikatan emosional di antara mereka.
Netralitas birokrasi merupakan pilar utama
yang cukup penting untuk meningkatkan pelayanan publik secara maksimal tanpa
membedakan kepentingan dan afiliasi politik. Netralitas birokrasi akan
menjamin terselenggaranya pilkada demokratis,
free and fair, jujur, damai, dan berkualitas serta terhindar dari
perilaku birokrasi yang memihak.
Pertanyaannya, mampukah birokrasi di daerah
dan birokrasi di kepolisian serta TNI bersikap netral dan tidak memihak dalam
Pilkada 2018? Pertanyaan ini relevan diajukan mengingat tingginya semangat
solidaritas korps tiga lingkungan birokrasi itu terhadap tokoh utama di jajaran birokrasi
mereka yang maju dalam pilkada. Isu ini sangat relevan dan penting karena
Indonesia saat ini sedang menggalakkan gerakan reformasi birokrasi di pusat
dan daerah.
Netralitas
birokrasi
Netralitas birokrasi merupakan isu krusial
yang selalu mengemuka dalam setiap pemilu dan pilkada. Dalam sistem politik
yang demokratis, birokrasi pemerintahan tak terlibat dalam kegiatan politik
praktis. Birokrasi menempatkan diri sebagai institusi profesional dan netral
(Asmeron dan Reis, 1996).
Netralitas birokrasi merupakan variabel
penting untuk mewujudkan demokrasi karena birokrasi dan demokrasi dua hal
yang saling berkaitan (Etzioni-Halevy, 1985).
Demokratisasi yang berlangsung sejak 1998 di Indonesia diharapkan bisa
mendorong reformasi birokrasi. Sebaliknya, reformasi birokrasi juga
diharapkan memperkuat proses demokratisasi di Indonesia. Birokrasi tereformasi akan menjadikan
dirinya profesional, netral, transparan, akuntabel, aspiratif, dan akomodatif
terhadap kepentingan masyarakat.
Model birokrasi yang demikian akan
berpengaruh terhadap hubungan birokrasi dan masyarakat. Dalam konteks pilkada
langsung, netralitas birokrasi dalam pilkada menjadi prasyarat penting bagi
terpilihnya pemimpin daerah secara demokratis dan representatif.
Dalam konstelasi politik di Indonesia,
gagasan menjadikan birokrasi netral dalam berbagai prosesi politik tak mudah
menjadi kenyataan. Indonesia merekam dengan sangat baik sejarah panjang
keterlibatan birokrasi dalam politik, sejak era Orde Baru hingga masa
Reformasi sekarang ini. Meskipun telah terbit UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (ASN), di tataran praktik masih banyak pelanggaran
sehingga tak otomatis menjadikan birokrasi di Indonesia netral dan
profesional.
Birokrasi sangat rentan dimanfaatkan
kekuatan politik tertentu manakala muncul petahana atau kandidat yang punya
pengaruh kuat dalam birokrasi yang turut berlaga dalam pilkada.
Menurut Webster’s Dictionary, netralitas
berarti: not engaged on either side,
not aligned with a political or ideological grouping, not decided or
pronounced as to characteristics. Netralitas berkaitan dengan beberapa
indikator, seperti menjaga jarak, tak terlibat, tak memihak, dan tak
membedakan kelompok atau parpol yang ada. Dengan kata lain, netralitas
merujuk pada sikap obyektif dan tak menunjukkan keberpihakan pada salah satu
partai atau kekuatan politik.
Konsep birokrasi modern dan rasional yang
dianut banyak negara maju selama ini tidak bisa dilepaskan dari gagasan Weber
yang memandang birokrasi sebagai: a
hierarchical organisation of officials appointed to carry out certain public
objectives. It is institution that carries out the functions and
responsibilities of government (1947: 50). Birokrasi berkaitan dengan
pegawai atau birokrat yang menjalankan roda birokrasi. Idealnya, dalam negara
demokrasi, civil servants devote their
lives to the service of the community (Gladden, 1956: 17-18).
Oleh karena itu, dalam posisinya sebagai
pegawai profesional, birokrat atau pegawai negeri seharusnya memperlakukan
partai atau politisi secara setarayang mendasarkan kebijakannya pada
penilaian yang obyektif. Berbagai kebijakan pemerintahan diimplementasikan
pegawai negeri tanpa harus terpengaruh atau berpihak pada kepentingan partai
atau kekuatan politik tertentu. Hal ini dengan jelas mendefinisikan
netralitas politik pegawai negeri (Asmerom dan Reis, 1996: 4), yaitu mereka
dapat mengekspresikan keberpihakannya (secara individual) pada parpol
tertentu saat pemilu, tetapi bukan saat melaksanakan tugasnya di birokrasi.
Fisher dan Lundgreedn (1975: 459)
menyatakan, a modern civil service is
defined as a corps of specifically trained, examined and appointed men,
independent from political conjuncture, impartial in discharging their
services, fully salaried and pensioned by the state and fully employed by it,
subject to hierarchical order in which they move upward according to
seniority or merit or a mixture or both.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa
birokrasi yang ideal adalah yang tidak patrimonial dan pegawai negerinya
mampu bersikap netral dan obyektif. Dengan kata lain, birokrasi yang modern dan
rasional antara lain dicirikan dengan pegawai negerinya yang mampu
menunjukkan kapasitasnya bekerja secara profesional dan sebagai aparat
pemerintah memberikan pelayanan publik serta netral dalam urusan politik.
Dalam konteks ini, isu tentang netralitas
birokrasi dalam pilkada menjadi sangat penting karena masyarakat Indonesia
menginginkan terwujudnya good local governance, dihapuskannya segala bentuk
manipulasi, kolusi, dan korupsi serta adanya akuntabilitas pemerintahan pada
masyarakat. Selain itu, netralitas birokrasi diharapkan dapat mengawal
pemilihan kepala daerah secara demokratis, jujur, free and fair sehingga
menghasilkan kepala daerah yang berkualitas, kredibel, kapabel, dan
akseptabel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar