Mikat
Kebinekaan
A Helmy Faishal Zaini ; Sekjen
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Mei 2017
PANCASILA rumah kita Rumah untuk kita semua
Nilai dasar Indonesia Rumah kita selamanya Bait-bait tersebut berasal dari
syair lagu Rumah Kita milik mendiang penyanyi legendaris Franky Sahilatua.
Lagu itu mengajak kita untuk merenung kembali betapa Pancasila ialah rumah
kita bersama, tempat bernaung segala perbedaan, dan tentu saja tempat
bersatunya segala ‘warna’. Mahbub Djunaidi (1987), budayawan NU, pernah
mengatakan Pancasila itu lebih sublim daripada Declaration of Independence
milik Thomas Jefferson atau bahkan Manifesto Komunis Karl Marx dan Friedrich
Engels. Pancasila ialah nilai-nilai yang disublimasi dari pelbagai macam
kemungkinan, perbedaan, dan kecenderungan. Itu sebabnya ia lebih sublim jika
dibandingkan dengan Declaration of Independence atau Manifesto Komunis sekali
pun.
Penting untuk diingat, dalam perjalanan
‘melahirkan’ Indonesia sampai bertahan hingga saat ini, penetapan Pancasila
sebagai dasar negara ialah suatu modal penting. Sebab, dalam sejarahnya
sangat tidak mudah untuk memadupadankan dan sekaligus bersamaan dengan usaha
menyatukan kepelbagaian. Jika memeriksa realitas empiris-historis di
lapangan, bangsa Nusantara, yang merupakan cikal-bakal Indonesia sesungguhnya
telah memiliki beragam kapital sosial. Kapital sosial yang disebut meliputi:
ragam etnik, suku, ras, agama, dan juga golongan yang begitu majemuk.
Indonesia ialah realitas yang berangkat dari sebuah kemajemukan. Indonesia
bukan realitas yang dibangun di atas ‘fenomena’ yang mufrad. Ia realitas yang
majemuk.
Dengan kenyataan yang bineka itu, tidak ada
pilihan lain kecuali mencari titik temu yang bisa diterima semua pihak. Di
sinilah sesungguhnya Pancasila itu menemui medan persemaiannya. Ia merupakan
titik temu yang menyatakan kepelbagaian dan keanekaragaman yang saya
maksudkan di atas.
Gus Dur dan Pancasila
Abdurrahman Wahid sosok yang ditahbiskan
sebagai guru bangsa dalam catatan penulis merupakan sosok yang terdepan dalam
membela Pancasila. Kerap kali Gus Dur, pada masa Orba, berbenturan dengan
penguasa saat itu. Hal ini dilakukan Gus Dur murni semata-mata karena
menurutnya Pancasila telah disalahgunakan. Pancasila dibelokkan dan dijadikan
‘bemper’ untuk melanggengkan legitimasi kekuasaan. Dalam bukunya bertajuk
Sekadar Mendahului (2011) Gus Dur memandang adanya sebuah orientasi ialah
bagian tak terpisahkan dari sebuah ideologi. Pancasila sebagai sebuah
ideologi pun bisa dilihat dari sudut pandang ini. Gus Dur memiliki pandangan
tidak ada satu ideologi pun yang ketat sekaligus saklek yang bisa diterapkan
di Indonesia. Gus Dur sangat mengamini pendapat yang mengatakan meminjam
istilah Bakdi Soemanto (2007) bahwa karakter masyarakat Indonesia ialah
karakter masyarakat luwes yang berciri khas peramu yang sukses mengompromikan
segala kontradiksi-kontradiksi.
Ciri masyarakat yang lunak itu dalam bahasa
Karl Gunnar Myrdal (2008) disebut dengan soft state. Kelunakan serta
keluwesan itu di satu sisi memberikan dampak positif, yakni sampai kapan
pun--dengan mengamini karakter itu--bangsa Indonesia tidak akan pernah
terpecah-pecah secara serius. Kendati pun di kutub seberang, kelemahan bangsa
yang karakter lunak ialah melahirkan karakter yang serba tanggung. Inilah sifat
eklektisme masyarakat Indonesia yang ditangkap dan dibaca dengan cermat oleh
Founding Fathers Indonesia saat merumuskan pancasila.
Eklektisme itu kemudian hari salah satunya
diterjemahkan Gus Dur tatkala mengaitkan hubungan agama dengan negara menjadi
tiga paradigma yakni: integralistis, sekularistis, dan juga simbiotis.
Indonesia adalah penganut setia paradigma ketiga, yakni paradigma simbiotis
yang meletakkan nilai-nilai agama menjadi spirit serta ruh dalam berbangsa
dan bernegara yang tersimbol dalam Pancasila yang kita miliki bersama.
Pancasila tidak boleh berhenti hanya sebatas realitas simbolis yang tidak
bisa diandalkan dan hadir dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila harus
menjadi yang terdepan dalam membela hak-hak siapa saja yang diperlakukan
tidak adil. Itu sebabnya, berdasarkan pemahaman itu, bisa dimaklumkan saat
Gus Dur menerbitkan Keppres No 6/2000 dan sekaligus mencabut Inpres No
14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tiongkok. Ini salah
satu ikhtiar menghadirkan Pancasila dalam kehidupan nyata.
NU memandang NKRI
Pada Muktamar ke-27 di Situbondo Jatim dalam
komisi I yang merupakan komisi Masail Filqihiyyah yang biasanya digunakan
untuk membahas masalah aktual ditinjau dari sudut pandang fikih, KH Ahmad
Shiddiq memberikan pandangan yang jernih soal cara pandang Islam terhadap
NKRI. KH Ahmad Shiddiq mengatakan mendirikan negara serta membentuk
kepemimpinan negara dalam tujuan memelihara keluhuran agama serta mengatur
kesejahteraan kehidupan duniawi hukumnya ialah wajib. Kesepakatan mendirikan
negara RI ialah sah dan mengikat semua kepada pihak, termasuk umat Islam.
Sebab keputusan mendirikan NKRI itu sah
dipandang dari kacamata hukum Islam maka kewajiban mempertahankannya pun
menjadi kewajiban pula. Segenap rakyat hukumnya wajib mempertahankan
kedaulatan NKRI. Hal ini sejalan dengan sebuah kaidah fikih ma laa yatimmul wajib illa bihi fahua
wajibun (segala prasyarat untuk menunaikan sebuah kewajiban hukumnya
adalah wajib pula). Pokok-pokok pikiran KH Ahmad Shiddiq itu sampai saat ini
menjadi pedoman yang diikuti NU yang tetap meyakini bentuk negara Indonesia
ialah sudah final. Konsep bernegara dengan menjadikan Pancasila sebagai mikat
(tempat titik pijak) bagi kebinekaan dan keragaman akan tetap kita gamit.
Bung Karno dalam pidatonya di depan sidang
BPUPKI mengatakan rumusan Pancasila adalah: Kebangsaan Indonesia,
internasionalisme, atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
Kesejahteraan sosial, ketuhanan yang maha esa. Rumusan ini dinilai kalangan
NU sudah baik, tapi belum sempurna. Utamanya menyangkut akar filosofis
kerangka berpikir dan transendensinya yang menempatkan ketuhanan yang maha
esa pada posisi kelima. Apa yang sudah saya kemukakan itu ialah realitas
historis yang tidak bisa ditampik keberadaannya. Ia bukan saja tidak bisa
dipandang sebelah mata, melainkan sekaligus tidak mungkin dinafikan dari
bagian penting proses ‘mengindonesia’. Maka, dalam hemat saya, jika ada pihak
mana pun ingin mengganti Pancasila sebagai dasar Negara dengan salah satunya
misalnya sistem khalifah, dengan tegas saya mengatakan hal itu sangat
bertolak belakang dengan spirit kebangsaan yang telah lama dibangun para
pendiri bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar