Meredam
Inflasi
Agus Herta Sumarto ; Peneliti
Indef; Direktur Eksekutif Institute for Public Policy Management Universitas
Mercu Buana (IPPM UMB)
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Mei 2017
INFLASI pada Mei sepertinya tidak bisa dihindari lagi.
Beberapa kebijakan dan aktivitas ekonomi akan mendorong kenaikan harga barang
dan jasa secara keseluruhan. Setidaknya ada dua kejadian besar dan signifikan
yang berpengaruh terhadap stabilitas harga barang dan jasa terutama harga
bahan-bahan pokok. Pertama kenaikan tarif dasar listrik dan yang kedua
meningkatnya permintaan terhadap barang dan jasa menjelang bulan puasa dan
Idul Fitri.
Walaupun kedua kejadian ekonomi tersebut memiliki efek
yang sama terhadap stabilitas harga barang dan jasa, efek yang ditimbulkan kedua
kejadian itu memiliki karakteristik dan magnitude ekonomi yang berbeda.
Meningkatnya permintaan menjelang puasa dan Idul Fitri merupakan siklus
tahunan yang menimbulkan efek ekonomi temporal. Peningkatan konsumsi
masyarakat menjelang puasa dan Idul Fitri hanya terjadi pada awal dan akhir
bulan puasa dan setelah itu konsumsi masyarakat kembali normal. Dengan kata
lain, pascabulan puasa dan Idul Fitri harga barang dan jasa akan
berangsur-angsur kembali ke harga keseimbangannya.
Dari beberapa tahun terakhir, efek kenaikan konsumsi
masyarakat menjelang bulan puasa dan Idul Fitri terhadap tingkat inflasi
biasanya berkisar di angka 0,8% sampai dengan 0,9% month to month (mtm).
Dengan kata lain, inflasi yang diakibatkan perubahan perilaku konsumsi di
bulan puasa dan Idul Fitri tidak begitu besar.
Hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah dalam
menjaga tingkat inflasi akibat perubahan perilaku ini ialah menjaga
stabilitas pasokan bahan-bahan kebutuhan pokok yang biasanya banyak dibeli
masyarakat menjelang bulan puasa dan Idul Fitri. Seperti daging ayam, daging
sapi, telur ayam, cabai, bawang merah, bawang putih, minyak goreng, dan gula
pasir. Jika pemerintah dapat menjaga stabilitas pasokan barang-barang
kebutuhan pokok tersebut, kenaikan tingkat inflasi tidak akan terlalu tinggi.
Bahkan inflasi yang diakibatkan kenaikan konsumsi ini bisa
berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Naiknya
permintaan terhadap barang dan jasa menjelang puasa dan Idul Fitri yang
disebabkan meningkatnya daya beli akibat tunjangan hari raya (THR) akan
mendongkrak tingkat produksi secara keseluruhan. Peningkatan produksi ini
tentunya akan mengerek pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Hal yang berbeda pada kejadian ekonomi yang kedua, yaitu
kenaikan tarif dasar listrik. Di tengah penggunaan teknologi yang sangat
masif saat ini, yaitu hampir semua proses produksi mengalami elektrifikasi,
energi listrik menjadi masukan produksi primer yang hampir tidak bisa
tergantikan, terutama untuk para pelaku usaha berskala mikro, kecil, dan
menengah (UMKM). Kenaikan tarif dasar listrik akan mengakibatkan harga input
produksi meningkat yang pada akhirnya memaksa para pelaku UMKM untuk
menaikkan harga jual produknya. Dalam kondisi ekonomi seperti ini inflasi
menjadi hal yang tidak bisa dihindari.
Efek dan magnitude ekonomi yang ditimbulkan kenaikan
tarif dasar listrik akan jauh lebih besar dan permanen jika kebijakan
kenaikan tarif dasar listrik ini tidak disertai dengan kebijakan
‘penyangganya’. Kenaikan tarif dasar listrik akan mengakibatkan cost push
inflation yang sifatnya destruktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kenaikan
tarif dasar listrik memiliki potensi besar untuk menciptakan kontraksi
ekonomi jika tidak dapat dikelola dengan baik. Bahkan lebih parahnya, efek
dan magnitude yang ditimbulkan kenaikan tarif dasar listrik pada Mei ini akan
jauh lebih besar karena terjadi berbarengan dengan siklus tahunan kenaikan
konsumsi menjelang bulan puasa dan hari raya Idul Fitri.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menyikapi secara arif
terhadap dua kejadian ekonomi ini. Jika melihat efek dan magnitude ekonomi
yang ditimbulkan, alangkah lebih baiknya jika pemerintah lebih memberikan
perhatian terhadap inflasi yang diakibatkan kenaikan tarif dasar listrik.
Pemerintah perlu menjaga agar efek dan magnitude ekonomi yang ditimbulkan
kenaikan tarif dasar listrik terhadap inflasi tidak terlalu besar.
Untuk mengurangi efek inflasi ini pemerintah perlu menjaga
agar fungsi biaya dari setiap industri tidak mengalami perubahan signifikan.
Jika harga satu input produksi naik, salah satu cara untuk tidak mengubah
fungsi biaya perusahaan ialah menekan harga input yang lain sehingga fungsi
biayanya kembali ke titik keseimbangan semula.
Selama ini salah satu beban biaya yang cukup besar bagi
para pelaku industri adalah tingginya biaya logistik. Sampai sekarang para
pelaku usaha di Indonesia harus menghadapi biaya logistik yang tinggi hingga
mencapai 22%-32% (Ina Primiana, 2013) atau 14% dari biaya produksi
(LPEM-UI,2011). Semakin kecil perusahaan, biaya logistik yang dikeluarkan
akan semakin tinggi hingga mencapai 32%.
Jika pemerintah menetapkan kebijakan kenaikan tarif dasar
listrik, langkah pemerintah yang paling efektif untuk meredam dampak negatif
dari kenaikan tarif dasar listrik tersebut adalah dengan menurunkan biaya
logistik yang selama ini sangat membebani para pelaku ekonomi. Usaha
pemerintah untuk menurunkan biaya logistik masih terbuka lebar dan sangat
mungkin bisa dilakukan pemerintah. Dengan membangun infrastruktur yang
berkualitas dan bisa digunakan pelaku usaha dengan harga yang murah, biaya
logistik akan turun dengan sendirinya.
Jika hal ini bisa dilakukan pemerintah, kenaikan tarif
dasar listrik pada Mei ini tidak akan memengaruhi fungsi biaya perusahaan
secara signifikan. Pada akhirnya, kenaikan tarif dasar listrik tidak akan
mengakibatkan kenaikan inflasi pada level yang tinggi di luar batas
normalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar