Nasionalisme
Kebangsaan
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi
Filsafat Teologi Jakarta
|
KOMPAS, 22 Mei 2017
Nasionalisme yang bersemi pada 1908 jadi tonggak kesadaran
baru perlunya Indonesia bangkit menjadi bangsa bermartabat. Rasa kebangsaan
itu mencapai puncak dengan maklumat ”kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia”.
Selama beberapa puluh tahun, elemen-elemen kepemudaan,
kesukuan, keagamaan, ideologi, dan profesi terlibat aktif dalam pembentukan
identitas kebangsaan. Politik pecah belah penjajah tidak dapat membendung
hasrat bersatu putra-putri Indonesia.
Setelah seabad Kebangkitan Nasional, nasionalisme
Indonesia masih ambigu. Apabila di luar negeri, kita memperkenalkan diri,
”Saya orang Indonesia.” Menambah identitas primordial kesukuan atau keagamaan
tidak diharapkan, juga tidak relevan. Di luar negeri, kita hanya menonjolkan
identitas keindonesiaan. Namun, di dalam negeri, kita mudah menonjolkan
identitas unsur-unsur keindonesiaan dan membangun sentimen primordial.
Atas nama demokrasi, kesadaran beragama diungkapkan secara
berlebihan sehingga merusak kesatuan bangsa. Nasionalisme yang kompatibel
dengan negara-bangsa adalah rajutan anak bangsa dari unsur komunitas agama,
ilmuwan, pekerja seni, musisi, pelukis, usahawan, kaum profesional dari semua
orang Indonesia.
Nasionalisme Pancasila
Meski sebagian besar orang Indonesia beragama, kebangsaan
tidak identik nasionalisme religius. Atribut religius membuat nasionalisme
didefinisikan sepihak oleh yang beragama, oleh yang beragama mayoritas di
suatu wilayah, yang beraliran agama arus utama, yang mengklaim diri lebih
religius karena status dan pendidikan.
Hubungan negara dan agama sudah selesai pada tataran
konstitusional, tetapi lain dinamikanya pada tataran praktis. Para pendiri
republik menghindar dari pilihan negara sekuler atau negara agama, dengan
negara Pancasila. Itu bukan kemenangan politik sekuler. Kebanyakan mereka
yang tidak setuju dengan ide negara agama tidak sekuler atau anti-agama,
melainkan nasionalis-religius.
Masalah yang lalu muncul: seperti apa wujud negara
Pancasila dalam praktik? Indonesia dalam praktik pasti tidak pernah sebagai
implementasi sempurna Pancasila dalam keseluruhan ataupun tiap silanya.
Pancasila adalah norma-norma ideal. Dalam istilah Bung Karno, Pancasila
adalah leidstar (bintang pimpinan) yang dinamis, menggerakkan rakyat untuk
berjuang, menuntun bangsa saat bergerak, memusatkan energi bangsa mewujudkan
tujuan berbangsa.
Apabila nasionalisme Pancasila jadi panduan hidup
bernegara dan berbangsa, niscaya itu menjadi magnet bagi partisipasi seluruh
warga untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa. Baik untuk kelompok belum tentu
baik untuk bangsa, tetapi baik untuk bangsa pasti baik bagi kelompok. Praktik
kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya merupakan mosaik implementasi
Pancasila sebagai kesatuan yang berkembang dari waktu ke waktu.
Skor indeks persepsi korupsi Indonesia (2016) adalah 37 (0
sangat korup, 100 sangat bersih), peringkat ke-90 (dari 176 negara). Namun,
skor China yang komunis adalah 40, peringkat ke-79. Tentu bukan agama yang
jadi salah satu penyebab korupsi. Itu bukan hanya dua dunia berbeda,
prinsip-prinsip juga berbeda. Tentu ada yang kurang ketika kesadaran beragama
menguat berbanding terbalik dengan kesadaran memusuhi korupsi.
Indonesia dengan Pancasilanya adalah laboratorium unik
hubungan negara dan agama. Dunia sudah lama mengakui hal itu dan kini semakin
menarik perhatian.
Sekolah negeri di Barat hanya mengajarkan agama sebagai
pengetahuan, tetapi sekolah negeri di Indonesia memfasilitasi pengajaran
untuk lebih dari satu agama. Kecurigaan berlebihan terhadap agama sebagai
penghalang sains atau demokrasi tak terbukti di Indonesia. Radikalisme dan
ekstremisme berkembang bukan dari faktor tunggal agama, melainkan
faktor-faktor kompleks.
Wajah kultural agama
Berbeda dari cara beragama orang Barat yang rasional,
agama bagi kebanyakan orang Indonesia lebih bersifat kultural dan menjadi
bagian dari identitas diri. Apabila teologi bersifat reflektif-rasional,
agama lebih bersifat afektif. Berbagai agama di Indonesia melebur dengan
kultur setempat, tampil beda dari agama di tempat asalnya.
Pentingnya agama sebagai bagian dari jati diri bangsa tak
perlu dinafikan, terlebih di era globalisasi. Negara-negara maju di Barat
menyadari globalisasi kapital dan perdagangan yang kini menyengsarakan warga
sendiri. Karena itu, gerakan populisme di Barat menguat. Namun, ancaman
globalisasi bagi Indonesia sebagai negara berkembang adalah hilangnya jati
diri bangsa. Kita tidak seperti Jepang, Korea Selatan, atau Tiongkok yang
jadi modern dengan tetap memberikan ruang hidup bagi akar-akar tradisional.
Bahkan, kultur itu melintas batas-batas negara.
Kebudayaan kita begitu beraneka ragam dan sporadis. Minim
perhatian pemerintah untuk melestarikannya. Setiap budaya daerah dengan
kekuatan kecil tak berdaya menghadapi gempuran masif globalisasi melalui
kemajuan teknologi informasi. Satu- satunya kekuatan kultural yang tak mudah
dilibas zaman adalah agama. Di situ kedudukan strategis agama Islam di
Indonesia.
Islam bukan hanya agama yang dipeluk mayoritas orang
Indonesia, melainkan bersama agama-agama lain membentuk jati diri bangsa.
Islam Indonesia dengan wajah kulturalnya jadi benteng terakhir jati diri
bangsa. Bangsa Indonesia, tak hanya yang Muslim, berkepentingan memelihara
wajah kultural Islam di tengah kekosongan strategi kebudayaan Indonesia.
Ketika globalisasi membuat orang tunggang-langgang mencari tambatan kultural,
di Indonesia agama menjadi tambatan kultural.
Namun, wajah kultural agama dirusak oleh politisasi agama.
Politik kekuasaan cenderung menghalalkan segala cara. Politisi tidak
segan-segan menjadikan agama sebagai komoditas politik, tak peduli apakah
dengan begitu rusak pula marwah agama atau umat terbelah. Rumah ibadah
menjadi tempat berkampanye kehadiran negara untuk mengoreksi atau memelihara
marwah agama.
Politisi menarik agama ke panggung politik praktis yang
dikuasai para pemburu kekuasaan. Mereka berlindung di balik marwah agama
untuk menutupi inkompetensi dan tata kelola yang buruk. Dengan politik yang
melibatkan agama, masuk pula agamawan ke dalam barisan politik dan memasukkan
agama ke dalam kancah politik. Menjadi janggal ketika agama memicu kegaduhan
dan konflik sosial.
Untuk menyelamatkan marwah agama dan menjaga kesatuan
bangsa, negara tidak bisa berdiam diri membiarkan agama jadi obyek
politisasi. Rumah ibadah dan dunia maya adalah ruang publik. Di situ negara
harus hadir secara terukur untuk menjamin tidak adanya ujaran provokatif.
Berulang-ulang dusta tanpa koreksi akan membuat ada orang yang percaya itulah
kebenaran.
Tidak cukup jadi pengurus negara (negarawan). Tata kelola
negara yang baik juga harus memproduksi politisi yang memegang teguh prinsip
luhur politik dan agama, serta mewakafkan hidupnya untuk kesejahteraan
rakyat. Tak banyak politisi seperti Bung Hatta, yang konsisten: nasionalisme
kebangsaan mendarah daging dalam tutur dan lakunya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar