Perlunya
Dialog Nasional Teguhkan Pancasila
Ahmad M Ali ; Anggota
Komisi III DPR Fraksi NasDem
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Mei 2017
“ASAL mau sahaja tak kuranglah
jalan menuju persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati satu sama lain,
keinsafan akan pepatah ‘Rukun membikin sentausa’, (itulah sebaik-baiknya
jembatan ke arah persatuan),” demikian petikan kalimat Soekarno tentang makna Persatuan
Nasional yang ditulis dalam buku Di
Bawah Bendera Revolusi (1961).
Desas-desus distabilitas nasional makin tak berujung
belakangan ini, political identity movement (gerakan politik identitas) makin
menguat ke arah yang mengkhawatirkan. Saling hujat mewarnai aktivitas media
sosial. Hujan kritik hoax, informasi yang tidak akurat, berseliweran dan
bergesekan satu sama lain, seperti tanpa ada rambu-rambu konstitusional.
Situasi bangsa kekinian telah menimbulkan suatu kecemasan
yang meluas. Persilangan pendapat dipertajam sedemikian rupa melalui saluran
media sosial. Pertengkaran pendapat itu telah makin mengkristal seolah-olah
bangsa ini tidak lagi memiliki ikatan kearifan yang mendamaikan, menyejukkan,
dan menginspirasi kemajuan. Bisa jadi, sebab musababnya karena politik kita,
tata krama kehidupan sosial kita makin jauh dari ideologi bangsa; Pancasila.
Kita sudah keterlaluan mencelupkan kehidupan bangsa dalam pragmatisme. Kita
harus berubah.
Pada sisi yang lain, kita berhadapan pada ketimpangan,
penderitaan, dan kemiskinan rakyat yang tak kunjung berakhir. Hal itu membuat
sebagian besar rakyat kita semakin hari menjadi apolitis. Mereka dipaksa
kenyataan memisahkan politik dari kehidupannya sebagai sesuatu yang tercela.
Padahal, di satu sisi, rakyat saat ini tengah menginginkan perubahan politik
penghidupan yang mendasar.
Berdiri dalam sejarah
Zaman kolonial, di saat kita dipaksa menerima nasib apa
adanya, politik yang kerdil, harapan sempit dan pergaulan hidup terbelakang,
sudah berlalu. Segala pengekangan otoritas individu dan masyarakat telah
berhasil kita lewati hingga mampu berdiri sebagai negara yang merdeka.
Pengalaman pahit warga antara pulau, agama, suku, dan ras,
dijahit dalam kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah, tanpa pengecualian.
Nasib itulah yang sesungguhnya mendorong sikap kolektif dan kemauan bersama
mewujudkan kemerdekaan. Lantas, apakah kita rela dengan mudah merusak
kepingan sejarah itu? Olehnya, ingatan itu harus kita hidupkan kembali untuk
menata haluan sejarah bangsa Indonesia.
Pada saat inilah masa di saat bangsa harusnya memiliki
jiwa yang besar, punya ambisi, imajinasi, dan pergaulan dunia yang hebat.
Kita adalah anak negeri yang berlayar di atas keringat sendiri dan memesona
dunia. Kinerja dan integritas harus menjadi arus utama dalam kesadaran politik
ke depan. Kita harus berani melangkah lebih maju, menilai, dan membuat
terobosan kebudayaan politik yang bermartabat, efektif, dan substansial.
Tugas sejarah kita ialah menerangkan seluas-luasnya dan
memberi teladan bahwa dalam politiklah penderitaan dan penciptaan kemakmuran
itu ditentukan. Kekosongan perspektif dalam politik terjadi karena Pancasila
tidak lagi menjadi sumber inspirasi dan pandangan hidup. Budi pekerti,
toleransi, dan tolong menolong telah menjadi sesuatu yang langka.
Solusi kebangsaan
Harmonisasi sosial dan soliditas organik ialah dua
kebutuhan bangsa yang bersifat urgen saat ini. Kita harus merangkul kembali
seluruh elemen bangsa untuk bergerak bersama; bertindak sadar dan bahagia
dalam bingkai NKRI. Kebutuhan akan itu tidak boleh lagi ditawar-tawar oleh
garis kepentingan golongan, tetapi ditempatkan sebagai kebutuhan bangsa
secara holistis (menyeluruh).
Dialog dan pencerahan kebangsaan perlu dirajut kembali
agar semua elemen bangsa saling memberi kritis konstruktif. Menjauhkan sikap
diri dari potensi pola destruksi sosial. Rakyat Indonesia memiliki kearifan,
toleransi, dan sikap penerimaan terhadap perbedaan.
Kita semua harus percaya itu sebagai anugerah Yang
Mahakuasa untuk kebaikan bersama. Keberagaman ialah fasilitas dari Tuhan
untuk kita saling mengenal satu sama lain agar kita bisa belajar memahami dan
menerima perbedaan sebagai kekuatan bangsa. Dialog kebangsaan merupakan
pekerjaan merawat kebinekaan sekaligus suatu gerakan pemulihan nilai-nilai
luhur kebangsaan dan akal budi Nusantara.
Politik dan kemanusiaan ialah dua sisi satu keping;
seharusnya tidak terpisahkan satu sama lain. Kerja politik ialah suatu arena
merebut kekuasaan untuk tujuan perikemanusiaan. Arena politik kita harus
bergerak ke arah peradaban tersebut, meninggalkan ‘perang’ kepentingan sesaat
individu politisi. Kita harus kembali pada jati diri sebagai bangsa.
Demokrasi yang sejati bisa diraih kalau ada persatuan
rakyat. Menempatkan politik sebagai jalan damai untuk mengibarkan harapan
bersama menuju perbaikan nasib. Menghalau sifat-sifat pragmatis jangka
pendek dalam diri dan meluaskan sikap keteguhan mengatasi masalah di bawah
bimbingan Pancasila sebagai pandangan dunia berbangsa dan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar