Rasanya
Kita Yang Besarkan HTI
Dahlan Iskan ; Mantan
CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 11
Mei 2017
BEGITU banyak kelompok dalam Islam. Non-Islam
sering tidak tahu. Lalu mengira sama. Bahaya semua. HTI, FPI, JT, NU, NW, MU,
SI… Dan masih banyak lagi. Kalau semua ditulis, satu halaman koran pun tidak
cukup.
Beberapa tahun lalu saya terbang dari Manado
ke Luwuk. Dengan pesawat isi 18 orang. Pilotnya pakai serban putih. Orang
langsung tahu: dia orang Islam. Dengan konotasi tertentu.
Hari itu hampir semua penumpang orang kulit
putih. Rombongan turis. Dari wajah mereka, saya menduga turis Italia. Begitu
duduk, saya menangkap ekspresi aneh. Mereka mengarahkan mata ke pilot. Lalu
saling berpandangan. Tidak ada kata yang mereka ucapkan. Tapi, ekspresi wajah
mereka penuh tanda tanya. Juga penuh kekhawatiran.
Begitu cemas mereka, saya pun tergerak ingin
menenangkan perasaan mereka. Benar. Mereka turis dari Italia. Saya ucapkanlah
satu dua kata dalam bahasa mereka. Perhatian mereka pun beralih dari pilot ke
saya. Saatnya saya action.
’’Pilot kita hari ini istimewa,’’ kata saya
dalam bahasa Inggris. Bahasa Italia saya sudah tidak cukup untuk kalimat
panjang.
Mereka terperangah. ’’Dia itu orang Islam dari
kelompok yang disebut Jamaah Tablig. Mereka ini anti kekerasan,’’ ujar saya.
Kelompok ini, kata saya, sangat damai. Tidak
mau mengganggu orang. Aktivitas mereka berkelana menyebarkan agama. Dengan
prinsip jangan mengganggu orang. Ke mana-mana mereka bawa kompor sendiri.
Untuk masak. Agar tidak merepotkan siapa pun. Tidak pernah mengafirkan orang
lain. Tidak pernah menyakiti. Apalagi membunuh.
Lalu, saya berteriak ke arah pilot. Tempat
duduk saya memang agak jauh di belakang. ’’Mr Pilot, benar kan Anda dari
kelompok Jamaah Tablig?’’ tanya saya dalam bahasa Inggris. Lalu, sang pilot
menerangkan bahwa apa yang saya jelaskan tadi benar semua.
Turis itu kelihatan lega dan puas. Banyak yang
manggut-manggut. Mengekspresikan perasaan ’’oh, begitu ya’’. Atau ’’kita bisa
terbang dengan aman’’. Atau sejenisnya.
Ternyata, penerbangan itu tidak sepenuhnya
aman. Ketika melintas di atas laut Teluk Tomini, terbangnya agak miring.
Cuaca terang. Langit bersih. Setelah terbang satu jam, saya mulai bertanya
dalam hati. Ada apa ini? Kok belum tiba di Luwuk? Mestinya kan hanya 55
menit.
Tapi, pilotnya terlihat tenang saja. Setengah
jam kemudian barulah bisa mendarat. Turis Italia bertepuk tangan. Mengiringi
roda pesawat yang menyentuh landasan. Sebelum turun, mereka memberi tabik.
Respek kepada pilot. Saya turun terakhir.
’’Kok terbangnya 1,5 jam, Cap?’’ tanya saya
berbisik.
’’Maafkan, satu mesinnya mati,’’ jawabnya.
Kami pun saling tukar nomor telepon.
Huh! Kata saya dalam hati. Coba sampai terjadi
masalah. Bisa-bisa akan dihubungkan dengan identitas pilotnya yang Jamaah
Tablig.
Mari pindah ke HTI yang akan dibubarkan
pemerintah. Saya juga kenal banyak anggota kelompok Hizbut Tahrir.
Anggota kelompok ini umumnya muda, terpelajar,
berpakaian rapi, necis, banyak yang pakai dasi, dan menggunakan bendera
bertulisan Arab. Bunyinya, Lailahaillallah Muhammadarrasulullah. Artinya:
Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah.
Tulisan Arab di bendera itu bukan kalimat
protes. Bukan kalimat marah. Bukan kalimat kebencian. Bukan pula kalimat
mengajak berontak. Barangkali perlu dipikirkan untuk menyertakan terjemahan
di bendera itu. Agar dimengerti. Oleh yang non-Islam. Tidak dikira ajakan
makar. Dan bisa terasa lebih Indonesia. Toh, singkatan HTI itu, I-nya berarti
Indonesia. Kalau singkatannya hanya HT, bisa dikira Hary Tanoe.
Saya belum pernah mendengar ada kekerasan yang
dilakukan HTI. Apalagi kerusuhan. Maafkan kalau salah. Salah satu hobi HTI
memang demo. Bukan main rajinnya berdemo. Dengan benderanya yang bertulisan
Arab itu. Tapi, demonya selalu rapi. Tertib. Dan terkontrol. Sering pula
membawa tali panjang. Untuk menjaga agar peserta demonya tidak keluar dari
barisan. Ada tujuan lain. Agar tidak ada penyusup ke barisan.
Beberapa tahun lalu, saya pulang kampung ke
Magetan. Saya kaget. Dua ponakan saya menjadi HTI. Mereka baru lulus dari
universitas. Saya sempat berdialog dengan ponakan tersebut. Ingin memahami
mengapa masuk HTI. Lalu mengujinya dengan beberapa pertanyaan kritis. Mereka
tidak bisa menjawab. Mungkin karena masih junior. Saya tidak mengupayakan
agar mereka meninggalkan HTI. Tapi, beberapa tahun kemudian sudah berbeda.
Ketika saya pulang kampung lagi, mereka sudah tidak aktif di HTI.
Saya melihat HTI saat ini tidak berbahaya. Ide
besar HTI akan kalah oleh ide demokrasi. Kalah telak. Sepanjang demokrasi
bisa berjalan baik. Sepanjang demokrasi bisa membuat rakyat sejahtera.
Sepanjang demokrasi bisa membuat hukum tidak jadi alat politik semata.
Ide HTI tidak akan bisa membesarkan HTI.
Kitalah yang malah bisa membesarkannya. Lewat kesalahan-kesalahan kita.
Setidaknya minggu ini. HTI sudah lebih besar.
Akibat rencana pembubarannya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar