Integrasi
Literasi Media ke dalam Kurikulum
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Mei 2017
MELAKUKAN integrasi barang baru ke dalam kurikulum
bukanlah hal mudah dan sederhana. Selain dibutuhkan kebijakan yang kuat di
tingkat lokal atau sekolah, strategi implementasinya juga harus baik dan
disepakati seluruh stakeholders sekolah, salah satunya dengan melibatkan
secara intens peran guru dan kepala sekolah untuk terus melakukan upaya dan
proses integrasi tersebut. Selain itu, komitmen terhadap kebijakan ini juga
memerlukan kebebasan guru dalam berkreasi, terutama dengan menggunakan
lokalitas kemampuan sekolah itu sendiri.
Hasil riset dari Jonathan Savage and William Evans dalam Developing a local curriculum: using your
locality to inspire teaching and learning (2015) tentang alasan mengapa
guru dan sekolah harus diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum
berbasis kebutuhan lokal dalam rangka menciptakan sistem evaluasi yang valid
dan berdasarkan nilai dan lokalitas sebuah struktur masyarakat tempat sekolah
berada di dalamnya.
Tiga dimensi kurikulum
Menurut Jonathan Savage dan William Evans, setidaknya ada
tiga dimensi mengapa pengembangan kurikulum berbasis kebutuhan lokal sekolah
menjadi penting dalam konteks program integrasi kurikulum.
Pertama ialah dimensi personal guru (teacher personal
dimension) karena bagaimanapun kepribadian guru tidak tumbuh dan berkembang
karena kompleksitas hubungan masyarakat yang jauh dan besar, melainkan karena
guru tumbuh, hidup dan berkembang berdasarkan nilai-nilai hubungan
kekerabatan yang secara genetis tumbuh di daerah mereka masing-masing.
Para guru tentu faham tentang apa yang terjadi dalam
keseharian para siswa, orangtua dan lingkungan masyarakat sekitar tempat mereka
juga hidup dan bersosialisasi.
Karena mengajar dan pengembangan kurikulum selalu
beriringan, mempertimbangkan kebutuhan lokal sangat penting untuk diterapkan
dan lebih dari sekedar muatan lokal (mulok) dalam sistem kurikulum kita yang
terkesan apa adanya.
Kedua adalah dimensi politik (political dimension) dari
kurikulum, yang dominasi negara selalu tak pernah bisa dikalahkan oleh
kebajikan lokal (local wisdom) sekalipun.
Kurikulum selalu dipertimbangkan Kemendikbud sebagai
sesuatu yang harus selalu dikonstruksi dan dilembagakan dari pusat sehingga
jarak implementasi dan pengembangan kurikulumnya menjadi sangat jauh dari
realitas sosial sekolah, siswa dan masyarakat sekitar sekolah.
Salah satu yang selalu merepotkan para guru adalah terlalu
seringnya kurikulum diubah dan berubah sesuai selera pusat, tetapi lalai
dalam menimbang kebajikan lokal (local
wisdom).
Karena alasan politis inilah, sekali lagi, diperlukan
pengembangan kurikulum lokal berbasis kebajikan lokal yang sesuai dengan
norma dan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat.
Area based curriculum menjadi penting karena dimensi
ketiga yang menjadi dasar pertimbangannya adalah aspek pedagogis (pedagogical dimension).
Mengapa? Karena menurut Facer (2004), "Teachers are the curriculum makers," guru ialah
pencipta sekaligus pelaku implementasi kurikulum yang paling terdepan.
Bayangkan, karena alasan teknis kurikulum yang sangat
formal dari tingkat pusat, puluhan tahun guru kita kehilangan semangat dan
kesempatan untuk menjadi guru yang kreatif. Guru selalu dikejar setoran oleh
para pengawas dan dinas pendidikan tentang aspek formal dari kurikulum,
tetapi jaramg sekali memberikan guru kebebasan pedagogis yang memungkinkan
kreativitas dan inovasi mengajar mereka berkembang secara signifikan.
Pentingnya menimbang tiga dimensi pengambangan area based
curriculum dalam rangka menciptakan program integrasi literasi media ke dalam
kurikulum secara berkesinambungan ialah kebutuhan jangka menengah Kemendikbud
yang harus segera dibuat proyek percontohannya, terutama untuk
sekolah-sekolah negeri.
Maraknya penggunaan media sosial yang memiliki potensi
destruktif terhadap semangat belajar siswa dalam menimba ilmu, yang ujungnya
pasti akan berdampak buruk juga terhadap masa depan bangsa.
Enam model integrasi
Agar program integrasi literasi media ke dalam kurikulum
berjalan dengan baik tanpa mengubah dan menambah beban kurikulum yang telah
ada di sekolah, Cyndy Scheibe dan Faith Rogow dalam Basic Ways to Integrate Media Literacy and Critical Thinking into Any
Curriculum (3rd Ed, 2008),
menjelaskan 6 langkah dan model integrasi kurikulum yang akan berguna bagi
pengembangan daya kritis siswa.
Keenam model tersebut secara ringkas dapat dijelaskan
dengan, pertama, memberikan kebebasan para siswa untuk bertanya dengan
seluas-luasnya tentang apa yang terjadi di media sosial, tetapi tetap dalam
konteks mata ajar yang sedang dibahas.
Agar pertanyaan tetap fokus, sebagai guru kita wajib
menjelaskan sumber media mana yang kredibel dan mana yang hoaks, dengan cara
memberikan penjelasan yang sesuai dengan sumber yang lebih dipercaya.
Sumber yang dipercaya tersebut kemudian disepakati sebagai
basis pandangan kelas yang akan digunakan dalam proses belajar.
Dengan kesepakatan yang ada, agar siswa menjadi lebih
kreatif, mintalah para siswa membuat berita tandingan yang lebih
merepresentasi pandangan mereka dalam hal tertentu yang sedang dibahas.
Tugas kita sebagai guru ialah memastikan bahwa proses
komunikasi berjalan baik dan terukur.
Kedua, pastikan bahwa setiap siswa mulai bisa memilih dan
memilah informasi yang kredibel berdasarkan pandangan bersama.
Dalam rangka merangsang keinginan siswa untuk terus
bereksplorasi secara positif, mintalah mereka untuk membuat riset-riset kecil
berkaitan dengan informasi atau topik yang sedang dibahas.
Ketika melakukan riset, bimbing mereka dengan
website-website tertentu yang sudah disiapkan agar mereka bisa membaca secara
baik dan dapat membandingkan sumber informasi secara jernih. Kemudian bagilah
para siswa menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mendiskusikan sumber-sumber
berita yang lebih banyak dan valid.
Ketiga, guru harus memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi tentang seberapa jauh dan besar berita-berita di media
tersebut memengaruhi pola pikir anak-anak selama proses diskusi.
Mintalah anak-anak untuk membuat peta jaringan antar-link
dari sebuah berita agar proses pelacakan informasi yang baik dapat berguna
untuk membangun basis pandangan siswa dalam menerima sumber informasi secara
baik dan benar.
Dengan demikian, artinya siswa sudah mulai belajar untuk
terbiasa menerima dan mengolah informasi tidak dari satu sumber, melainkan
beragam sumber dalam konteks pembelajaran.
Dengan menggunakan media sebagai standar pedagogical tool,
langkah keempat yang bisa digunakan para guru ialah meminta para siswa untuk
mulai belajar menuliskan pandangan mereka dari beragam sumber tersebut
menjadi pandangan mereka.
Latihan menulis bagi para siswa akan sangat bermanfaat
bagi guru dan siswa sekaligus dalam rangka menguji coba untuk berbeda
pendapat secara bertanggung jawab.
Jika pandangan yang berbeda tersebut ditulis secara
akademik, siswa akan belajar caranya bagaimana menjadi manusia yang
bertanggung jawab secara luas.
Bagi guru, respons terhadap keberagaman sumber informasi juga
akan membantu kreativitas guru menjadi lebih baik lagi karena keragaman
sumber informasi biasanya akan menimbulkan banyak ide kreatif dalam
belajar-mengajar.
Model atau langkah kelima adalah memberikan penilaian
terhadap hasil kerja siswa secara tertulis dengan memberikan perspektif yang
beragam pula.
Dalam konteks ini, guru dapat menunjukkan mana di antara
pandangan siswa yang salah tentang sebuah informasi. Menunjukkan kesalahan
pandangan juga akan melatih guru dan siswa untuk terbiasa melakukan cross-check
sumber informasi secara serius dan berhati-hati.
Dengan menunjukkan kesalahan secara benar, proses
penerimaan informasi menjadi lebih akurat dan valid serta sesuai dengan
standar akademik yang harus dimiliki komunitas terpelajar di sekolah.
Keenam, guru diharapkan dapat mengembangkan kesadaran
siswa bahwa di dalam sebuah berita yang bersumber dari media sosial, banyak
hal harus diklarifikasi terlebih dahulu.
Membantu siswa untuk mengidentifikasi berita yang valid
dan bukan hoaks adalah kemampuan lain yang harus dimiliki para guru, termasuk
membedakan berita yang bersifat fiksi (khayal) dan bukan fiksi.
Karena itu, guru harus memiliki sumber berita yang beragam
agar dapat menunjukkan perbedaan yang distingtif antara berita yang benar dan
berita yang salah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar