Orang-Orang
Kasar
AS Laksana ; Esais dan Cerpenis, tinggal di
Jakarta
|
JAWA
POS, 22
Mei 2017
Kami ke Kutoarjo berdua dari Jogjakarta dengan mobil
travel. Beberapa jam sebelumnya, teman saya berinisiatif menelepon agen
perjalanan, menanyakan jadwal keberangkatan dan berapa harga tiketnya.
Petugas agen perjalanan menyebutkan jam keberangkatan yang masih tersedia dan
berapa harga tiket Jogjakarta–Kutoarjo.
Saya tidak membeli tiket di agen itu. Teman saya mengantar
kami langsung ke terminal dan saya membeli dua tiket di agen perjalanan yang
ada di sana. ”Seratus dua puluh, Pak,” kata petugas agen perjalanan yang kami
datangi.
”Jadi, tiketnya enam puluh?” tanya teman saya. ”Tadi saya
menelepon agen, ia bilang empat puluh ribu.”
”Itu harga lima tahun lalu, Pak,” katanya.
Saya membayar harga yang ia sebutkan. Murah. Jumlah uang
yang sama tidak cukup untuk membayar taksi dari rumah menuju Bandara
Soekarno-Hatta. Sesaat sebelum mobil berangkat, seorang petugas meminta tanda
pembayaran yang saya terima dari agen dan menukarnya dengan dua tiket
perjalanan. Di tiket tersebut tertera empat puluh ribu rupiah. Agen
perjalanan itu berbuat curang.
Itu kali pertama saya ke Kutoarjo, sebuah kota kecamatan
di wilayah Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mengantar anak saya yang merasa
kangen kepada orang tua dan saudara angkatnya di sana. Pada Februari lalu,
sekolahnya mengirimkan semua murid kelas dua untuk belajar di sekolah lain.
Anak saya bersekolah seminggu di SMP 3 Kutoarjo dan tinggal bersama satu
keluarga, yang ia sebut orang tua angkat, di desa yang hijau dan tenteram.
Ayah angkatnya, dua tahun di atas saya, pernah menjadi
lurah selama dua periode di desa itu. Kami bercakap-cakap di teras rumah
sampai larut, mula-mula tentang sekolah anak kami masing-masing, lalu tentang
apa saja yang kira-kira nyambung untuk dijadikan obrolan. Pada dini hari, ia
menceritakan bahwa di daerahnya ada tiga anak sekolah yang hamil dan
melahirkan bayi.
Itu kejadian menyedihkan, tetapi bukan topik yang
mengejutkan. Jika mengetikkan frasa ”anak smp porno” di mesin pencari, Anda
akan disuguhi berita-berita tentang perbuatan cabul yang melibatkan murid
SMP. Baik di Jakarta, Surabaya, Sukabumi, Cirebon, dan lain-lain. Di Klaten,
tahun 2008, pernah beredar video porno seorang kepala desa dengan siswi SMP
yang sengaja diumpankan ibunya.
Pembicaraan kami sampai ke soal itu karena kami sama-sama
memiliki anak perempuan kelas dua SMP. Anak perempuannya sudah menstruasi
sejak kelas lima SD. Anak saya baru mengalaminya beberapa bulan lalu. Waktu
itu liburan semester hampir berakhir; anak saya terlihat gelisah. Tiga hari
sebelum kembali bersekolah, ia mengeluarkan darah.
”Berarti kau sekarang sudah dewasa dan sehat,” kata saya.
Ia terlihat sedikit lega dan gembira mendengar bahwa sekarang ia sudah
dewasa. ”Dan perempuan dewasa yang sehat bisa hamil jika berhubungan seksual
dengan lelaki dewasa,” kata saya lagi.
Saya menggunakan kesempatan menstruasi pertamanya untuk
membicarakan hal-hal yang sebaiknya ia ketahui sebagai perempuan dewasa. ”Nanti
akan ada anak lelaki tertarik kepadamu dan kau mungkin juga tertarik
kepadanya dan kalian akan berpacaran. Lalu kalian akan saling berpegang
tangan, mula-mula sambil gemetar, akhirnya menjadi biasa. Lalu akan muncul
dorongan untuk lebih dari itu. Jadi sebaiknya kau menetapkan sendiri
batasmu,” tutur saya.
”Jika nanti pacarmu memaksa melakukan sesuatu melebihi
batas yang telah kautetapkan, itu artinya ia tidak menghormatimu. Kau boleh
meninggalkannya.”
Besoknya ia masih gelisah. Saya menanyakan apa masalahnya
dan ia menceritakan, dengan sangat hati-hati dan sedikit berbelit-belit,
bahwa suatu hari ia berjalan berdua dengan temannya di lapangan sekolah dan
berpapasan dengan guru agama Islam. Temannya mengenakan jilbab dan ia tidak.
Guru agama menanyainya, ”Kapan memakai jilbab?” Anak saya menjawab, ”Nanti
kalau sudah menstruasi.”
”Berarti nanti kau akan berjilbab ke sekolah?” tanya saya.
Ia terlihat bingung.
Saya ingat KH Mustofa Bisri pernah menulis status
Facebook: ”Nabi Muhammad SAW menghargai
’pakaian nasional’ Arab, maka beliau bersorban dan berjubah. Kita ingin
ittiba’, mengikuti jejak beliau, tapi tak punya pakaian nasional.
Mudah-mudahan dengan memakai peci hitam seperti Bung Karno dan baju batik
seperti Gus Dur, terhitung mengikuti jejak Nabi.”
Dengan ingatan itu, saya menyampaikan kepadanya: ”Kaum perempuan di negeri ini juga
memiliki pakaian sendiri yang sopan dan bermartabat. Jika kau memutuskan
mengenakan pakaian nasional kita, itu keputusan yang baik-baik saja. Tidak
ada masalah. Kau tahu, batik kita ditetapkan PBB sebagai warisan budaya
dunia.”
Saya tahu akan ada orang-orang yang kurang senang terhadap
apa yang saya sampaikan kepada anak saya. Jangankan saya, KH Mustofa Bisri
pun dihujat secara kasar karena pernyataan itu oleh situs web NU Garis Lurus, yang pengelolanya
mengaku santri, tetapi menulis tanpa rasa hormat terhadap kiai. Mereka enteng
saja membuat judul: ”Pernyataan GOBLOK
Terbaru Said Agil Siraj Membela Syiah” atau ”Membuka Kedok Tokoh-Tokoh Liberal dalam Tubuh NU” (foto Gus Mus
dan Gus Dur menjadi ilustrasi tulisan ini).
Orang-orang kasar itu, Anda tahu, tidak hanya membuat
masalah. Mereka sendiri adalah masalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar