Urgensi
Literasi Media Sosial melalui Kurikulum
Marthunis ; Sekolah
Sukma Bangsa Pidie Alumnus Master in Teacher Education, University of
Tampere, Finlandia
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Mei 2017
DALAM satu dekade terakhir, media sosial semisal Facebook,
Youtube, Instagram, dan Twitter telah menjelma menjadi kekuatan baru yang
mampu memengaruhi isu politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan agama secara
global.
Ulasan Dreamgrow.com baru-baru ini menempatkan Facebook
sebagai media sosial paling diminati di seluruh dunia dengan total pengunjung
per bulan mencapai 1,8 miliar, diikuti Youtube (1 miliar), Instagram (600
juta), dan Twitter (313 juta).
Media-media sosial ini telah bertransformasi dari sekadar
wadah berbagi foto atau video dalam menjalin pertemanan global menjadi
unlimited resource yang dapat bermakna ganda; konstruktif dan destruktif.
Kisah kakek Abdul Rauf, seorang penjual nasi uduk betawi
di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, yang tiba-tiba kebajiran pembeli
setelah salah seorang netizen bernama Hafizah Sari mengunggah status di
Facebook tentang seorang kakek yang tertidur pulas karena sepinya pembeli
(Suara.com, 20/10/2016) menjadi salah satu contoh menarik tentang bagaimana
kekuatan media sosial mampu mendorong mobilisasi massa untuk melakukan
sesuatu yang positif.
Di sisi lain, media sosial juga mampu menjadi salah satu
poros kekuatan destruktif yang cukup membahayakan.
Viralnya kasus penculikan anak beberapa waktu silam yang
ternyata hoax telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.
Ironisnya, banyak sekali orang gila yang dicurigai sebagai
penculik menjadi korban kemarahan warga akibat viralnya isu tersebut.
Menurut data statistik yang dirilis APJII (Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) pada survei 2016, jumlah pengguna
internet di Indonesia mencapai 132,7 juta user atau sekitar 51,5% dari total
jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta jiwa.
Mayoritas dari jumlah tersebut adalah pengguna aktif media
sosial yang Facebook menjadi media sosial yang paling banyak dikunjungi
dengan 71,6 juta pengguna, diikuti Instagram sebesar 19,9 juta.
Kuantitas pengguna media sosial dengan jumlah yang cukup
besar tersebut menghendaki adanya pembekalan literasi media terhadap
penggunanya.
Derasnya arus informasi, baik berbentuk fakta maupun hoax
yang dapat diakses melalui media sosial, mengharuskan penggunananya untuk
memiliki kemampuan memilah dan memilih dalam mengamini ataupun menyebarkan
informasi yang diperoleh.
Bahkan berdasarkan data yang dikeluarkan APJII, pengguna
aktif internet di Indonesia yang juga aktif mengunjungi media sosial dengan
kisaran umur 10-24 mencapai 24,4 juta orang (18,4%).
Jumlah yang cukup signifikan tersebut mengisyaratkan
pentingya literasi media bagi mereka.
Penetrasi kurikulum
Salah satu cara efektif dalam membangun literasi media
secara bertahap dan berkesinambungan pada kelompok usia tersebut ialah
melalui kurikulum sekolah.
Meskipun kurikulum pendidikan Indonesia saat ini sudah
memberi porsi yang lebih besar pada pendidikan karakter peserta didik, urgen
rasanya menyisipkan pemahaman melek media kepada mereka dan
mengintegrasikannya dengan pendidikan karakter.
Realitas sosial hari ini menunjukkan bahwa menjadi baik
saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan kecerdasan dalam memahami gempuran
arus informasi yang terpampang melalui media, khususnya media sosial.
Hal ini didasari pada dinamika yang terjadi di sekitar
kita belakangan ini.
Banyak kita temukan orang baik di sekeliling kita, tetapi
cukup mudah termakan isu murahan yang tidak berdasar dari media-media sosial
yang mereka baca, yang ujungnya bermuara pada tindakan-tindakan anarkistis.
Karena itu, menurut Livingstone (2004) dalam Media
Literacy and the Challenge of New Information and Communication Technologies
menyatakan bahwa setidaknya terdapat 4 domain dalam media literasi; access,
analyze, evaluate, and conten creation.
Access adalah sebuah proses dinamis yang bukan hanya
meliputi ketersediaan perangkat untuk mendapatkan sumber informasi.
Namun, ia juga merupakan proses sosial yang memerlukan
kemampuan untuk memahami substansi informasi yang diperoleh dalam kaitannya
dengan konteks terntentu.
Analysis merupakan kemampuan untuk menelaah sebuah sumber
informasi secara lebih komprehensif dan mendalam dan mampu menerjemahkannya
secara tepat dan proporsional.
Evaluation ialah aspek yang juga memiliki peran signifikan
dalam literasi media.
Domain ini menghendaki adanya nalar kritis terhadap konten
informasi yang diperoleh, baik secara substansi maupun relevansinya terhadap
konteks nilai sosial, budaya, politik, ekonomi, sejarah, ideologi, bahkan
agama.
Aspek yang terakhir ialah content creation. Domain itu
merupakan integrasi dari 3 aspek di atas.
Jika seseorang telah memahami benar domain access,
analysis, dan evaluation dalam literasi media, seyogianya orang tersebut akan
menjadi content producer yang cerdas karena konten informasi yang dihasilkan
telah dipertimbangan secara matang melalui fitur-fitur di atas.
Gagasan literasi media ini selayaknya mampu
diinternasilisasikan ke dalam kurikulum pendidikan yang kemudian dapat
diterjemahkan menjadi silabus materi ajar yang disisipkan ke dalam pelajaran
yang diajarkan, baik di level sekolah maupun perguruan tinggi.
Langkah ini urgen rasanya untuk segera diwujudkan.
Menimbang sudah cukup banyak efek destruktif yang muncul
belakangan ini akibat posting-an hoaks yang dengan mudah viral melalui media
sosial.
Jika ditelaah, akar masalah dari pengguna media sosial
yang latah menyebarkan informasi hoaks melalui akunnya ialah karena tidak
memiliki kecerdasan melek media. Bayangkan saja 800 ribu situs penyebar hoaks
di Indonesia saat ini (CNN Indonesa, 29/12/2016) memanfaatkan jutaan
masyarakat Indonesia yang tidak melek media, tentu hal ini akan membawa
kepada bencana kemanusiaan.
Akibatnya, masyarakat kita akan sangat mudah terprovokasi
isu-isu murahan tanpa dasar yang bermuara pada sikap saling curiga, tuding
menuding, menyalahkan, dan akhirnya akan mengancam keutuhan NKRI tercinta
ini.
Maka membawa ide literasi media ini ke ruang kelas menjadi
vital untuk direalisasikan.
Mendidik generasi Indonesia sejak dini tentang pemahaman
melek media harus menjadi salah satu agenda utama pendidikan kita saat ini.
Agar mereka tidak hanya tumbuh menjadi generasi yang baik
secara moral, tetapi juga harus cerdas secara mental dan intelektual dalam
menghadapi gempuran arus informasi yang masuk melalui media sosial hingga
kamar tidur mereka.
Agar mereka tidak menjadi generasi yang dieksploitasi dan
ditunggangi oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu akibat ketidakpahaman
mereka.
Maka literasi media menjadi sangat penting.
Hal ini senada dengan ungkapan Linda Ellerbee, seorang
jurnalis berkebangsaan Amerika, "Media
literacy is not just important, it's absolutely critical. It's going to make
the difference between whether kids are a tool of the mass media or whether
the mass media is a tool for kids to use".
Literasi media melalui penetrasi kurikulum sebenarnya bisa
dimulai dengan problem based approach dalam konteks belajar mengajar, di mana
guru diminta aktif untuk memindai penggunaan sosial media siswa secara penuh
ataupun paruh waktu.
Dengan mencari bersama materi dan bahan ajar yang sesuai
dengan konteks dan problem keseharian siswa melalui sosial media,
sesungguhnya kita sedang mulai menghindari efek destruktif media terhadap
pola pikir dan perilaku menyimpang siswa.
Semua guru dan semua mata ajar sangat memungkinkan untuk
menggunakan sosial media dan internet sebagai salah satu sumber rujukan
bersama dalam belajar.
Selamat mencoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar