Puasa
Korupsi
Achmad Fauzi ; Hakim Pratama Madya di Pengadilan
Agama Tarakan,
Kalimantan Utara
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Mei 2017
SEPERTI halnya keindahan semburat mentari pagi, kedatangan
Ramadan yang indah sangat dinantikan umat Islam. Selain keberkahan, ampunan,
dan rahmat yang melimpah, bulan Suci ini jadi lompatan kuantum untuk
mereformasi jati diri. Kebutuhan rohani yang sepanjang tahun tak terlalu
diperhatikan saatnya memperoleh asupan laiknya kebutuhan jasmani. Namun,
adakah keinsyafan batiniah dari kita untuk tidak berbuat batil setelah
menjalani puasa? Setiap tahun ibadah puasa dijalani semua umat Islam. Dari
pejabat hingga jelata.
Namun, nilai esoteris puasa tak kunjung membentuk
keindahan rohani elite kita. Korupsi masih merajalela. Bahkan, praktik
memakan harta dengan cara batil itu gemar dilakukan pejabat yang notabene
berasal dari kaum terpelajar. Sungguh ironis sekali. Di satu sisi mereka kaum
terpelajar, memiliki akses pengetahuan memadai, mengerti agama, tapi tak
memiliki integritas yang luhur. Sejak awal Bung Hatta menitipkan kepingan harapan
kepada kaum terpelajar. Di hadapan sivitas akademik Universitas Indonesia
pada 1956 ia berorasi bahwa tugas kaum intelektual ialah menjadi pemimpin
bertanggungjawab di masyarakat.
Jika karakter tanggung jawab itu luntur, tunggulah saatnya
zaman korupsi dan demoralisasi merajalela. Tampaknya hari-hari ini pidato
Bung Hatta teruji kebenarannya. Semua mata terbelalak menyaksikan sepak
terjang generasi bangsa yang beramai-ramai tak punya malu melakukan korupsi.
Mulai elite politik, kepala daerah, hingga penegak hukum.
Seyogianya mereka jadi teladan dan tulang punggung
pembangunan. Namun, defisit moral menggiring mereka ke dalam barisan gelap
generasi korup. Keterlibatan kaum terpelajar dalam kubangan korupsi bukan
isapan jempol belaka. Menurut data KPK dari 600 tersangka korupsi sebagian
besar berpendidikan tinggi.
Bahkan, sebanyak 40 tersangka bergelar S-3 dan 200
tersangka lulusan S-2. Data itu seolah menegaskan semakin tinggi pendidikan,
tingkat kemungkinan korupsi juga tinggi. Jabatan yang disandang dan keputusan
yang diambil rawan penyelewengan. Semua orang mafhum gurita korupsi jadi
musuh bersama. Namun, fakta sebagian pelakunya ialah kaum terpelajar
menggiring nalar untuk bertanya: ada apa gerangan dengan generasi saat ini?
Inikah yang oleh Bung Hatta dinamai demoralisasi? Lembaga pendidikan
sejatinya bertujuan membentuk karakter pribadi yang bertakwa dan komit
terhadap kemaslahatan bangsa dan negara.
Namun, tanpa mengecilkan peran para pendidik, hari-hari
ini kita menyaksikan hal berbeda dari kaum terpelajar yang kontradiktif
dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Penegak hukum, misalnya, mereka ialah
golongan terpelajar dan mengerti hukum. Namun, masih saja dijumpai penegak
hukum yang melanggar hukum dengan menerima suap dan mempermainkan pasal.
Karena itu, perlu desain pendidikan integritas yang mengajarkan idealisme,
nilai keutamaan, dan pembentukan karakter. Pendidikan watak itu patut
ditingkatkan supaya sepadan dengan spirit dan cita-cita pendidikan nasional.
Sebab, relevan dengan pendapat Kautsar Azhari Noer (2001), tantangan sistem
pendidikan selama ini lebih menekankan transfer ilmu pengetahuan ketimbang
transformasi nilai luhur yang membimbing manusia Indonesia berkepribadian
kuat dan berakhlak mulia. Proses pendidikan lebih banyak mengandalkan porsi
'pengajaran' yang bermuara pada peningkatan akal, jasmani, dan keterampilan.
Puasa sebagai perisai
Karena itu, momentum puasa Ramadan 1438 Hijriah menjadi
sarana pendidikan karakter yang membimbing manusia menjadi pribadi bertakwa.
Puasa menjadi jeda bagi kita untuk sejenak melakukan pencucian jiwa dan
membangun akhlak mulia. Kuasa nafsu serakah bernama korupsi, magnet
keduniawian dan bentuk perilaku tak terpuji lainnya dibersihkan dengan
menahan nafsu ketika berpuasa. Jika demikian, puasa bukan sekadar menahan
lapar dan dahaga yang notabene menjadi kebutuhan jasmani, melainkan juga
menahan diri untuk tidak berbuat maksiat yang dapat mengotori keindahan jiwa.
Sekadar menahan lapar saat puasa ialah selemah-lemahnya iman. Masih ada lagi
tingkatan puasa yang lebih tinggi dan berorientasi pada pengendalian diri.
Teringat ketika Rasulullah menyudahi Perang Badar, para
sahabat mengira pertarungan telah usai. Rasulullah pun mengenalkan bentuk
perang akbar yang pemenangnya kelak mencerminkan kesejatian manusia. Perang
itu ialah perlawanan atas kebiri nafsu kebinatangan yang menjadi antitesis
atas sifat-sifat manusia. Itulah jenis puasa khawas al khawas yang relevan
bagi pembentukan karakter bangsa ini. Puasa jenis ini tidak sekadar menahan
lapar dan dahaga. Lebih dari itu, kita harus mampu mengendalikan hawa nafsu
yang bersifat rohaniah. Puasa mendidik pejabat menyadari harkat
kemanusiaannya sehingga dalam mengemban jabatan tidak pongah dan
sewenang-wenang.
Puasa menjadi sarana pendidikan yang menekankan peningkatan
kualitas kalbu, rohani, dan akhlak bagi pelakunya. Puasa mendidik bangsa ini
untuk terus merawat kejujuran dengan menyadari setiap gerak-gerik kehidupan
selalu diawasi Yang Maha Kuasa. Saat ini kejujuran merupakan barang langka di
negeri ini. Bahkan, orang jujur justru tersingkir dari sistem yang bobrok
karena dianggap menghambat keberlangsungan tradisi praktik kotor. Orang tak
punya malu menggadaikan harga diri dan kejujurannya untuk mengeruk materi.
Penegak hukum, misalnya, acap menukar mutiara kejujuran dengan gemerlap
duniawi yang sifatnya sesaat.
Akibatnya, praktik suap dan jual beli perkara selalu
menghiasi wajah hukum kita. Padahal, kejujuran mendorong terbentuknya pribadi
yang kuat dan membangkitkan kesadaran mengenai hakikat yang hak dan batil.
Dalam tradisi psikologi kognitif, khususnya tradisi behaviorisme, mengamalkan
ajaran untuk perubahan tingkah laku harus memiliki unsur pendorong atau
stimulus. Pola-pola perilaku dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan
pengukuhan dengan mengondisikan stimulus dengan lingkungan (Syamsuddin,
1996).
Kaitan dengan ini, puasa menjadi stimulus bagi kita untuk
belajar membiasakan diri berbuat jujur dan menyelaraskan antara kata dan
perbuatan, tidak korupsi, dan teguh mempertahankan nilai-nilai keutamaan yang
diajarkan dalam agama. Puasa yang telah menjadi kebiasaan pada ranah lebih
luas akan membudaya dan cahaya nilainya akan mewarnai karakter masyarakat dan
bangsa secara keseluruhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar