Ujian
Demokrasi dan Kebangsaan Kita
Agus Harimurti Yudhoyono ; Alumnus John F Kennedy School of
Government, Universitas Harvard, AS
|
KOMPAS, 23 Mei 2017
Presiden Joko Widodo berkata akan menggebuk para pelanggar
konstitusi, Rabu (17/5), di Istana Negara. Ini pernyataan paling keras yang
pernah dilontarkan Presiden Jokowi di era kepemimpinannya.
Beberapa media nasional bahkan mengulas penggunaan kata
gebuk yang dinilai angker. Kata gebuk ini juga pernah digunakan Presiden
Soeharto pada 1989 dengan konteks yang sama, menggebuk pelanggar konstitusi.
Apa artinya jika kepala negara memberi peringatan keras
seperti itu? Harus diakui, saat ini kita sedang menghadapi ujian demokrasi
dan kebangsaan.
Soal kebinekaan
Akhir-akhir ini, kita melihat media massa didominasi oleh pro-kontra
soal kebinekaan. Sebenarnya, ini wacana yang baik menjelang Hari
Kebangkitan Nasional. Namun, wacana kebinekaan yang hiruk-pikuk ini justru
tidak konstruktif.
Mengapa demikian? Kebinekaan ini dimunculkan sebagai identitas
eksklusif kelompok tertentu untuk membedakan diri dengan kelompok lainnya.
Padahal, karakter sejati kebinekaan adalah inklusif, merangkul semua suku,
ras, agama, dan golongan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan, di media sosial, ada polarisasi tajam antara kubu
yang melabel dirinya sebagai bineka dan yang dilabelkan sebagai tidak bineka.
Praktis tidak ada dialog. Hal ini menunjukkan terjadinya efek yang dikenal
sebagai echo chambers. Apa artinya?
Polarisasi membuat setiap kubu hanya mendengar gema suara mereka sendiri.
Kita, yang selama ini membanggakan persatuan dalam
keberagaman, layak bertanya-tanya: ”Akankah
persatuan ini langgeng? Apakah keberagaman itu justru jadi sumber malapetaka
bagi generasi mendatang?”
Situasi hari ini tentu mengusik alam pikiran kita.
Seolah-olah negeri ini terbelah menjadi dua kutub yang saling berhadapan,
”Pro-Kebinekaan” versus ”Pro-Islam”.
Di
satu pihak, ada yang
beranggapan seolah-olah Islam tidak lagi kompatibel dengan nilai-nilai
demokrasi. Sebaliknya di pihak lain, tidak sepenuhnya memahami dan
menerima nilai-nilai kebinekaan. Realitas ini bagaikan api dalam sekam.
Dalam hal ini, saya berdoa semoga tidak ada pemantik yang
akan membuat api membesar dan melalap segalanya. Cukup sudah kita mengalami
kerusuhan-kerusuhan sosial, yang memutus tali persaudaraan dan kebangsaan
seperti di masa lalu.
Kita membaca bahwa saat ini ada kontestasi yang sengit.
Sebagian karena warisan kompetisi politik nasional tahun 2014 yang belum
tuntas. Dampaknya kental mewarnai pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017
kemarin. Warga Jakarta seolah terkunci hanya pada dua pilihan yang
berseberangan.
Manipulasi persepsi
Kontestasi yang sengit dalam politik itu biasa. Yang luar
biasa, kalau itu dilakukan dengan memanipulasi persepsi publik. Kita melihat
produksi informasi menyesatkan (hoaks), fitnah, dan ujaran kebencian yang
meningkat pesat serta tersirkulasi ke mana-mana, menjangkau hampir semua
orang dari berbagai latar belakang, di mana pun mereka berada, dan seketika.
Volume informasi melimpah dengan konten berisi sensasi dan
kurangnya kemampuan kita berpikir kritis membuat kita sendiri menjadi
bingung. Keadaan bertambah buruk karena sebagian media massa justru
kehilangan kredibilitas sebagai penyampai fakta yang benar. Apa yang mesti
kita kerjakan?
Pertama, pendekatan persuasif dan edukatif. Semua level
kepemimpinan harus berupaya menenangkan semua elemen masyarakat. Pendekatan
paralel, seperti penyelesaian konflik komunal di Poso dan Ambon, bisa kita
adaptasi dalam skala yang lebih luas. Pejabat pemerintah, tokoh agama dan
masyarakat agar berbicara kepada kelompok-kelompok yang sedang dipenuhi
prasangka dan amarah.
Dialog antarkelompok identitas yang berbeda seperti
dilakukan Presiden Jokowi harus diperbanyak. Ini penting untuk mencari
konsensus bersama dengan tetap setia pada ideologi dan falsafah Pancasila,
yang menjadi sumpah para abdi negara, termasuk prajurit TNI dan Polri.
Jangan mengompori
Jangan ada pejabat pemerintah, tokoh agama dan masyarakat
mengompor-ngompori. Juga, jangan ada fenomena lilin versus obor. Tenangkan
masyarakat, supaya hati dan pikiran mereka jernih, serta tidak terprovokasi
untuk saling berhadapan.
Di samping itu, media massa mempunyai peran kunci. Penting
sekali bagi media massa untuk berpikir obyektif dalam menyikapi berbagai
peristiwa dan opini yang mengiringinya agar masyarakat paham situasi
sebenarnya.
Kedua, penegakan hukum secara adil. Memang Indonesia
negara demokrasi yang menjunjung kebebasan berekspresi, tetapi bebas bukan
berarti bablas. Keadaban kita sebagai bangsa justru tecermin pada kebebasan
yang bertanggung jawab, menjunjung tinggi etika dan norma hukum, sehingga
mencegah munculnya tindakan anarkistis.
Ketiga, sebesar apa pun masalah kita, mari kita selesaikan
sendiri secara bersama. Jangan menjual isu apa pun ke luar negeri sehingga
memancing dunia internasional untuk mencampuri urusan kita. Toh, mereka juga
belum tentu paham akar dan konteks permasalahannya.
Selain itu, kita juga wajib waspada terhadap agenda asing
yang dapat mengancam kedaulatan bangsa dan negara.
Mari bersatu
Akhirnya, mari kita bersatu mendukung pemerintah, tokoh agama
dan masyarakat untuk menghadapi ujian ini. Lakukan rekonsiliasi,
jangan menunggu terjadinya konflik, apalagi krisis. Sebab, satu krisis akan
memicu krisis lain, baik politik, ekonomi, sosial, maupun keamanan.
Kita sendiri dapat berperan aktif dalam mengatasi potensi
konflik ini. Cara paling mudah adalah berpikir kritis dan bersikap bijaksana.
Jangan mudah menyebarkan informasi yang belum tentu benar. Lihat segala
sesuatu dengan jernih dari berbagai perspektif. Meskipun ada perbedaan cara
pandang, dahulukan semangat persatuan dan persaudaraan, di mana pun kita
berada.
Dengan demikian, persatuan Indonesia akan langgeng dan
keberagaman ini menjadi berkah dari Tuhan Yang Mahakuasa.
Atas rida-Nya, kita akan berhasil melalui ujian demokrasi
dan kebangsaan ini dengan baik, bahkan insya Allah lebih baik dari para
pendahulu kita.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar