Tiada
Tempat untuk Bersembunyi
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
UGM; dan Faculty Member Bank Indonesia Institute
|
KOMPAS, 29 Mei 2017
No place to hide. Tiada tempat untuk bersembunyi. Begitu
kira-kira kesimpulan yang bisa kita petik dari Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk
Kepentingan Perpajakan. Dengan perppu ini, Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan bisa mengakses data keuangan nasabah di bank- bank dan
lembaga-lembaga finansial lainnya untuk kepentingan data perpajakan.
Kesadaran dan inisiatif mengakhiri era kerahasiaan bank
sebenarnya sudah cukup lama dilakukan. Pada April 2009, pemimpin G-20 mulai
mengambil sikap terhadap para pihak yang menghindari pembayaran pajak secara
ilegal atau penggelapan pajak. Fenomena ini sudah menjadi ”musuh bersama”,
bukan saja pada negara-negara berkembang yang selama ini rentan, melainkan
juga negara-negara maju. Oleh karena itu, G-20 harus berani berinisiatif
untuk memeranginya (OECD, ”The Era of Bank Secrecy is Over”, 26/10/2011).
Kesadaran G-20 ini setidaknya dipicu dua hal. Pertama,
asas keadilan secara internal. Banyak orang kaya yang tidak membayar pajak
secara benar, alias tidak sesuai dengan profil pendapatannya. Pemerintah
mestinya bisa menerima lebih banyak lagi sehingga bisa membelanjakan lebih
besar lagi untuk pembangunan ekonomi.
Kedua, asas keadilan secara eksternal atau global. Jika
suatu negara sudah menghentikan era kerahasiaan bank, tetapi negara-negara
lain masih menganutnya, maka timbul ketidakadilan sehingga banyak orang
menempatkan dana di negara-negara yang masih menganut kerahasiaan bank.
Oleh karena itu, inisiatif untuk membuka kerahasiaan bank
harus menjadi komitmen bersama. Dalam hal ini, G-20 sebagai 20 negara dengan
kekuatan ekonomi terbesar di dunia bisa menjadi inisiator terdepan, yang
kelak diikuti negara-negara lain sebagai gerakan kolektif yang efektif. Swiss
yang selama ini dikenal sebagai negara yang ”paling aman” dalam kerahasiaan
bank akan segera mengakhiri status tersebut, seiring diberlakukannya konvensi
internasional tentang automatic exchange of information (AEOI). Parlemen
Swiss sudah menyetujuinya pada tahun 2015 dan meratifikasinya pada tahun
2016.
Berdasarkan pemahaman asas resiprokal dalam gerakan ini,
memberlakukan AEOI merupakan hal yang tidak bisa kita hindari. Di satu pihak,
kita menyadari pemberlakuan AEOI bisa menimbulkan kegalauan nasabah dalam
bertransaksi di perbankan Indonesia. Hal ini bisa membahayakan dana pihak
ketiga (DPK) di industri perbankan kita yang kini Rp 4.700 triliun.
Di sisi lain, jika tidak mengikuti AEOI, kita akan
kehilangan kesempatan untuk mengakses data warga negara Indonesia yang
menyimpan uang di luar negeri, terutama di negara-negara yang memberlakukan
pajak rendah (tax haven). Padahal, baru saja kita ”mati-matian” berjibaku
menjalankan program amnesti pajak yang dinilai berhasil. Amnesti pajak akan
sempurna dieksekusi jika kita memiliki akses mendapatkan data orang Indonesia
di luar negeri.
Dalam program amnesti pajak, pemerintah berhasil menarik
Rp 147 triliun dari target Rp 1.000 triliun. Meskipun target itu mungkin
terlalu ambisius dan tidak realistis, bukan mustahil cukup bayak dana orang
Indonesia yang masih ”tercecer” di luar negeri, yang kelak dapat kita ketahui
dari data yang bisa diakses setelah AEOI efektif.
Perppu No 1/2017 hendaknya tidak disikapi dengan skeptis,
apalagi resisten. Ada beberapa alasan. Pertama, perppu ini hanya akan berdampak
negatif bagi orang-orang kaya yang sengaja menyembunyikan kekayaan yang
sesungguhnya untuk menghindari pajak.
Kedua, kebijakan ini berlaku universal, bukan hanya unik
di Indonesia. Sebagai anggota G-20 yang amat prestisius, wajib bagi Indonesia
untuk mengikuti gerakan ini. Kecuali Indonesia tidak ingin lagi bergabung
dengan G-20, sebuah kelompok di mana kita memperoleh banyak manfaat ekonomi.
Ketiga, bagi orang-orang berpendapatan tinggi,
sesungguhnya kini tidak ada lagi tempat di dunia ini untuk menyembunyikan
hartanya. Swiss yang selama ini ”dikagumi” sebagai negara dengan level
kerahasiaan sektor finansial tertinggi di dunia pun—selain Hongkong,
Singapura, Kepulauan Cayman, Luksemburg, Panama, Uni Emirat Arab/Dubai,
Bahrain, dan Makau—harus mengakhiri era kerahasiaan yang selama ini
memberikan manfaat ekonomi yang amat besar. Lalu, mau ke mana lagi
orang-orang kaya tersebut mau menempatkan hartanya? Tidak ada lagi tempat
karena seluruh dunia kini sedang menuju ke arah keterbukaan secara radikal.
Keempat, bagi masyarakat yang sudah berpartisipasi dalam
amnesti pajak, perppu ini tidak berakibat apa-apa. ”Akrobat” finansial yang
mungkin pernah mereka lakukan di masa lalu, ”dosanya” sudah terhapus dengan
membayar uang tebusan dan pemerintah pun telah memaafkannya. Tidak ada celah
hukum yang bisa menyeretnya ke pengadilan karena kini semua hartanya sudah
”diputihkan”.
Berdasarkan pertimbangan, Perppu No 1/ 2017 sudah
didahului dengan program amnesti pajak, serta program ini kita jalankan dalam
konteks G-20 yang nantinya segera menjadi tren di seluruh dunia, maka
mestinya segala kerisauan tidak perlu terjadi pada hari-hari ini dan
mendatang.
Secara sadar dan sudah terencana, kita memang memasuki era
baru keterbukaan informasi sektor finansial. Hal ini akan berdampak positif
bagi kondisi fiskal kita (bisa lebih ekspansif), serta iklim investasi yang
lebih baik dan setara dengan negara-negara elite G-20. Jika ada pihak-pihak
yang masih menentang, barangkali penyebabnya adalah karena tidak terlalu
mengikuti secara saksama perkembangan cepat di sektor finansial global dalam
beberapa tahun terakhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar