Independensi
Kebijakan Fiskal
Haryo Kuncoro ; Pengajar FE UNJ; Doktor PPs-UGM Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 23 Mei 2017
Pascaseratus hari pelantikan Donald Trump selaku Presiden
Amerika Serikat (AS), perekonomian Paman Sam masih dalam transisi. Setelah
mengeluarkan perintah eksekutif untuk menyelidiki pelanggaran yang mungkin
dilakukan negara mitra dagang, sehingga neraca perdagangan AS selalu defisit,
ekonomi tetap belum stabil.
Pengurangan defisit perdagangan tampaknya menjadi cara
Trump untuk sedikit menekan defisit fiskal. Dalam kalkulasinya, defisit
fiskal yang melebar akan mengurangi kemampuan peningkatan net-ekspor dan
investasi domestik. Ini bisa memicu defisit neraca transaksi berjalan.
Dari sisi neraca jasa, Trump lebih proteksionis lagi. Ini
sesuai dengan jargon kampanye America First, Trump akan menarik pulang
investasi AS di luar negeri dengan iming-iming penurunan tarif pajak
perusahaan. Pajak saat ini 35 persen menjadi 15 persen. Dia juga akan
menyerap dana pasar keuangan dunia.
Langkah fiskal AS tadi tampaknya juga dilakukan untuk
mengimbangi India dan Tiongkok. India mereformasi tax dengan fokus pajak
pertambahan nilai guna meningkatkan pertumbuhan sektor industri. Tirai Bambu
lebih menekankan pada pemangkasan pajak pendapatan individu guna memperkuat
konsumsi rumah tangga.
Kecenderungan ini membawa perekonomian dunia berproses
menuju perang tarif pajak. Pemotongan pajak secara sepihak oleh tiga negara
kuat secara ekonomi ini, niscaya menjadi bola liar. Negara-negara lain
kemungkinan besar akan mengikuti langkah mereka bila tidak ingin kehilangan
investor.
Indikasi perang tarif pajak ini juga sempat menjadi topik
perdebatan pada pertemuan antarmenteri keuangan negara anggota G-20 April
lalu. Sebagai solusi awalnya, tiap negara anggota diminta menahan diri agar
tidak terjebak ke dalam raise to the bottom dari sisi level pajaknya.
Dalam perspektif konseptual, pemotongan tarif pajak secara
sepihak untuk mendapat tambahan benefit. Pemotongan akan efektif tatkala
negara lain belum melakukan. Maka, benefit tersebut dengan sendirinya hilang,
manakala semua negara bersama-sama memotong tarif pajak.
Terlepas dari tarif pajak yang berlaku di negara lain,
tinggi rendahnya tarif pajak suatu negara sejatinya merupakan opsi kebijakan.
Besarannya dipengaruhi banyak faktor. Sebagai sumber utama penerimaan negara,
tarif pajak berkorelasi kuat dengan target penerimaan dan belanja. Keduanya
tidak terlepas dari kinerja perekonomian.
Penerimaan pajak idealnya mampu memenuhi kebutuhan
pembiayaan belanja negara guna menciptakan stimulus perekonomian agar memacu
efek pengganda (multiplier effect). Akhirnya, belanja pemerintah dapat
diserap kembali ke kas negara dalam bentuk pajak.
Dengan alur perputaran tersebut, pemerintah yang hendak
meningkatkan volume belanja berhadapan dengan masyarakat yang enggan membayar
pajak. Peacock dan Wiseman (1967) menjelaskan, masyarakat sadar bahwa belanja
pemerintah memerlukan pendanaan. Akhirnya, publik memberi toleransi tarif
pajak tertentu yang dibutuhkan.
Kenaikan tarif pajak pada umumnya berbanding lurus dengan
penerimaan. Namun, sebagaimana diteorikan kurva Laffer (1974), penerimaan
negara bisa menurun tatkala kenaikan tarif efektifnya telah terlampaui. Dalam
pandangan Peacock dan Wiseman, tarif pajak optimum versi Laffer yang
ditoleransi.
Eksistensi tarik ulur (trade off) antara tarif pajak
optimum dan penerimaan negara menyebabkan besaran tarif pajak “yang
ditoleransi” niscaya tidak bisa seragam lintas negara. Kondisi demikian,
membuka peluang bagi setiap negara untuk mengubah tarif pajak. Alhasil, kesan
yang muncul bermuara kembali pada isu perang tarif tadi.
Bagaimana Indonesia? Pemerintah bersama DPR kini masih
dalam proses mengamendemen UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Revisi lima paket UU KUP terdiri dari perubahan atas Bea Meterai, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi, dan PPh
Badan.
Dalam statusnya yang masih berproses, amendemen besaran
tarif PPh Badan, misalnya, tidak semestinya diceburkan dalam pusaran perang
tarif antarnegara. Efek ikut arus dalam pemangkasan tarif pajak niscaya akan
semakin menjauh dari misi hakiki pajak sebagai instrumen kebijakan alokasi,
distribusi, dan stabilisasi perekonomian.
PPh Badan termasuk kategori pajak langsung. Pembayar pajak
sekaligus penanggung beban akhirnya. Artinya, beban pajak tersebut tidak bisa
digeserkan ke pihak ketiga. Jadi, efektivitas penurunan tarif PPh Badan
terhadap kenaikan penerimaan negara tergantung pada respons wajib pajak (WP).
Syaratnya, pemangkasan tarif PPh Badan harus dibarengi kemudahan mendirikan
badan usaha yang masih rendah. Kendati indeks kemudahan berbisnis (easy of
doing business) sudah meningkat, pengusaha masih menemui banyak kendala di
lapangan.
Kemudian, penyempurnaan perangkat aturan berikut mekanisme
penegakan hukum yang konsisten untuk menimbulkan efek jera dan mengapresiasi
perusahaan yang patuh melaksanakan kewajiban. Bila syarat tidak terpenuhi,
penurunan tarif PPh Badan bisa jadi bumerang. Perusahaan asing tidak jadi
masuk. Perusahaan asing dan domestik yang telah eksis di tanah air cenderung
migrasi dan penerimaan negara bakal turun. Padahal, kontribusi PPh Badan
mencapai 90 persen total penerimaan PPh dalam APBN.
Alhasil, revisi tarif pajak memerlukan telaah yang cermat
agar tercapai titik ekuilibrium yang dapat ditoleransi produsen dan konsumen,
alih-alih titik optimum hanya bagi pemerintah semata. Penentuan tarif pajak
yang membangkitkan kepatuhan WP atas dasar kesadaran membayar pajak tentu
lebih berkelanjutan.
Aspek keberlanjutan penerimaan pajak dalam jangka panjang
akan akomodatif terhadap lingkungan strategis yang terus berkembang. Dengan
demikian, premis klise bahwa regulasi selalu ketinggalan dari perkembangan
zaman akan terpatahkan secara elegan oleh komprehensivitas revisian UU KUP.
Konsistensi Kementerian Keuangan untuk menahan diri
terhadap perang tarif pajak bukan tidak mungkin bakal memperkokoh otonomi
sebagai institusi fiskal independen dari pihak mana pun. Dengan demikian,
ungkapan the best intervention is no intervention tetap relevan untuk
memerdekakan pajak demi kepentingan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar