Infrastruktur
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 06
April 2017
Anda tahu, ada
banyak proyek infrastruktur yang tengah dibangun oleh Pemerintahan Joko
Widodo. Di Jawa maupun luar Pulau Jawa. Jalan tol Probolinggo-Pasuruan, Yogyakarta-Solo,
jalan layang tol Jakarta- Cikampek, Tebing Tinggi-Pematang
Siantar-Parapat-Tarutung- Sibolga, Sigli-Banda Aceh, Balikpapan-Samarinda,
dan Trans Papua.
Selain itu,
juga ada proyek pelabuhan laut dan udara, rel kereta, pembangkit listrik, waduk
dan bendungan, hingga fasilitas pengolahan air bersih. Bicara soal pelabuhan
laut, saat ini jarak antarpelabuhan di negara kita masih berkisar 3.000
kilometer. Jauh sekali. Itu sebabnya tak heran kalau nelayan-nelayan kita
kesulitan menjual ikannya. Bandingkan dengan di Jepang, misalnya, jarak
antarpelabuhannya sudah 15 kilometer, atau di Thailand yang 50 kilometer.
Kita memang
tertinggal jauh dalam membangun infrastruktur. Akibatnya masalah kemudian
datang bertubitubi. Mulai soal keadilan dan ketimpangan sampai pendidikan dan
kesehatan yang menjadi penentu bagi pemupukan modal insani. Belum lagi kalau
ada bencana, kita selalu terlambat.
Millennial Travellers
Saya setuju,
semua infrastruktur fisik tadi sangat penting dan mendesak dibangun. Tapi saya
juga ingin pemerintah agresif dalam membangun infrastruktur Information &
Communication Technology (ICT). Mengapa ini penting? Jawaban paling simpel
adalah kita hidup di abad informasi. Kita berada di era disruption yang salah
satu pemicu utamanya adalah berkembangnya ICT. Maka fasilitas paling dasar
yang mesti tersedia adalah jaringan ICT. Tanpa jaringan IT, gap kaya-miskin
antara Indonesia bagian dan timur akan makin besar. Ketika anak-anak muda di Jakarta begitu
mudah mengikuti kuliah online tak berbayar (free) dari Coursera, Harvard atau
IndonesiaX, nun jauh di timur untuk mengakses online banking saja susahnya
setengah mati.
Tapi, baiklah
saya ingin pakai alasan yang lain. Pertama, pemerintah sudah menargetkan
Indonesia untuk menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia
Tenggara. Jadi, untuk mewujudkannya kita pasti butuh infrastruktur ICT.
Sayangnya kalau bicara soal ini kita menempati peringkat ke-4 setelah
Singapura, Malaysia dan Thailand.
Kedua,
Indonesia adalah negeri rawan bencana. Kita akrab dengan gunung meletus,
longsor, banjir, angin topan, bahkan tsunami. Kalau bicara soal pentingnya
jaringan ICT dengan penanganan bencana mungkin kita bisa berkaca dari Jepang.
Anda tahu, Jepang juga negeri yang rawan bencana, terutama gempa bumi dan
tsunami. Bagaimana Jepang memanfaatkan ICT untuk menangani bencana?
Masih ingat
dengan gempa di Sendai pada tahun 2011 yang mencapai 9,0 Skala Richter (masya
Allah dahsyatnya). Pascagempa, pemerintah Jepang mampu dengan sigap melakukan
evakuasi dan upaya penyelamatan lainnya. Salah satu faktor kunci di sini
adalah kemudahan dalam mendistribusikan informasi. Semuanya adalah berkat
infrastruktur ICT.
Kini, Jepang
terus memanfaatkan ICT untuk mengelola bencana. Mereka menggunakannya untuk
memantau potensi bencana, melakukan analisis, mengakumulasi informasi dan
akhirnya mendistribusikannya ke banyak pihak sesuai tugasnya. Kalau saja
masyarakat Aceh bisa tahu lebih dulu soal ancaman tsunami akhir 2004, mungkin
jumlah korban tak akan mencapai ratusan ribu. Kalau saja....
Ketiga, negara
kita dianugerahi potensi kekayaan wisata. Ada wisata alam, budaya, religi
sampai wisata petualangan. Kita sama-sama bermimpi untuk menjadikan
pariwisata sebagai sumber utama penerimaan negara. Lalu, apa kaitannya dengan
infrastruktur ICT?
Anda pernah
dengar istilah millennial travellers. Mereka adalah generasi yang lahir
sepanjang tahun 1985-2000 dan suka berwisata. Profilnya kurang lebih begini:
sebanyak 87% dari mereka mencari informasi tempat-tempat wisata melalui Facebook;
hanya 20% yang memakai Twitter atau Pinterest; 82% sangat mempertimbangkan
berbagai review yang menyangkut destinasi wisata.
Saya tambahkan
ciri-ciri lainnya: 85% di antara mereka selalu melakukan cek bolak-balik
sebelum akhirnya memutuskan memilih suatu destinasi wisata; 74% mencari info
melalui perangkat mobile; dan 2/3 wisatawan millennial ini suka sekali
selfie, mengambil foto dan video serta langsung mengunggahnya di media
sosial. Berapa jumlah mereka? Menurut data Internet Marketing Inc, saat ini
jumlahnya mencapai 79 juta. Banyak bukan!
Wi-Fi ke Li-Fi
Itu sebabnya
penting bagi kita memiliki infrastruktur ICT yang memadai. Ini bukan hanya
memudahkan millennial travellers tadi dalam mengakses informasi tentang
destinasi wisata Indonesia, tetapi juga sebagai bagian dari strategi promosi.
Kita sudah harus melakukan kampanye digital. Nah bicara soal ini, sayangnya
pembangunan infrastruktur ICT kita masih perlu dipacu.
Kalau bicara
soal infrastruktur ini setidak-tidaknya ada tiga komponen utama, yakni
jaringan (network), perangkat (device), dan aplikasinya. Saya tak mau
menyinggung semuanya. Kali ini saya hanya ingin menyinggung soal jaringan.
Kita ingin menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Untuk itu kita perlu banyak fasilitas hotspot atau Wi- Fi gratis di
ruang-ruang publik.
Di tingkat
provinsi sekalipun fasilitas Wi-Fi hanya tersedia di beberapa titik, di
antaranya di halte-halte busway di Jakarta, taman-taman kota, seputar gedung
balai kota, dan beberapa area publik. Sebuah survei menyebut bahwa akses
internet kita masih menempati peringkat ke-138. PR kita masih banyak. Bicara
soal kecepatan, kita pantas kagum dengan Korea Selatan dan Jepang. Namun,
tahukah Anda bahwa orang Korea Selatan dan Jepang pun sebaliknya juga kagum
dengan kita. Apa yang mereka kagumi? Kesabaran kita! Meski begitu, saya
serius dengan perlunya kita membangun infrastruktur ICT yang lebih andal.
Anda tahu,
ketika kita sekarang masih sibuk menyediakan akses Wi-Fi di mana-mana, dunia
sudah bergerak maju ke Li-Fi. Apa itu? Li-Fi adalah singkatan dari Light Fidelity.
Ilustrasinya begini. Untuk men-download film berukuran 1 GB, dengan Wi-Fi
sering kali membutuhkan waktu sekitar 30 menit sampai satu jam. Dengan Li-Fi,
cukup beberapa detik. Jadi, kita harus berpacu membangun infrastruktur ICT.
Ini eranya disruption yang menuntut kita menghadirkan masa depan ke masa
kini. Bukan sebaliknya, menghadirkan masa lalu ke masa kini (kalau ini hanya
ada di tembang nostalgia), atau masa lalu ke masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar