Kemenangan
Populisme
Firman Noor ; Peneliti Pusat Penelitian
Politik-LIPI;
Research Fellow pada IAIS,
University of Exeter
|
KORAN
SINDO, 26
April 2017
TAK lama
setelah hasil quick count disiarkan oleh beberapa lembaga survei, muncul
komentar yang menyamakan kemenangan Anies-Sandi dengan kemenangan Pro-Brexit
di Inggris dan terpilihnya Trump sebagai presiden di AS.
Dalam komentar
itu disampaikan pula pesan sindiran “selamat datang di era populisme”,
artinya Jakarta telah memasuki era populisme. Mengapa disebut menyindir,
karena populisme di situ diartikan sebagai mengatasnamakan rakyat dengan
memanfaatkan tema-tema populer demi sebuah keberhasilan manuver politik.
Rakyat yang
tidak seutuhnya paham akan apa yang terjadi menjadi sekadar alas kemenangan
untuk akhirnya ditinggalkan. Dengan kata lain, selamat atas suksesnya
pembodohan rakyat.
Tulisan ini
juga akan menggunakan istilah populisme untuk melihat sisi lain kekalahan
petahana dalam Pilgub DKI kali ini. Namun bukan sebagai sindiran, melainkan
sebagai sebuah bentuk keberhasilan perlawanan rakyat banyak atas sikap dan
kepentingan elite penguasa, termasuk kebijakan dan sikap yang tidak populer
di mata mereka.
Elitisme dan Kegagalan Kampanye Abstrak
Jakarta yang
tampaknya megah, sebenarnya memiliki persoalan ketimpangan sosial yang
serius. Tingkat kesenjangan terasakan di berbagai sudut-sudut ibu kota negara
ini. Meski setiap pergantian gubernur membawa secercah harapan bagi rakyat
banyak, akhirnya kepentingan kaum elitelah yang sebenarnya selalu dan selalu
menang.
Sebagai
gubernur, Ahok adalah penguasa Jakarta yang memiliki berbagai kewenangan dan
kebijakan. Keberhasilannya dalam beberapa hal, yang banyak diakui orang,
sayangnya tidak pula dapat menutupi kegagalannya dalam benar-benar
menuntaskan kesenjangan itu.
Dalam pilkada
ini, menurut Ian Wilson—peneliti dari Murdoch University, sejatinya tidak ada
sebuah bahasan yang serius dalam soal menuntaskan kesenjangan.
Tidak heran
kemudian dirinya semakin lama memiliki jarak dengan khalayak. Ahok yang mau
“menghabisi” elitisme terutama dalam konteks birokrasi di Jakarta, justru
terjebak dalam lingkar elite itu sendiri.
Posisi elitis
Ahok ini menjadi makin kentara dengan kenyataan bahwa dirinya didukung oleh
kebanyakan para elite, apakah itu elite pemerintahan, partai-partai,
pengusaha besar ataupun media. Yang suka atau tidak sayangnya tidak (atau
belum), juga memiliki formula konkret dalam mengentaskan kesenjangan di
Jakarta hingga detik ini.
Sudah menjadi
rahasia umum bahwa unsur-unsur elite negara ini banyak berdiri di belakang
Ahok. Unsur-unsur elite pemerintah turut bermanuver dalam rangka memuluskan
jalan kemenangan petahana dalam pilgub ini.
Nuansa itu
sudah terasa sejak di masa-masa awal aksi-aksi “bela Islam” mulai digulirkan
tahun lalu. Isu makar kemudian diembuskan dengan kencang sebagai pukulan
balik aksi-aksi itu.
Partai-partai
menengah dan besar pendukung Ahok (PDIP, Golkar, Nasdem, PPP-Djan Faridz,
PPP-Romy, dan Hanura) adalah juga bagian dari kelompok elite ini. Pimpinan
partai-partai tersebut seperti Megawati, Surya Paloh, Setya Novanto, atau
Djan Fardiz berkomitmen penuh memenangkan Ahok. Segenap sumber daya yang
dimiliki partai-partai tersebut dikerahkan.
Ditopang lagi dengan kontribusi jaringan pengusaha kelas kakap
yang berpihak pada Ahok. Selain itu, dukungan beberapa media massa besar
terhadap petahana juga terlihat jelas.
Dalam lingkup elitisme ini, perlahan Ahok dan pendukungnya
menjadi makin tidak fokus dalam soal-soal konkret, terutama kesenjangan.
Fokus mereka justru lebih pada mengusung tema-tema abstrak seperti soal
pluralisme, hak minoritas, dan sejenisnya.
Praktis, sebenarnya mereka telah gagal paham atas kehendak hati masyarakat
banyak. Tema-tema abstrak semacam itu jelas enggak nyambung dengan kepentingan rakyat banyak.
Di sisi lain, fokus pada tema pluralisme juga amat mudah
disaingi oleh tim lawan. Mengapa, karena figur Anies-Sandi dan beberapa
pendukung pentingnya adalah mereka yang terbiasa akan tema-tema seputar
pluralisme itu dan notabene juga sebagiannya berasal dari kalangan minoritas.
Benar kata Yenny Wahid, bahwa di kalangan pendukung Anies ada
kalangan Kristen taat. Selain itu, Anies sendiri adalah tokoh Islam moderat
yang notabene pernah menjadi rektor Universitas Paramadina. Akan beda jika
Anies memang punya rekam jejak kalangan radikal.
Terbukti kemudian Anies pun mampu membuat iklan politik yang
baik sekali terkait dengan soal pluralisme ini. Di sinilah titik lemah
terkuak. Tema-tema pluralisme yang jorjoran dikedepankan tidak saja gagal
menarik simpati khalayak rakyat di level bawah, tetapi juga menjadi tidak
terlalu istimewa bagi kalangan khalayak rakyat di level menengah.
Bahkan, kalangan menengah merasa adanya nuansa simpatik dari
Anies-Sandi. Ahok pun kalah set di dua segmen tersebut.
Melawan dengan
Alasan
Bagi sebagian kalangan, populisme yang menyeruak digerakkan
terutama oleh isu SARA. Bisa jadi. Namun, apakah seutuhnya benar demikian?
Sekarang kita bayangkan seandainya petahana diterjang oleh isu SARA,
sementara dia tidak menunjukkan gelagat kontroversial sedikit pun terkait
SARA, apakah dia akan mudah kehilangan simpati?
Bayangkan juga seandainya petahana tidak menunjukkan sikap
arogan kerap dengan kata-kata tidak simpatik mulai kepada seorang ibu yang
disebut maling, hingga ulama besar sekelas KH Maruf Amin yang dituduh
berbohong—apakah terjangan isu SARA akan membuatnya mudah luluh lantak?
Bayangkan pula misalnya semua janji-janji kepada akar rumput
dijalankan dengan amat memuaskan dan bukannya malah menerbitkan dendam
kesumat karena dibohongi, apakah isu SARA akan mudah membalikkan pilihan?
Jawabannya mudah saja, isu SARA tidak akan banyak berarti jika
Ahok tidak ada masalah dengan isu tersebut, tetap berada dalam garis yang
sama dengan rakyat kebanyakan dan sanggup membangun kepercayaan yang kokoh
dengan mereka. Namun, hal-hal di atas tidak terjadi.
Akibatnya Ahok justru dianggap pemimpin yang tidak lagi menjadi
bagian dari mereka. Inilah yang kemudian menjadi sebuah pilihan rasional
untuk melakukan perubahan kepemimpinan di Jakarta.
Singkatnya ini adalah cerminan perlawanan atas keterasingan,
kesenjangan, dan berbagai ketidaknyamanan hidup. Bagi yang lain, ini adalah
reaksi atas kinerja medioker dan berbeda dengan yang dijanjikan.
Alasan perubahan jadi semakin kuat karena mereka melihat adanya
alternatif dari kandidat lain. Namun demikian, memang beragam rasionalitas
perlawanan itu akhirnya berkelindan dengan sentimen SARA, yang secara
kronologis dipicu oleh Ahok sendiri. Isu ini menjadi membesar dan belakang
efektif dalam membangkitkan sentimen identitas “kami versus kamu”.
Kerja-Kerja
Populisme
Dalam konteks praktis, populisme bekerja di dua periode, yakni
prapemilihan dan saat pemilihan. Hari-hari menjelang pencoblosan rakyat bahu
membahu saling menginformasikan dan menguatkan pilihan.
Beberapa di antara mereka
membuat simpul-simpul kelompok untuk menyebarluaskan agenda-agenda politik
yang dirasa tepat bagi mereka. Atribut kampanye diusahakan sejadi-jadinya.
Tidak jarang mereka menolak hadir dalam undangan simpatik pihak
petahana, bahkan kadang secara tidak simpatik mengusir tim kampanye Ahok (bahkan
Ahok sendiri).
Sebaliknya muncul fenomena mudik massal untuk sekadar
menghabiskan waktu beberapa menit di TPS. Dengan kesadaran penuh, mereka
merembes masuk Jakarta dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri.
Menjelang hari H tidak saja mereka menolak serbuan sembako yang
selama ini sukses besar dalam memengaruhi pilihan, namun mereka melaporkan
dan menyebarluaskan melalui media sosial praktik-praktik semacam ini.
Tidak sedikit yang berujung pada adu mulut, bersitegang, dan
saling usir. Dalam sejarah Pilkada DKI, dan pemilu pada umumnya, baru kali
ini pembagian sembako menimbulkan perlawanan sengit.
Pada Hari H pencoblosan, TPS di beberapa wilayahnya berubah
menjadi tempat pesta rakyat. Rakyat mengekspresikan kegembiraan dan menunggui
dengan setia hasil perhitungan, karena khawatir akan ada kecurangan. Dan
manakala kemenangan semakin tampak jelas, muncul pawai-pawai spontan di
berbagai tempat.
Demikianlah, populisme dalam Pilgub DKI kali ini memang
terasakan. Khusus bagi kaum marginal, pilgub kali ini benar-benar menjadi
sarana menghukum “kaum elite” yang enggan mendengar. Semoga nantinya
benar-benar akan ada perubahan dan tidak berakhir dengan kekecewaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar