Dari
Penista Agama ke Pendusta Agama
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya;
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jawa Timur
|
KORAN
SINDO, 06
April 2017
Kemuliaan
Islam tidak akan berkurang sedikit pun meski ada banyak orang yang
menistakannya. Keagungan ajaran tentang Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, dan
kitab suci Alquran tidak akan pernah tergerus oleh para penistanya.
Yang menjadi
persoalan dalam setiap kasus penistaan agama adalah dampak yang ditimbulkan.
Insiden penistaan agama selalu memicu emosi keagamaan. Berawal dari sinilah
hubungan antarpemeluk agama banyak diwarnai prasangka dan kebencian. Karena
itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perbuatan menista agama merupakan
manifestasi sikap antikebinekaan. Padahal, pendiri negeri tercinta
mengajarkan spirit Bhinneka Tunggal Ika.Moto nasional ini menegaskan, meski
faktanya Indonesia berbineka, namun harus tetap Tunggal Ika (unity in
diversity).
Dengan berasas
Pancasila dan spirit Bhinneka Tunggal Ika,setiap pribadi harus menunjukkan
sikap setuju dalam keberagaman (agree in disagreement). Karena realitasnya
negeri ini sangat majemuk, maka setiap elemen bangsa harus menghargai
kebinekaan. Pada konteks inilah penting dipraktikkan sikap toleran dan saling
menghormati sebagaimana diteladankan para pendiri bangsa. Apalagi dunia
internasional telah mengenal warga bangsa Indonesia sangat toleran terhadap
keragaman.
Dengan begitu,
siapa pun pelaku kasus penistaan agama bisa dianggap telah merusak citra
Indonesia di mata dunia. Keberadaan Indonesia sebagai negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia kini sedang diuji. Apalagi sejak terjadi kasus
penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kasus Ahok
telah menyita perhatian nasional dan internasional. Itu karena pelakunya
adalah Ahok, gubernur petahana DKI Jakarta. Kini kasus penistaan agama sedang
dalam proses persidangan di pengadian. Sebagai negara hukum, setiap elemen
bangsa harus menghargai apa pun keputusan pengadilan.
Pengadilan
merupakan cara terhormat dan bermartabat untuk menyelesaikan setiap persoalan
hukum. Semua elemen bangsa harus bersepakat untuk menyerahkan kasus penistaan
agama pada proses hukum. Yang penting dilakukan adalah mengawal proses hukum
agar aparat bekerja profesional dan berkeadilan. Dengan demikian, demonstrasi
dan bentuk pengerahan massa lainnya kurang relevan. Sikap ini penting karena
sebagian aksi yang pada awalnya berspirit amar makruf nahi munkar mulai bersinggungan
dengan kepentingan politik praktis.
Tarik-menarik
kepentingan politik kasus Ahok terasa sulit dihindari karena warga DKI
Jakarta sedang memiliki hajat politik pemilihan gubernur (pilgub). Ahok sang
terdakwa kasus penistaan agama juga sedang running dalam pilgub. Mencermati
konstalasi politik DKI Jakarta yang begitu rawan, elite ulama harus mengajak
umat berpikir bijak. Sudah waktunya energi umat yang begitu besar
dimaksimalkan untuk berjuang di bidang lain. Ajakan ini penting karena
gelombang aksi bela Islam yang menuntut penegakan hukum kasus penistaan agama
telah menyedot energi umat.
Dalam
gelombang aksi bela Islam, bukan hanya pikiran, tenaga, dan waktu yang
tercurah, melainkan juga mobilisasi dana umat. Meski belum ada data akurat,
anggaran yang dibutuhkan untuk aksi-aksi bela Islam pasti sangat besar.
Pertanyaannya, apakah energi umat akan terus dihabiskan hanya untuk mengurus
kasus penistaan agama dengan terdakwa seorang Ahok? Padahal, bidang garap
perjuangan umat sangat luas. Pada konteks inilah perhatian umat harus
bergeser ke bidang yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan riil. Persoalan
sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umat harus menjadi
perhatian utama.
Itu berarti
dakwah amar makruf nahi munkar harus digeser dari penista agama ke pendusta
agama. Dakwah mencegah kemungkaran (nahi munkar) pada penista agama memang
penting untuk menunjukkan komitmen umat dalam memuliakan agama. Tetapi harus
dipahami, penistaan agama yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
tidak akan mengurangi kemuliaan agama itu sendiri. Dalam konteks kekinian,
dakwah amar makruf nahi munkar pada pendusta agama justru penting
dikedepankan. Hal itu sejalan dengan tantangan yang dihadapi umat Islam
sekarang.
Umat kini
sedang mengalami ketakberdayaan ekonomi, kualitas pendidikan yang rendah,
belum tegaknya keadilan hukum, melunturnya kedermawanan sosial, buta aksara
moral, dan tuna kuasa di bidang politik. Semua persoalan ini hadir di
tengahtengah umat. Karena itulah, spirit surat al-Maal-Maun (QS. ke-107),
yang mengingatkan bahaya pendusta agama penting direnungkan kembali. Melalui
surat al-Maal- Maun, Allah secara tegas menggambarkan ciri para pendusta
agama.
Di antaranya
adalah orang yang suka menghardik anak yatim, enggan memberi makan orang
miskin, orang yang salat tetapi lupa dengan salatnya, berbuat riya’, dan
tidak mau memberi pertolongan. Pendusta agama juga dicirikan dengan orang
yang suka menumpuk harta untuk kepentingan diri dan keluarganya. Di antara
indikatornya adalah perilaku koruptif di kalangan pejabat publik negeri ini.
Melalui media, masyarakat terus disuguhi berbagai berita penangkapan pejabat
publik dalam kasus korupsi. Kasus penangkapan pejabat publik dari kalangan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terus terjadi.
Yang paling
fenomenal tentu megaskandal kasus korupsi dalam proyek KTP elektronik
(e-KTP). Kasus korupsi berjamaah ini melibatkan begitu banyak pihak. Tidak
saja pejabat aktif di legislatif dan eksekutif, kasus e-KTP juga menyeret
sejumlah mantan pejabat dan pengusaha. Bahkan, sejumlah partai besar
disinyalir menerima aliran dana korupsi e-KTP. Praktik hidup hedonisme juga
menjadi tren di kalangan orang kaya dan pejabat. Padahal, sebagian rakyat
hidup berkekurangan. Jutaan anak-anak juga putus sekolah dan kehilangan
pekerjaan. Umat juga sering kali melihat praktik ritual yang terbelah di
kalangan elite.
Mereka suka
memamerkan diri berhaji dan umrah ke Tanah Suci. Tetapi pada saat yang
bersamaan, mereka melakukan korupsi. Dalam perspektif psikologi, mereka yang
beribadah ritual dan berbuat dosa secara bersamaan bisa disebut
berkepribadian terbelah (split of
personality). Dalam suasana kehidupan kebangsaan dan keumatan demikian
itulah, maka dakwah amar makruf nahi munkar harus bergeser dari penista agama
ke pendusta agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar