Peradaban
Islam Nusantara (Barus)
Budi Agustono ; Sejarawan;
Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatra Utara
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Maret 2017
BARUS merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli
Tengah, Sumatra Utara. Sebelum dimekarkan menjadi beberapa kecamatan, wilayah
Barus relatif luas. Mula-mula Barus dipecah menjadi dua kecamatan, Sorkam dan
Manduamas, kemudian menjadi tiga kecamatan, Andam Dewi, Barus Utara dan
Sirondorung. Saat ini Barus hanya menjadi salah satu kecamatan dari 20
kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. ebelumnya, Barus
adalah kota tua yang namanya melegenda hingga ke mancanegara pada abad ke-7
sampai ke-18. Barus masa lampau bagian dari Nusantara yang dikenal sebagai
kota dagang di Pantai Barat Sumatra. Pada masa itu di pesisir Pantai Barat
Sumatra tumbuh kota yang kehidupannya mengandalkan laut. Laut menjadi sumber
peradaban. Peradaban itu memproduksi teknologi nautika sebagai kompas dalam
lalu lintas perdagangan satu kota ke kota lain dan satu wilayah ke wilayah
mancanegara lainnya. Dengan teknologi nautika dan tumbuhnya industri
perkapalan, para saudagar Persia, Tiongkok, Tamil, dan lainnya melakukan
transaksi perdagangan ke Nusantara, termasuk Barus.
Barus masa lalu menghasilkan komoditas primadona kapur
barus dan kemenyan, selain gading, emas, cula badak, dsb. Karena daerah itu
menghasilkan komoditas laris di pasar dunia, para saudagar mancanegara
mendatangi Barus. Saudagar itu ada yang menetap lama dan membentuk permukiman
di Lobu Tua, Barus. Ada permukiman Arab, Persia, India, dan sebagainya. Lobu Tua
ialah kota kosmopolit karena banyak pemukim asing bertempat tinggal di kota
tersebut. Lokasinya tidak jauh dari pantai Barus, yang menjadi gerbang
masuknya para saudagar asing ke kota itu. Relasi dagang Barus dengan
mancanegara telah terjalin lama. Masyarakat lokal tidak hanya menikmati
keuntungan ekonomi dari jalur perdagangan, tapi juga berinteraksi dengan
komunitas saudagar Timur Tengah, Persia, Arab, Tiongkok, dan India.
Kedatangan saudagar asing menghasilkan fertilisasi budaya yang memperkaya budaya
lokal.
Demikian populernya Barus di masa gemilangnya sehingga
namanya selalu disebut berbeda-beda oleh pelancong atau saudagar yang pernah
berkunjung kota tua itu. Sebagai kota dagang, Barus memiliki relasi dengan
pedalaman. Salah satunya ialah Salak (Tano Pakpak) yang saat ini menjadi ibu
kota Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatra Utara. Tano Pakpak menghasilkan kapur
barus dan kemenyan. Kedua tanaman itu didapat di hutan belantara yang
dikelola orang Pakpak. Jika kedua komoditas itu dipanen, hasilnya dipanggul
orang Pakpak ke Barus. Dari sinilah kapur barus dilayarkan ke Timur Tengah
sebagai bahan pengawet mayat. Hubungan ekonomi antara Barus dan Pakpak
menyebabkan daerah Pakpak menjadi terbuka. Barus tidak saja menjadi lokus
fertilisasi budaya, tetapi juga menjadi pusat penyebaran Islam. Namun, tidak
ada bukti autentik Barus sebagai awal mula penyebaran Islam di Nusantara.
Penyebaran Islam di Barus meninggalkan ratusan batu nisan sebagai bukti
berkembangnya Islam yang sampai sekarang masih berdiri tegak di beberapa
makam di sekitar kota tua itu.
Bahkan makam salah satu penyebar Islam yang terletak di
Papan Tinggi atau batu nisan yang terdapat di makam Mahligai, atau yang
bertebaran di permakaman lainnya, menjadi bukti peninggalan penyebaran Islam
di Barus. Pada abad ke-18, bersamaan dengan intensifikasi kekuasaan Belanda
di wilayah itu, perkembangan Islam dan perdagangan cukup berkembang. Pada
abad itu Barus menghasilkan karya-karya Islam, termasuk pengaruh tiga ulama
kesohor Hamzah Fansuri, Sumatrani, dan Arraniri. Semasa hidup mereka menjadi
ulama besar di Kesultanan Aceh, karya-karya itu menyebar luas di wilayah
tersebut. Pada masa abad ke-18, orang Batak yang bermigrasi ke Barus karena
penyebaran Islam menjadi muslim yang kemudian dikenal sebagai Batak muslim.
Pada masa itu Barus masih bertahan sebagai kota dagang. Bahkan hubungan
dagang dengan Penang berkembang pesat dan menarik orang-orang Penang bermukim
di wilayah tersebut.
Nestapa
Masa lalu Barus berselimut kejayaan. Sejatinya agar kisah
kejayaan masa lalu tetap diingat, peninggalan batu nisan (Islam) dijaga dan
dirawat. Namun, saat ini kondisi Barus sangat berbeda, menjadi nestapa. Jika
berkendara dari Pandan, ibu kota Tapanuli Tengah, menuju Barus, terlihat
pembangunan belum mengangkat penduduk kota tua itu dari kemiskinan.
Rumah-rumah masih beratap seng, berdinding papan, dan kusam. Masyarakat
tertinggal, didera keterbelakangan dan kemiskinan. Pemerintah setempat kurang
memperhatikan kehidupan masyarakatnya.
Terabaikannya pembangunan terefleksikan dari tidak
maksimalnya pemerintah daerah memperhatikan dan memelihara situs-situs
bersejarah. Papan Tinggi adalah makam penyebar Islam yang harum namanya.
Lokasinya di atas pegunungan dan peziarah harus menaiki seribu anak tangga.
Dari atas ketinggian makam Papan Tinggi, terlihat hamparan pantai Barus yang
terkenal itu. Setiap menjelang puasa, Papan Tinggi ramai dikunjungi peziarah.
Namun, di Papan Tinggi, makam penyebar Islam sepanjang 7 meter yang sisi
kanan dan kirinya terpancang dua batu nisan bertuliskan aksara Arab Melayu
berusia ratusan tahun itu tidak dipelihara dengan baik. Makam hanya beralas
tanah berpasir. Kondisi yang sama di makam Mahligai, kompleks permakaman
penyebar Islam. Juga di kolam pemandian putri raja Barus, Andam Dewi, yang
berusia ratusan tahun di perkampungan.
Kolam pemandian yang memiliki nilai bersejarah tinggi itu
dibiarkan hancur termakan oleh waktu. Pantai Barus yang memesona membentang
di Pantai Barat Sumatra. Kondisi pantai yang di masa jayanya sebagai gerbang
kota dagang menghubungkan ke jalur perdagangan mancanegara itu saat ini
menyedihkan. Meski menjadi salah satu andalan wisata bahari, keadaannya
menyesakkan hati. Gubuk tempat rekreasi di sepanjang pantai rusak dimakan
usia. Belum ada upaya maksimal menghidupkan kembali memori Barus sebagai kota
penyebaran Islam dan kota dagang. Sebaliknya, yang digerakkan pemerintah
setempat ialah pertumbuhan ekonomi melalui ekspansi kelapa sawit. Ekspansi
kelapa sawit dicangkokkan ke daerah Barus menghasilkan perebutan tanah rakyat
di sekitar berdirinya industri kelapa sawit. Karena disokong kekuasaan lokal,
industri kelapa sawit memproduksi konflik pertanahan yang tak berkesudahan.
Akibatnya, konflik antara industri kelapa sawit dan rakyat terus melebar dari
waktu ke waktu.
Barus kini telah terintegrasi dalam kapitalisme dunia.
Barus seolah kehilangan asa membangkitkan kegemilangan masa lalu sebagai
modal kultural penebar inspirasi menghidupkan jejak penyebaran Islam dan kota
dagang di Sumatra Utara. Sisa peninggalan masa kejayaan Barus sebagai salah
satu wilayah penyebaran Islam Nusantara terbenam dalam hiruk pikuknya
pembangunan daerah yang kehilangan arah. Inilah nestapa kota tua Barus di
Pantai Barat Sumatra. Pemancangan tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di
Barus oleh Presiden Jokowi 25-26 Maret 2017 lalu diharapkan menjadi awal
penataan dan kebangkitan kembali roh Barus sebagai wilayah penyebaran Islam
Nusantara dan kota dagang di Sumatra Utara di masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar