Hoax
Penculikan Anak, Salah Siapa?
Reza Indragiri Amriel ; Pengurus Lembaga Perlindungan Anak
Indonesia; Alumnus Psikologi Forensik University of Melbourne
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Maret 2017
HOAX alias desas-desus, bukan barang baru. Sejak dunia
mengenal internet dan berbagai platform media sosial, saat itu pula hoax
berlompatan dari satu akun ke akun lain, dari satu ponsel ke ponsel
berikutnya. Menangkal hoax bukan persoalan gampang. Bisa dibayangkan, hoax
mengalir di dalam kelompok media sosial antarsesama teman (friends). Karena
koneksinya ialah pertemanan, rasa kedekatan dan saling percaya bisa dibilang
lebih kuat. Itulah pemantik bias perasaan (affective bias), yakni saat
perasaan sudah sedemikian dominan, pada gilirannya sensor pikiran akan
menumpul. Filter terhadap informasi cenderung terabaikan, karena antarteman
tidak berprasangka bahwa mereka akan menipu satu sama lain. Masyarakat geger
menyusul derasnya hoax tentang penculikan anak, itu bisa ditafsirkan sebagai
kabar 'baik'.
'Baik' karena khalayak luas lebih waspada terhadap potensi
bahaya yang mengancam anak. Publik lebih terpanggil bahwa anak-anak--tidak
sebatas anak kandung--dan perlindungan terhadap mereka merupakan kewajiban
semua pihak. Tidak berlebihan untuk disimpulkan, keinsafan sedemikian rupa
terbentuk oleh masifnya kampanye perlindungan anak selama ini.
Yang
menggelisahkan ialah manakala kewaspadaan sedemikian rupa disusul dengan aksi
vigilantisme, yaitu tindakan-tindakan yang diklaim pelaku untuk menciptakan
keamanan bahkan menegakkan hukum, tetapi sesungguhnya melanggar hukum
sendiri. Korban vigilantisme, menyusul hoax penculikan anak ialah orang-orang
tidak bersalah. Bahkan, media mengabarkan bahwa orang tidak waras pun menjadi
korban amuk massa yang menyangkanya sebagai penculik anak. Tingginya respons
masyarakat terhadap serbaneka berita tentang penculikan anak, termasuk hoax
sekalipun, pada dasarnya setara dengan bobot kejahatan itu sendiri.
Presiden Joko Widodo pada tahun silam memberi status
kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia kemudian menetapkan Indonesia dalam situasi
darurat kejahatan seksual terhadap anak. Terlepas dari perdebatan tentang
ketepatan sebutan 'kejahatan luar biasa' dan 'darurat' itu, realitasnya ialah
pembingkaian atas situasi tersebut diserap secara serius oleh masyarakat.
Akibatnya, khalayak menjadi sangat peka terhadap segala sesuatu yang
terasosiasi dengan bahaya yang dihadapi anak. Pembingkaian situasi tersebut
mencapai puncaknya pada disahkannya revisi kedua Undang-Undang Perlindungan
Anak. Disebut puncak karena revisi tersebut spesifik mengangkat bentuk-bentuk
pemberatan sanksi bagi predator seksual anak. Persoalannya, implementasi
undang-undang hasil revisi itu terkendala karena hingga kini belum ada aturan
teknis tentang penerapan kebiri kimiawi, pemasangan chip, dan pengeksposan
identitas pelaku ke masyarakat. Pada absennya implementasi undang-undang
itulah, reaksi publik terhadap hoax penculikan anak seolah menjadi
kompensasi.
Vigilantisme, dengan demikian dapat dimaknai sebagai
manifestasi ketakutan dan kebencian masyarakat terhadap predator.
Vigilantisme sekaligus merefleksikan ketidaksabaran dan frustrasi publik akan
terealisasinya serangkaian penindakan luar biasa terhadap kejahatan yang juga
sudah dikategorikan luar biasa. Vigilantisme ialah langkah terakhir yang
diambil masyarakat yang merasa tak terlindungi, yang memandang bahwa
penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan terhadap anak berlangsung hanya
setengah hati. Aksi vigilantisme terhadap orang-orang yang dikabarkan (secara
keliru) sebagai penculik anak, betapa pun melanggar hukum, menjadi sebuah
peringatan tak langsung terhadap otoritas penegakan hukum agar wawas diri.
Memang, penciptaan keamanan dan rasa aman masyarakat tidak bergantung pada
kerja kepolisian semata. Namun, apa boleh buat, menindak keras pelaku
vigilantisme tanpa disertai pemberian jaminan bahwa predator akan digilas,
berisiko dijawab dengan resistensi yang lebih kuat lagi. Walau bagaimanapun,
hanya ketika hukum di Tanah Air memperlihatkan sikap tidak kenal ampun
terhadap predator anak, barulah dapat diharapkan bahwa mekanisme do it
yourself yang dilakukan khalayak juga akan berkurang. Pada sisi lain, di
samping menyikapi tindak-tanduk pelaku vigilantisme secara benar-benar arif,
pihak kepolisian juga perlu menyelidiki kemungkinan bahwa 'penegakan hukum
swakarsa' hanya merupakan target antara yang ingin dicapai pihak pendesain.
Bertitik tolak dari asumsi bahwa hoax diproduksi secara
sistematis, tersebarnya informasi bahwa seolah terjadi gelombang penculikan
anak di berbagai tempat dapat disusul dengan terbangunnya persepsi publik
bahwa otoritas penegakan hukum tidak hadir ataupun tidak bekerja efektif.
Apalagi pada saat yang sama, publik tidak memiliki--katakanlah--safeguard
untuk mengecek apakah informasi penculikan anak merupakan hoax atau nyata.
Atas dasar itu, Polri patut mencermati hoax penculikan anak yang hilir mudik
tak berkeputusan sebagai strategi yang didesain pihak tertentu untuk
mendeligitimasi institusi kepolisian di mata masyarakat. Ketika lembaga
kepolisian sudah terdeligitimasi, kepercayaan publik terhadap Korps Tribrata
akan tergerus. Suasana batiniah seperti itu akan terwujud pada keengganan
publik untuk bekerja sama dengan polisi. Lebih buruk lagi, dari yang semula
masyarakat bersikap abai polisi hanya pada lingkup perlindungan anak, tidak
tertutup kemungkinan nantinya terjadi ketidaktaatan pada hukum dalam skala
lebih luas.
Untuk menangkalnya, di samping terus menggencarkan
langkah-langkah hukum untuk melindungi anak-anak, polisi perlu mengadakan
sistem layanan bagi publik yang ingin mengecek sejauh mana kebenaran kabar
tentang terjadinya tindak kejahatan terhadap anak. Sebagai perbandingan,
karena BMKG mampu memublikkan info tentang gempa secara real time melalui
berbagai kanal, polisi pun sudah sepantasnya dapat mengadakan info layanan
serupa khusus terkait dengan penculikan terhadap anak.
Keandalan sistem
informasi kepolisian itu terletak pada kesediaan polisi menerima permintaan
klarifikasi pelapor atas info yang menyebar di media sosial. Juga, ditentukan
oleh kecepatan respons polisi hingga level yang mengimbangi kecepatan
viralnya hoax. Masyarakat yang memasang antena tinggi-tinggi, serta polisi
yang menyalakan radarnya dengan jangkauan sejauh mungkin ialah kolaborasi
yang akan mempersempit peluang kejahatan terhadap anak. Momentum ini perlu
dijaga agar tidak berlanjut dengan menurunnya kewaspadaan khalayak seiring
dengan terlihatnya kerja gesit polisi. Lebih buruk, andaikan masyarakat sadar
bahwa tidak lagi menunjukkan kewaspadaannya, polisi ikut-ikutan menurunkan
kesiagaannya. Apabila itu yang terjadi, sahlah Indonesia ialah surga bagi
penculik, pemangsa, dan penjahat-penjahat anak lainnya. Na'udzubillaahi min dzalik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar