Pemilih
Kita Cerdas, atau Sebaliknya?
Ardi Winangun ;
Penggiat
Komunitas Penulis Lapak Isu
|
OKEZONENEWS,
02 Mei 2014
Menjelang
putusan resmi KPU untuk menetapkan siapa-siapa anggota DPR dan DPD terpilih,
kita sudah mengetahui siapa-siapa saja mereka yang lolos ke Senayan, Jakarta.
Di media massa sudah dikabarkan siapa saja caleg-caleg terpilih dan siapa
saja yang gagal.
Dalam
berita yang dimuat di media massa, kita terkaget-kaget sebab banyak caleg
yang berasal dari petahana dan sangat populer namun gagal mempertahankan
jabatannya sebagai wakil rakyat. Lihat kurang apa popularitas Marzuki Alie,
Nurul Arifin, Eva Kusuma Sundari, Hajriyanto Y. Thohari, Sutan Batoegana, Roy
Suryo, Priyo Budi Santoso, namun semuanya rontok, kalah suara dengan caleg
lain yang popularitas di bawah mereka.
Kita tak
hanya terkaget-kaget dengan kekalahan para petahana yang sering muncul di
televisi itu namun juga kaget dengan banyaknya artis dan olahragawan menjadi
anggota DPR. Artis yang baru maju dalam Pemilu 2014 dan terpilih seperti Desy
Ratnasari, Anang Hermansyah, Nico Siahaan, Ricky Subagja, Moreno Suprapto.
Mereka menambah deretan artis yang sebelumnya sudah ada seperti Eko Patrio, Primus,
Rachel Maryam, Rieke Dyah Pitaloka, petahana artis yang bisa mempertahankan
kursinya. Artis menjadi wakil rakyat tak hanya di DPR, di DPD pemilihan Jawa
Barat, komedian Oni Suwarman atau yang popular disebut Oni SOS terpilih
mewakili provinsi itu menjadi wakil daerah.
Kita
bisa jadi lebih kaget dalam Pemilu untuk memilih anggota DPD. Salah satu
calon anggota DPD untuk Jawa Barat, Aceng Fikri, juga berhasil merebut satu
dari empat kursi anggota DPD dari satu provinsi. Kita kaget Aceng terpilih
sebab pria itu sangat kesohor ketika pernikahan kilat dengan seorang gadis
menjadi pergunjingan dan kecaman di masyarakat hingga akhirnya ia dipecat
dari jabatannya sebagai Bupati Garut.
Dengan
Pemilu yang baru usai itu kita bisa mengukur kecerdasan masyarakat dalam
memilih. Wakil-wakil rakyat yang duduk di Senayan pada periode 2014-2019
merupakan cerminan wajah kita sebab mereka bisa ke sana sebab kitalah yang
memilih dan mendorongnya.
Di satu
sisi bisa jadi masyarakat sangat cerdas dalam memilih sebab masyarakat
melihat kinerja DPR periode 2009-2014 yang mengecewakan dalam segi legislasi,
anggaran, dan pengawasan. Kondisi mengecewakan bertambah ketika mereka
melakukan tindakan-tindakan indispliner seperti membolos saat rapat,
kunjungan keluar negeri yang tak efektif, dan yang lebih menyakitkan saat
mereka melakukan tindak korupsi.
Dengan
mengacu pada kinerja mereka ditambah maraknya korupsi di lembaga itu membuat
masyarakat tak sudi lagi memilih. Masyarakat sudah berpikir cerdas dalam
melihat anggota DPR yang telah melakukan kesalahan yang fatal. Perilaku yang
demikian membuat masyarakat tak sudi lagi mencoblosnya meski mereka sering
turun ke bawah. Masyarakat sudah tak respek kepada mereka meski menjanjikan
sesuatu atau berjanji akan mengubah sikapnya.
Tidak
terpilihnya Marzuki Alie, Taufik Kurniawan, Priyo Budi Santoso di mana mereka
sebagai pimpinan DPR menunjukkan legitimasi lembaga itu rontok sehingga
puncuk-puncuk pimpinannya saja diabaikan, apalagi anggota biasa. Kalau dalam
catur, rajanya mati makanya semuanya akan menyerah.
Namun
kecerdasan masyarakat di satu sisi menjadi hambar ketika banyak orang yang
kurang memiliki kapasitas dan atau memiliki catatan hitam dalam perilakunya
namun mereka bisa lolos ke Senayan. Memang tidak ada larangan para artis
untuk menjadi wakil rakyat, seluruh warga negara berhak menjadi wakil rakyat
namun untuk menjadi wakil rakyat kan tidak bisa sembarangan. Kerja wakil
rakyat tidak duduk, datang, dan uang namun mengemban aspirasi perjuangan
rakyat.
Bila
artis menjadi wakil rakyat, mampukah mereka bekerja? Berdasarkan pengalaman
masa yang lalu, memang tak semua artis seperti dugaan kita selama ini,
dianggap tak mampu bekerja. Beberapa di antara mereka bisa melakukan tugas
sebagai wakil rakyat dengan baik. Sebab banyak di antara mereka hanya sebagai
pemanis atau sekadar untuk meraih kursi agar partai lolos dari parlement
threshold membuat citra artis di parlemen tak bagus.
Bila
banyak wakil rakyat dengan background
artis namun kinerja seperti itu namun rakyat tetap memilih, nah di sinilah
antitesa dari kecerdasan mereka ketika tidak memilih para petahana yang
kinerjanya buruk. Tentu di sini pemilih tak cerdas dalam memilih wakilnya
sebab yang dicoblos adalah orang yang sebatas populer karena keartisannya.
Pemilih akan mengulang masa lalu DPR yang diseraki artis namun mereka tak
produktif.
Memang
pemilih dalam menentukan coblosannya dipengaruhi banyak faktor. Nah di sini
seharusnya faktor untuk memperbaiki kinerja DPR yang lebih dikedepankan
daripada faktor lain, uang dan popularitas.
Tidak memilih petahana sebenarnya sebuah langkah yang positif. Sebuah
langkah untuk menunjukkan masyarakat ingin ada perubahan namun di sisi yang
lain, masyarakat masih memilih kelompok yang selama ini diragukan
kapasitasnya. Jadi di sini masih ada proses tarik menarik di masyarakat. Di
satu sisi ada upaya untuk memperbaiki kinerja DPR namun di sisi lain ada yang
ingin mempertahankan DPR yang lembek. Jadi pemilih kita ada yang sudah cerdas
menggunakan hak pilihnya namun masih juga ada yang sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar