Presiden
Baru dan Harapan Tanah Papua
Jimmy Demianus Ijie ;
Penggagas
Gerakan Papua Optimis, Politikus PDIP
|
SINAR
HARAPAN, 03 Mei 2014
Sampai
saat ini, baru Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengantongi
satu tiket untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Selain itu,
belum kelihatan siapa sesungguhnya yang bakal berhadapan dengan calon
presiden Joko Widodo (Jokowi) dari PDIP.
Namun,
siapa pun yang memenangi Pilpres 2014, praktis menghadapi berbagai persoalan
mendasar bangsa ini, seperti kesejahteraan, infrastruktur, kebangsaan, dan
kesenjangan wilayah timur-barat.
Berkaitan
dengan kesenjangan wilayah, mau tidak mau, wilayah timur membutuhkan
perhatian serius, bukan sekadar formal belaka. Wilayah timur membutuhkan
keberpihakan yang nyata. Sesungguhnya, ada berbagai kebijakan yang sangat
ironis karena justru memusatkan pembangunan di kawasan barat sehingga kesenjangan
justru semakin melebar.
Sudah
menjadi pengetahuan umum, wilayah timur, terutama Papua, merupakan wilayah
yang jauh tertinggal. Padahal dalam beberapa periode pemerintahan, pemerintah
sudah membentuk kementerian percepatan pembangunan kawasan timur atau
sekarang berada dalam domain Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.
Tetapi,
semua itu tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Semestinya, kebijakan
percepatan pembangunan kawasan timur diikuti keberpihakan dari sisi anggaran,
personel, dan pendukung terhadap kebijakan itu.
Berkaitan
dengan persoalan tanah Papua (Papua dan Papua Barat), sudah ada berbagai
kebijakan yang ditempuh pemerintah pusat, termasuk keberadaan Undang-Undang
(UU) Otonomi Khusus bagi pemerintahan Papua, termasuk pembentukan UKP4B untuk
mempercepat pembangunan di tanah Papua.
Namun,
berbagai kebijakan itu seolah tidak mampu menyelesaikan persoalan di tanah
Papua. Selain itu, ada berbagai desk di hampir berbagai instansi pusat yang
khusus mengurus tanah Papua, tapi tetap tidak mampu menjawab persoalan yang
ada.
Persoalan
Papua hari ini bukan sekadar makan, pakaian, dan rumah. Tapi, ada persoalan
politik, sosial, kebudayaan, ekonomi, dan keadilan yang kait-mengait sehingga
membutuhkan penanganan yang utuh dan berlanjut. Papua tidak boleh hanya
ditangani parsial tanpa menyentuh akar persoalan.
Untuk
itu, pemenang Pilpres 2014 perlu mempertimbangkan dengan serius untuk
membentuk kementerian khusus urusan Papua, merupakan pembantu utama presiden
untuk mengatasi masalah di tanah Papua. Semua kebijakan dari pemerintah pusat
berada dalam koordinasi kementerian khusus itu sehingga kebijakan di tanah
Papua benar-benar fokus, terkontrol, dan memudahkan evaluasi capaian setiap
program.
Kementerian
khusus ini bukan saja mengendalikan berbagai kebijakan soal tanah Papua,
melainkan juga memudahkan sinergi antarprovinsi yang ada di tanah Papua.
Pembentukan
kementerian seperti ini pun bisa ditemukan di berbagai negara maju, seperti
Selandia Baru, Kanada, dan Belgia. Kementerian khusus ini bermakna positif
pula bagi eksistensi kaum minoritas atau penduduk asli Papua dalam konteks
keindonesiaan.
Keberadaan
kementerian itu merupakan penanda keseriusan dan bagian keberpihakan
pemerintah terhadap penyelesaian persoalan Papua. Kementerian khusus Papua
ini sekaligus penegasan terhadap tidak perlunya wacana gubernur jenderal yang
digagas beberapa kalangan di Papua.
Hal
lain, pemerintah mendatang harus memikirkan special envoy (utusan khusus)
yang bertugas menangani diplomasi internasional mengenai masalah Papua.
Utusan itu harus diambil dari orang Papua. Jadi, biarkan orang Papua (utusan
khusus) yang bicara tentang Papua guna mengimbangi kampanye yang selama ini
berlangsung di luar negeri.
Dialog Damai
Selain
kementerian khusus untuk Papua, presiden terpilih mendatang harus benar-benar
mengupayakan penyelesaian masalah Papua secara komprehensif. Pengalaman
selama ini, pemerintah pusat seakan tergesa-gesa fokus menangani Papua jika
eskalasi masalah sudah mulai meninggi, seolah tidak ada upaya menyentuh akar
masalah di Papua.
Diakui
atau tidak, peristiwa kekerasan, tembak-menembak, dan kelompok yang ingin
merdeka merupakan realitas yang ada di tanah Papua. Tidak mungkin masalah ini
diselesaikan dengan senjata. Itu karena persoalan membuktikan, dialog damai
mampu menyelesaikan masalah mendasar.
Apalagi,
pola pendekatan keamanan di tanah Papua belum jauh berubah. Begitu mudah
orang ditempeli stigma pro “M” manakala bersuara kritis terhadap situasi yang
terjadi di tanah Papua.
Bila hal
ini tidak diubah, orang Papua akan terus diam terhadap berbagai persoalan
yang ada. Setiap orang yang bersuara kritis tidak boleh seenaknya dicap
sebagai “M”. Pola-pola seperti ini sebaiknya dibenahi pemerintahan hasil
pilpres nanti.
Kita
bersyukur karena sampai saat ini Aceh jauh lebih damai dan lebih fokus
membangun daerah setelah pemerintah mau berdialog dengan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM). Untuk itu, sebenarnya ada sedikit yang mengganjal di benak orang
Papua. Jika pemerintah mau berdialog dengan Aceh, mengapa enggan berdialog
dengan orang Papua?
Papua
hanya ingin damai dan bisa lebih fokus memperbaiki diri. Seruan untuk
berdialog damai ini sudah tak terhitung lagi. Ada harapan besar presiden
terpilih mau berdialog menyelesaikan masalah Papua dalam konteks NKRI.
Kalau
mau jujur, figur Jokowi memberikan harapan untuk ada dialog dengan orang
Papua. Ketika Jokowi bersedia berdialog dengan pedagang di Solo, ketika
Jokowi bersedia berdialog dengan preman dan pedagang Tanah Abang, bukan
mustahil Jokowi bersedia berdialog dengan kelompok atau orang yang berbeda
pandangan, termasuk berbeda ideologi.
Papua
menanti sebuah dialog damai sehingga tanah Papua tidak tersandera konflik
berkepanjangan yang bisa muncul kapan saja. Kalau Soekarno memperjuangkan
kembalinya Irian Barat, sudah waktunya Joko Widodo menggenapi perjuangan Bung
Karno.
Semoga
di tangan dua insinyur ini, persoalan Papua benar-benar teratasi. Sangat
ironis jika Soekarno mengembalikan Irian Barat, tetapi penerusnya tidak
menyelesaikan masalah atau bahkan sekadar mempertahankan Irian Barat.
Pemerintahan
mendatang perlu mempertimbangan pembentukan provinsi baru di tanah Papua
sebagai salah satu upaya mempercepat pembangunan tanah Papua. Tanah Papua
yang memiliki luas 3,5 kali lipat Pulau Jawa hanya memiliki dua provinsi.
Bisa dibandingkan dengan Jawa yang memiliki enam provinsi.
Pembentukan
provinsi baru bukan saja memudahkan rentang kendali pemerintahan, melainkan
juga mendorong adanya pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, sekaligus membuka
berbagai kesempatan mendorong perbaikan kesejahteraan di tanah Papua.
Setidaknya, tanah Papua membutuhkan 5-7 provinsi.
Kiranya, Pemilihan Umum 2014 ini bukan sekadar rutinitas pergantian
pemerintahan, melainkan benar-benar membawa angin perubahan bagi Indonesia.
Hal yang terutama, ada harapan baru bagi kawasan timur, termasuk tanah Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar