Minggu, 04 Mei 2014

Mitos tentang Seragam Sekolah

Mitos tentang Seragam Sekolah

Nanang Martono  ;   Dosen Sosiologi Unsoed Purwokerto,
Penulis buku Dunia Lebih Indah Tanpa Sekolah
SUARA MERDEKA,  03 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
“Biarkan siswa di Tanah Air mengenakan pakaian yang mereka miliki, asalkan masih dalam batas kesopanan”

Guru dan siswa sejumlah sekolah di Kabupaten Banjarnegara kini sedang gelisah setelah bupati melarang sekolah menerapkan seragam identitas sekolah. Peraturan bupati tersebut tertuang dalam SK Nomor 420/964/ Setda523/2014 perihal Penghapusan Beban Murid Baru pada PMB 2014-2015.

Seragam sekolah memiliki banyak fungsi. Di luar banyak fungsi itu, tersirat beberapa masalah sosial berkait praktik ’’penyeragaman seragam sekolah’’. Sudah jadi ’’kesepakatan’’, murid SD berseragam putih merah, SMP putih biru, dan SMA putih abu-abu. Dalam konteks ini, seragam menjadi penanda sekaligus simbol kebersamaan.

Dengan berseragam, pelajar secara tak langsung membawa nama sekolah. Ketika melakukan perbuatan tidak pantas maka seragam ìberbicaraî, nama baik sekolah pun ikut tercemar. Adakalanya seragam berfungsi sebagai sarana promosi. Seragam yang bagus menarik minat masyarakat menyekolahkan anak ke sekolah itu.

Di sisi lain seragam dapat menjadi bumerang. Pertama; keberadaan seragam acap  menyebabkan biaya pendidikan membengkak. Kedua; seragam dimanfaatkan sekolah untuk menilai tingkat kedisiplinan siswa. Akibatnya, pihak sekolah harus membuang banyak waktu hanya untuk mengawasi masalah seragam.

Mengenakan seragam adalah wujud ketaatan siswa pada tata tertib sekolah. Tapi disayangkan ketika tata tertib sekolah lebih banyak difokuskan untuk mengatur poin-poin tentang aturan ìkeseragamanî. Siswa mendapat poin hukuman hanya karena berkaus kaki berbeda warna dari yang lain. Begitu pula tali sepatu, ikat pinggang, sampai atribut identitas sekolah.

Dengan fenomena ini, sekolah sepertinya lebih bernuansa militeristik; kedisiplinan dan ketaatan siswa hanya dinilai dari tingkat keseragaman. Sekolah adalah lembaga sipil, dan ketika jam sekolah ada anak sekolah ìberkeliaranî di luar, mereka bagai tahanan yang melarikan diri, dan kemudian dikejar Satpol PP.  Aksi bolos sekolah merupakan cerminan bahwa lingkungan sekolah tak mampu membuat mereka senang dan bahagia di dalamnya. Mereka pun lebih memilih ’’berkeliaran’’ di luar ketimbang harus mengikuti aturan “penjara sekolah”.

Apakah pelajar di Tanah Air perlu diseragamkan dalam masalah seragam sekolah? Mereka sebenarnya tak perlu diwajibkan memakai seragam. Biarkan mengenakan pakaian yang mereka miliki, asalkan masih dalam batas kesopanan. Seragam sebagai identitas; seragam sebagai sarana meningkatkan kecintaan siswa pada sekolah, semua itu hanyalah mitos.

Yang terjadi adalah seragam menyebabkan anak sekolah menjadi eksklusif, terpisah dari lingkungan sosial di sekitarnya. Seragam juga telah mengotak-kotakkan mereka dan cenderung mengarah pada tumbuhnya primordialisme asal sekolah.

Untuk menumbuhkan kecintaan siswa pada sekolah, tidak perlu menggunakan seragam sebagai alat. Cukuplah sekolah menciptakan budaya sekolah yang “bersahabat” bagi mereka. Mereka pun dengan sendirinya bangga dan senang berada di sekolah. Biarkanlah kecintaan tumbuh secara alami.

Nilai Sosial Benda

Mitos berikutnya adalah seragam menyimbolkan kesamaan derajat. Namun realitasnya  hanyalah kedok. Meskipun berseragam sama, anak-anak menunjukkan “ketidakseragaman” lewat cara lain. Ketidaksetaraan sosial di sekolah tak bisa tertutupi. Memang seragam sama tapi gaya hidup mereka tetap menunjukkan siapa mereka.

Sosiolog Baudrillard menjelaskan status sosial seseorang dapat dilihat dari nilai sosial benda yang dimilikinya. Meskipun sepatu sama-sama hitam, si kaya akan mengenakan sepatu bermerk terkenal. Demikian pula kepemilikan yang lain: tas sekolah, kalkulator, laptop, ponsel, cara berangkat (naik mobil, motor, angkot, atau jalan kaki) tetap tak mampu menunjukkan kesetaraan sosial.

Seragam tak bisa mengajarkan siswa tentang perbedaan sosial. Jadi, ìseragam menunjukkan keseragaman dan kesamaan statusî hanyalah kamuflase. Biarkan anak-anak memperlihatkan  siapa mereka supaya mampu memaknai dan belajar tentang dinamika keberagaman kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar