Mitos
tentang Seragam Sekolah
Nanang Martono ;
Dosen
Sosiologi Unsoed Purwokerto,
Penulis buku
Dunia Lebih Indah Tanpa Sekolah
|
SUARA
MERDEKA, 03 Mei 2014
“Biarkan siswa di Tanah Air mengenakan pakaian
yang mereka miliki, asalkan masih dalam batas kesopanan”
Guru dan
siswa sejumlah sekolah di Kabupaten Banjarnegara kini sedang gelisah setelah
bupati melarang sekolah menerapkan seragam identitas sekolah. Peraturan
bupati tersebut tertuang dalam SK Nomor 420/964/ Setda523/2014 perihal
Penghapusan Beban Murid Baru pada PMB 2014-2015.
Seragam
sekolah memiliki banyak fungsi. Di luar banyak fungsi itu, tersirat beberapa
masalah sosial berkait praktik ’’penyeragaman seragam sekolah’’. Sudah jadi
’’kesepakatan’’, murid SD berseragam putih merah, SMP putih biru, dan SMA
putih abu-abu. Dalam konteks ini, seragam menjadi penanda sekaligus simbol
kebersamaan.
Dengan
berseragam, pelajar secara tak langsung membawa nama sekolah. Ketika melakukan
perbuatan tidak pantas maka seragam ìberbicaraî, nama baik sekolah pun ikut
tercemar. Adakalanya seragam berfungsi sebagai sarana promosi. Seragam yang
bagus menarik minat masyarakat menyekolahkan anak ke sekolah itu.
Di sisi
lain seragam dapat menjadi bumerang. Pertama; keberadaan seragam acap menyebabkan biaya pendidikan membengkak.
Kedua; seragam dimanfaatkan sekolah untuk menilai tingkat kedisiplinan siswa.
Akibatnya, pihak sekolah harus membuang banyak waktu hanya untuk mengawasi
masalah seragam.
Mengenakan
seragam adalah wujud ketaatan siswa pada tata tertib sekolah. Tapi
disayangkan ketika tata tertib sekolah lebih banyak difokuskan untuk mengatur
poin-poin tentang aturan ìkeseragamanî. Siswa mendapat poin hukuman hanya
karena berkaus kaki berbeda warna dari yang lain. Begitu pula tali sepatu,
ikat pinggang, sampai atribut identitas sekolah.
Dengan
fenomena ini, sekolah sepertinya lebih bernuansa militeristik; kedisiplinan
dan ketaatan siswa hanya dinilai dari tingkat keseragaman. Sekolah adalah
lembaga sipil, dan ketika jam sekolah ada anak sekolah ìberkeliaranî di luar,
mereka bagai tahanan yang melarikan diri, dan kemudian dikejar Satpol
PP. Aksi bolos sekolah merupakan
cerminan bahwa lingkungan sekolah tak mampu membuat mereka senang dan bahagia
di dalamnya. Mereka pun lebih memilih ’’berkeliaran’’ di luar ketimbang harus
mengikuti aturan “penjara sekolah”.
Apakah
pelajar di Tanah Air perlu diseragamkan dalam masalah seragam sekolah? Mereka
sebenarnya tak perlu diwajibkan memakai seragam. Biarkan mengenakan pakaian
yang mereka miliki, asalkan masih dalam batas kesopanan. Seragam sebagai
identitas; seragam sebagai sarana meningkatkan kecintaan siswa pada sekolah,
semua itu hanyalah mitos.
Yang
terjadi adalah seragam menyebabkan anak sekolah menjadi eksklusif, terpisah
dari lingkungan sosial di sekitarnya. Seragam juga telah mengotak-kotakkan
mereka dan cenderung mengarah pada tumbuhnya primordialisme asal sekolah.
Untuk
menumbuhkan kecintaan siswa pada sekolah, tidak perlu menggunakan seragam
sebagai alat. Cukuplah sekolah menciptakan budaya sekolah yang “bersahabat”
bagi mereka. Mereka pun dengan sendirinya bangga dan senang berada di
sekolah. Biarkanlah kecintaan tumbuh secara alami.
Nilai Sosial Benda
Mitos
berikutnya adalah seragam menyimbolkan kesamaan derajat. Namun
realitasnya hanyalah kedok. Meskipun
berseragam sama, anak-anak menunjukkan “ketidakseragaman” lewat cara lain.
Ketidaksetaraan sosial di sekolah tak bisa tertutupi. Memang seragam sama
tapi gaya hidup mereka tetap menunjukkan siapa mereka.
Sosiolog
Baudrillard menjelaskan status sosial seseorang dapat dilihat dari nilai
sosial benda yang dimilikinya. Meskipun sepatu sama-sama hitam, si kaya akan
mengenakan sepatu bermerk terkenal. Demikian pula kepemilikan yang lain: tas
sekolah, kalkulator, laptop, ponsel, cara berangkat (naik mobil, motor,
angkot, atau jalan kaki) tetap tak mampu menunjukkan kesetaraan sosial.
Seragam tak bisa mengajarkan siswa tentang perbedaan sosial. Jadi,
ìseragam menunjukkan keseragaman dan kesamaan statusî hanyalah kamuflase.
Biarkan anak-anak memperlihatkan siapa
mereka supaya mampu memaknai dan belajar tentang dinamika keberagaman
kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar