Merindukan
Sosok Nasionalis Sejati
Jamal Ma’mur Asmani ;
Peneliti
dari Fiqh Sosial Institute Sekolah Tinggi Agama Islam Mathaliul Falah
(Staimafa) Pati,
Mahasiswa S-3
Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 03 Mei 2014
“Kemandirian yang jadi spirit perjuangan Kiai
Sahal seyogianya dapat menggugah kesadaran bangsa ini”
HARI
Sabtu, 3 Mei 2014, KH MA Sahal Mahfudh telah 100 hari meninggalkan kita.
Begawan fikih sosial dan bapak moral bangsa ini telah meninggalkan warisan
intelektual dan sosial yang sangat berharga. Warisan intelektual tercermin
dari karya sejumlah kitab, buku, dan makalah dalam berbagai forum.
Adapun
warisan sosial terlihat dari terbentuknya Biro Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (BPPM), BPR Artha Huda, Rumah Sakit Islam (RSI), Sekolah Tinggi
Agama Islam Mathaliíul Falah (Staimafa), Panti Asuhan Darul Hadhanah, dan
lain-lain. Dua karya ini menunjukkan pemahaman komprehensif Kiai Sahal mengenai
agama.
Pelajaran
lain yang berharga dari Kiai Sahal untuk bangsa ini adalah keteguhan sikapnya
sampai akhir hayat, yang menjadikannya sebagai teladan bagi seluruh elemen
masyarakat. Salah satu bukti adalah kekonsistenan menjalankan khitah NU.
Salah satu poin utama khitah adalah netralitas NU dari seluruh kepentingan
politik praktis yang berorientasi pada perebutan jabatan dan kekuasaan
struktural.
Selama
hampir tiga periode menjadi pemimpin puncak NU, Mbah Sahal menjadi pengayom
kader nahdliyin yang tersebar pada sejumlah partai, tidak ada yang
dianakemaskan. Ia gigih mengendalikan gelombang politik masif warga NU ketika
Gus Dur menjadi presiden, bahkan ketika dijatuhkan. Sewaktu KH Hasyim Muzadi
menjadi cawapres mendampingi Megawati, Kiai Sahal pun tegas menonaktifkannya
dari ketua umum PBNU. Kegigihan
mengemban khitah dia tunjukkan dalam interaksinya dengan para pejabat negara.
Ketika menerima tamu pejabat negara, mereka tidak boleh membawa insan pers
sehingga pembicaraan lebih substantif dan tidak menjadi seremonial yang sarat
publisitas.
Menurut
Kiai Sahal (2008), netralitas NU dari seluruh kepentingan politik adalah
langkah penting dalam membangun kemandirian organisasi. Sebelum NU berdiri,
kemandirian warga nahdliyin telah ditunjukkan dengan kesediaan membayar iuran
bulanan guna menghidupi mesin organisasi.
Namun
setelah NU ’’menjadi’’ partai, penghimpunan dana lewat iuran berhenti karena
ada ketergantungan kepada para politikus. Akhirnya, sampai sekarang sulit
menggerakkan kesadaran warga nahdliyin untuk menghidupi organisasi melalui
iuran bulanan, bahkan mereka banyak
bergantung pada ’’pemberian’’ politikus.
Mental
proyek dan kebergantungan itu akhirnya membuat organisasi tidak netral dan NU
secara organisasi menjadi subordinat bagi kepentingan para politikus. Warga
nahdliyin kehilangan kreativitas dalam menggerakkan kemandirian organisasi.
Inilah yang dikhawatirkan Kiai Sahal dan sekarang menjadi bukti.
Menurut
Kiai Sahal, kemandirian harus berangkat dari kesadaran pribadi untuk berubah.
Kesadaran ini ditunjang dengan keterampilan dan pendampingan secara reguler.
Khitah sebagai pijakannya dalam mengendalikan NU membawa Mbah Sahal pada
kesadaran bahwa politik tingkat tinggi adalah politik kerakyatan dan
kebangsaan.
Membangun Karakter
Politik yang
ia maksud berorientasi membangun rakyat dan bangsa dalam aspek kehidupan,
ekonomi, pendidikan, sosial, kebudayaan, dan moral. Adapun politik kekuasaan
adalah politik berstrata paling rendah, karena sering menghalalkan segala
cara untuk meraih kekuasaan dan menjadikan kekuasaan tersebut sebagai alat
untuk menumpuk kekayaan.
Mbah
Sahal memulai gerakan kemandirian ekonomi rakyat dari Kajen, tempat
kelahirannya. Ia membangun kesadaran masyarakat yang miskin dan tidak
terdidik, untuk mengubah nasib. Setelah tumbuh kesadaran, mereka diberi
keterampilan sesuai minat dan bakat. Baru setelah itu, diberi modal dan
bimbingan. Pemberdayaan ekonomi rakyat itu berjalan efektif sehingga ekonomi
masyarakat membaik.
Dalam
konteks pemberdayaan inilah lahir BPPM dan BPR Artha Huda. Selain itu,
kepedulian Kiai Sahal sangat tinggi terhadap kesehatan. Bermula dari
mendirikan balai kesehatan kecil, yang dikembangkan menjadi rumah sakit untuk
menjaga kesehatan rakyat. Dalam aspek pendidikan, ia menekankan internalisasi
karakter ketimbang formalitas ijazah.
Ia
berpaham membangun bangsa adalah membangun karakter, seperti kejujuran,
tanggung jawab, kepedulian sosial, kemandirian, kreativitas, optimisme, dan
sikap visioner. Langkahnya itu sekaligus membuktikan ia nasionalis sejati,
sangat mencintai Tanah Air sehingga terus berjuang untuk memajukannya.
Kemiskinan
dan kebodohan rakyat harus dikikis sebagai syarat mencapai kemajuan bangsa.
Kepedulian besarnya dalam memberantas kemiskinan dan mengejar ketertinggalan
dalam bidang pendidikan membawanya pada refleksi kritis dan aksi konkret.
Refleksi kritis pemikiran tercermin dalam fikih sosial, dan aksi konkret yang
terlihat dari program riil pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Ke depan, kita membutuhkan sosok pemimpin
negeri yang berpaham nasionalis sejati seperti Kiai Sahal. Pemimpin seperti
itu bisa maksimal memberdayakan potensi bangsa, dan tidak akan menggadaikan
bangsa ini kepada negara lain atau mengeksploitasi tanpa mengonservasi untuk
memperkaya diri dan kelompoknya.
Kemandirian yang jadi spirit perjuangan Kiai Sahal seyogianya menggugah
kesadaran bangsa ini bahwa kesuksesan bukan karena ada bantuan dari negara
lain melainkan harus lahir dari tekad terdalam untuk menggali dan
mengembangkan potensi. Ikhtiar itu menjadikan bangsa ini lebih kompetitif dan
inovatif dalam segala aspek kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar