Minggu, 04 Mei 2014

Alien

Alien

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA,  03 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Alien, tokoh asing, dalam dunia sinetron atau film, sering digambarkan sebagai mahkluk dari planet lain, terutama untuk keperluan mewadahi karakter, sifat, peri laku yang tidak biasa, atau aneh. Mr Bean, misalnya, kelakuan dan sikapnya yang ganjil bisa diterima dalam cerita karena dia berasal dari planet lain. Tokoh alien ini juga muncul dalam seri “Kau Berasal dari Bintang”, yang tayang di RCTI, sejak 28 April lalu. Tokoh yang usianya 400 tahun itu terlibat cinta. Pasti serbaharu—karena tak masuk akal. Namun masalah yang muncul lebih besar dari itu. Drama seri ini dianggap jiplakan dari lakon yang sama yang diproduksi SBS, stasiuan siar di Korea Selatan. Judul di sana banyak, antara lain, You who come from the stars, atau juga My love from the stars, atau sejenis itu. Di negeri aslinya, sudah tayang sejak 18 Desember lalu.

Melakukan plagiatisme bagi RCTI sungguh memalukan, juga menyedihkan, Karena sesungguhnya hal itu bisa dihindari, baik dengan membeli lisensi atas cerita, atau juga kerja sama produksi. Memalukan karena sebagai stasiun siar yang bermartabat, RCTI dan rumah produksinya, menjadi perbicangan dunia televisi dalam “skandal” menyebalkan. Masalahnya juga, ini bukan hal pertama. Ada 127 cerita, atau juga judul dari mancanegara yang dijiplak, diperkosa, yang daftarnya bisa dilihat, baik yang berasal dari Korea Selatan, Taiwan, Jepang, juga India. Seolah negeri ini memang negeri perampok yang tak mengenal bagaimana memperlakukan karya seni.

Padahal, seperti saya singgung di atas, kemungkinan kerja sama sangat terbuka luas. Dalam hal ini pengakuan hak cipta siapa, hak siar siapa, dan bagaimana penyelesaian adminnya. Kegeraman SBS juga terlihat dengan keinginan menggugat RCTI , dan sekaligus mencari rumah produksi lain yang bisa diajak kerja sama. Dugaan saya, selama ini RCTI menyiapkan judul ini, dan bergegas menayangkan sebelum urusan admin selesai. Jadinya ruwet, disalahkan, dan kelewat rakus bernafsu.

Sebagai penulis cerita, saya mengalami perlakuan yang sama, ketika ACI, Aku Cinta Indonesia, tv seri diangkap ke layar lebar. Saya bahkan mempertanyakan peran lembaga/dinas di kementerian atas karya saya tersebut, namun juga tak ada jawaban. Hanya saya tidak melanjutkan ke gugatan atau menuntut seperti yang dilakukan SBS.

Hal lain dengan budaya plagiat—yang resmi sekalipun, membuat kreativitas para sineas, kru, pendukung produksi, turun ke titik nol. Para kru, termasuk kamerawan hingga editor, tinggal menjiplak apa yang dilihat di video. Lengkap dengan sudut pengambilan. Juga bagian kostum, menjiplak persis, dengan tambahan pernik. Pemainnya? Artisnya? Lebih buruk lagi: tersenyum dan marah pun sama durasinya. Benar-benar sebagai boneka yang “sebaiknya meniru persis”. Tak perlu berpikir, tak perlu menggali karakter. Sebuah jalan pintas yang mudah, murah—walau dalam jangka panjang tak menghasilkan buah pengalaman—selain seni meniru.

Walau sebenarnya dalam soal tiru meniru pun bisa menghasilkan proses kreatif yang bagus dan diakui. Judul Lady Machbeth, untuk lakon Machbeth yang asli diakui sebagai karya yang bukan sekadar meniru. Tujuh jagoan atau Seven Magnificent atas Seven Samurai, adalah contoh lain. Dengan kata lain, kalau memang ingin kreatif, selalu ada jalan dan usaha. Juga kalau mau sekadar menjiplak.

Dua pendekatan berbeda, menghasilkan proses dan juga akhir yang berbeda. Sinetron seri dari Korea itu juga ditayangkan di negeri lain, dengan adaptasi dengan penyesuaian, dengan ditiru mentah-mentah, atau bahkan tak berizin. Kita sebenarnya bebas memilih, menentukan, sikap mana yang diambil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar