Menyetop
Korupsi Pajak
Marwan
Mas ; Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
|
SINAR
HARAPAN, 20 Mei 2014
Penetapan
tersangka mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada Senin (21/4), membuat publik terkesima. Betapa tidak, Hadi dijerat
bertepatan dengan berakhirnya masa tugasnya sebagai ketua Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
Ia
diduga menggunakan kekuasaannya untuk meloloskan keberatan pajak BCA senilai
Rp 5,7 triliun pada 2003. Bobot keterkejutan publik juga menjadi jawaban,
bahwa modus klasik tentang keterlibatan orang dalam di institusi pajak dengan
cara berkolusi bersama wajib pajak, bukan isapan jempol.
Keberhasilan
KPK dan Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi pajak, tentu tidak lepas
dari peran para peniup pluit (whistle blower system) yang ada di Direktorat
Jenderal Pajak (DJP), yang memberikan informasi.
Keterbukaan
dan kerja sama dengan aparat hukum patut diapresiasi sebagai upaya
membersihkan DJP dari parasit korupsi. Penyimpangan dana pajak yang diduga
begitu besar akan membuat kita “kehilangan momentum” untuk memeratakan
pembangunan dan menyejahterakan rakyat.
Kendati
sudah ada upaya membersihkan diri, bahkan tidak sedikit aparat pajak yang
diproses hukum, tetapi belum sepenuhnya menimbulkan rasa takut bagi pegawai
lainnya untuk tidak berkolusi dengan wajib pajak. Kebocoran pajak yang terus
terjadi, tidak mungkin lagi selalu menyalahkan substansi aturannya. Hal yang
patut diseriusi adalah bagaimana membina moralitas aparat pajak agar tidak
gampang tergorda rayuan finasial dalam melaksakan tugas dan wewenangnya.
Modus Operandi
Mengkaji
temuan Indonesia Corruption Watch
(ICW) yang diurai Emerson Yunto (Kompas, 28/4) mengenai modus korupsi pajak,
setidaknya dapat dijadikan masukan dalam menyetop korupsi pajak. Pertama,
menerima suap dengan berkolusi atau nepotisme dalam pengadaan barang dan
jasa, termasuk penempatan pegawai dan pejabat di lingkungan pajak. Ini
korupsi di internal pajak yang juga banyak terjadi di institusi negara.
Kedua,
korupsi secara eksternal yang berkaitan dengan pembayaran pajak dengan
berbagai modus operandi. Di sini memunculkan begitu banyak pola korupsi,
misalnya negosiasi pembayaran pajak dengan wajib pajak agar pajak yang
dibayarkan tidak besar dari yang semestinya dibayar kepada negara. Bagi yang
melakukan negosiasi tentu saja mendapatkan imbalan yang besar dari wajib
pajak.
Malah
ada modus lain yang dilakukan secara sendiri oleh petugas pajak dengan cara
berfungsi ganda menjadi “konsultan pajak bayangan”. Perannya cukup strategis
karena memberikan konsultasi yang jelas-jelas merugikan negara dengan
menunjukkan cara bagaimana memanipulasi laporan keuangan wajib pajak agar
kewajiban pajak dapat ditekan seminimal mungkin.
Bukan
hanya itu, ada juga modus seperti yang dilakukan Gayus Tambunan, yang kini
sudah menjalani hukuman. Caranya, berkolusi dengan hakim pengadilan pajak,
termasuk dengan pejabat di lingkungan DJP. Tujuannya agar perkaranya
dimenangkan di pengadilan sehingga pembayaran pajak relatif rendah, atau
pengembalian pajak dikabulkan. Akibatnya, uang negara yang seharusnya
diterima menjadi hilang.
Banyaknya
persentase kekalahan negara di pengadilan pajak setidaknya membawa
konsekuensi terburuk. Misalnya, akan menutup potensi penerimaan pajak yang
harus diterima oleh negara. Jika terus-menerus dana pajak diselewengkan, pada
akhirnya rakyat akan semakin geram dan bisa berimbas untuk tidak patuh
membayar pajak.
Berbagai
modus ini harus dihentikan. Kita juga yakin masih banyak aparat pajak yang
bersih dan jujur. Mereka inilah yang perlu dibina agar tidak ikut-ikutan
terseret dalam pusaran penyalahgunaan wewenang.
Terapi Khusus
Sejak
mencuatnya skandal pajak Gayus Tambunan beberapa tahun lalu, memang
Kementerian Keuangan sudah berupaya melakukan berbagai reformasi birokrasi di
lingkungan DJP. Selain pengawasan yang intensif, juga gaji atau remunerasi
sudah dinaikkan untuk menutup niat jahat (mens
rea) aparat pajak untuk menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri
atau keuntungan sendiri dan pihak lain.
Tetapi
seperti yang sudah menjadi pengetahuan umum, kendati sudah diawasi, dibina
mentalnya, bahkan ditingkatkan penghasilannya, tetap saja orang pajak tanpa
rasa malu berlagak penyamun. Indikasi itu sudah terurai di ruang publik dan
dalam sidang pengadilan yang membuat rakyat kehilangan simpati. Apalagi,
hampir 70 persen anggaran negara dalam APBN-APBD bersumber dari pajak.
Untuk
menyetop korupsi pajak perlu terapi khusus, antara lain melakukan pencegahan
dengan membenahi moralitas aparat pajak, selain penindakan yang dilakukan
aparat hukum. Di tangan merekalah anggaran negara banyak digantungkan. Upaya
pencegahan harus dilakukan sistematis dan terukur. Pencegahan jauh lebih
bermakna ketimbang selalu menangkap aparat pajak yang menerima suap atau
gratifikasi.
Kalau
sudah diberikan terapi khusus dan kesejahteraan sudah dipenuhi tetapi masih
tidak mempan, tindakan keras dalam bentuk pemecatan dan hukuman berat harus
terus diintensifkan. Rakyat bisa kehilangan kesabaran jika terus-menerus
melihat ada aparat pajak yang lupa diri.
Kasus
yang ditangani kejaksaan dan KPK harus diungkap sampai akar-akarnya. Itu agar
institusi pajak tidak lagi terjebak dalam lingkaran korupsi. Seberani dan
secanggih apa pun KPK, kepolisian, dan kejaksaan dalam mengendus modusnya,
tetap saja akan kewalahan jika “korupsi sejak awal sudah dicita-citakan”.
Mengemplang uang rakyat dari hasil pajak, sama saja dengan melakukan
penzaliman terhadap rakyat. Akibatnya, kalau rakyat marah bisa memicu sikap
untuk tidak taat membayar pajak.
Lebih
jauh dari itu, wajar juga jika kita khawatir pada hasil pemilihan umum
legislatif yang ditengarai penuh politik uang dan kecurangan. Kalau yang
terpilih mayoritas bermasalah, boleh jadi uang negara dalam APBN dan APBD
tidak aman dari tangan-tangan jahil.
Itu
karena yang tersimpan dalam memori mareka adalah bagaimana mengembalikan uang
yang dikeluarkan untuk politik uang dan biaya kampanye. Inilah yang perlu
diawasi dengan melakukan reformasi birokrasi pemerintahan, reformasi
kelembagaan parlemen, dan reformasi penegak hukum secara menyeluruh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar