Menyegel
Masjid
Achmad
Fauzi ; Aktivis Multikulturalisme
|
TEMPO,
22 Mei 2014
Bisakah
rumah Tuhan itu disegel? Di Indonesia, mengunci rumah Tuhan dengan dalih
berdiri di atas kebenaran lumrah terjadi. Masjid bukan lagi sebagai tempat
suci peribadatan, tapi menjelma sebagai simbol persaingan manakala
masing-masing kelompok memiliki cara pandang dan ekspresi penghayatan
beragama yang berbeda. Celakanya, rezim penguasa tidak sekadar melakukan
pembiaran, tapi justru turut serta melanggengkan praktek itu dengan mendukung
kelompok mayoritas memberangus hak beragama minoritas.
Pemerintah
Kota Bekasi, misalnya, sudah empat kali menyegel Masjid Al-Misbah di Jalan
Pangrango Terusan, Kelurahan Jatibening, Kecamatan Pondokgede, Kota Bekasi,
yang menjadi tempat ibadah jemaah Ahmadiyah. Peristiwa mutakhir, meski
putusan PTUN Bandung belum berkekuatan hukum tetap, Pemerintah Kota Bekasi
kembali menggembok masjid tersebut hingga sekitar 50 anggota jemaah salat
Jumat masuk dan keluar dengan melompati pagar (Koran Tempo, 17 Mei).
Memang,
tak dimungkiri masjid Ahmadiyah kerap menjadi sasaran amuk massa. Namun,
menyegelnya supaya tidak terjadi keributan adalah tindakan perampasan hak
beragama dan kewajiban menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya. Semestinya pemerintah berdiri di atas semua golongan.
Atas
penyegelan masjid Ahmadiyah, Pemerintah setempat terkesan tidak berdaya
mengayomi semua golongan sehingga mengambil jalan pintas dengan menggembok
masjid. Padahal, masjid, dalam sejarah perjalanannya, memberi keteladanan
penting tentang inklusivisme beragama dan pola interaksi antarsesama.
Peristiwa penyegelan rumah Tuhan tersebut menjadi preseden buruk yang
memalukan sekaligus memilukan.
Rupanya
keterikatan berlebihan terhadap simbol-simbol agama yang menjadi salah satu
tipologi keberagamaan kita saat ini sungguh sangat membahayakan. Simbol agama
seperti rumah ibadah telah bergeser sebagai perlambang kesombongan. Ketika
rumah ibadah ada yang menandingi, pemberangusan terjadi di mana-mana.
Betapa
mirisnya jika umat Islam saat ini tengah terperangkap dalam pertikaian dan
perpecahan karena gagal mengelola perbedaan. Padahal kitab sucinya satu,
Al-Quran. Nabi yang dijunjung juga sama, Nabi Muhammad SAW. Lantas mengapa
ini terjadi. Kenyataan ini mengingatkan kita pada kisah dua orang buta yang
ngotot menjelaskan bentuk gajah. Seorang buta mengatakan bentuk gajah seperti
bola, karena yang dipegang adalah perutnya. Seorang buta lainnya mengatakan
gajah seperti tongkat karena yang dipegang adalah belalainya. Tak ada yang
keliru dari keduanya karena perut dan belalai adalah bagian dari anggota
tubuh gajah. Tapi, jika mereka melihat gajah secara utuh, tentu kesimpulannya
berbeda dan tidak mungkin ada klaim bahwa dirinya yang paling benar. Sebab,
dalam pendapatnya yang benar itu, juga ada pendapat orang lain yang juga
mengandung kebenaran.
Menyikapi
"kelainan" dalam tubuh Ahmadiyah sebaiknya dibicarakan melalui
dialog tanpa akhir. Dialog adalah jalan manusiawi untuk tetap merawat
perbedaan. Keputusasaan dalam dialog adalah hambatan terbesar membangun mimpi
Indonesia dalam bingkai keragaman. Karena itu, Indonesia tak boleh dibajak
oleh rezim yang pro anarki dan pemberangusan. Pejabat yang menggunakan
kekuasaannya untuk menindas dan tak menghormati konstitusi selayaknya
"disegel" dari sejarah perjalanan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar