Meniti
Jalan Pecundang
Sidharta
Susila ; Bruder FIC
|
SUARA
MERDEKA, 22 Mei 2014
Jalan tak hanya sarana
transportasi sebab ia juga kisah peradaban. Di jalan kita menggurat dan digurat
hingga beroleh tingkat keberadaban. Tingkat peradaban bisa dibaca dari
perilaku orang di jalan. Di banyak negara maju, jalan menjadi sarana
memperlancar aktivitas manusia. Pengguna jalan berperilaku baik, meski tak
ada polisi di jalanan.
Di negeri beradab, pengguna
jalan mengelola diri dengan taat aturan dan kesepakatan bersama. Melalui cara
itu tiap pengguna jalan beroleh keadilan dan keselamatan. Ketika aturan dan
kesepakatan bersama diabaikan, ada di jalan sering dialami dalam suasana
keterpecundangan. Keterpecundangan adalah sebuah kekalahan, bahkan
keterpurukan. Salah satu sifat kaum pecundang adalah kecenderungan
mencari-cari alasan guna membenarkan diri. Pecundang adalah bagian dari
masalah, bukan bagian dari solusi. Sebenarnya mereka bukanlah orang kurang
nalar. Mereka tahu aturan dan kesepakatan bersama. Yang tidak dimiliki
pecundang adalah pengelolaan diri untuk mengikuti aturan dan kesepakatan
bersama. Mereka justru berkeyakinan, aturan dan kesepakatan bersama hanya
menyulitkan hidupnya. Sifat egoisme banyak melahirkan kaum pecundang.
Kehidupan bersama yang dipenuhi
kaum pecundang tentu kacau-balau. Yang lebih terasa adalah adu kekuatan
penuntasan ambisi pribadi. Tak ada keadilan dan jaminan keselamatan. Tiap
orang merasa sebagai pihak yang harus diprioritaskan, sementara yang lain
dipandang sebagai pelengkap kehidupannya. Jalan yang dipenuhi kaum pecundang
sungguh kacau. Setiap orang berkendara seperti apa yang ia mau. Pecundang
yang bersepeda motor sering menyalip, memotong jalan, dan berhenti semaunya.
Mereka tak ambil peduli dengan dampak perilakunya terhadap pengguna jalan
lain. Kemarahan Gubernur Pecundang yang mengendarai mobil pun tak jauh
berbeda. Tak ada istilah mengalah dan memberi kesempatan kepada pengguna
jalan lain. Akibatnya, betapa sulitnya kita mendapat kesempatan menyeberang
jalan. Sangat kontras dengan perilaku pengemudi mobil di negara beradab.
Tiap kali ada orang berdiri di
zebra cross maka pengendara kendaraan bermotor memberi kesempatan
menyeberang. Aksi para pecundang yang mengendarai truk lebih memprihatinkan.
Bila sedang tidak ada muatan, mereka mengemudikan secara ugal-ugalan. Ketika
sedang membawa muatan, mereka mengangkut barang sebanyak mungkin. Mereka tak
mau peduli perilakunya akan merusak jalan dan berisiko membahayakan
keselamatan pengguna jalan lain. Pecundang di jalan selalu punya alasan guna
membenarkan diri. Merasa telah membayar pajak dan pungutan, mereka merasa sah
berbuat apa saja Masygulnya, ada juga aparat yang berkarakter pecundang.
Mereka tak bekerja sesuai aturan, menarik pungutan, namun tak pernah masuk
kas negara. Itulah yang terjadi di banyak jembatan timbang. Itu juga yang
membuat Gubernur Ganjar Pranowo marah pada Minggu (27/4/14) malam. Semestinya
aparatlah yang menjamin pelaksanaan aturan. Bila semua sesuai aturan maka
keadilan dan keamanan di jalan pasti terjamin.
Aparat berkarakter pecundang
adalah manusia kejam. Mereka telah digaji dari uang rakyat. Tapi perilakunya
mempertaruhkan keselamatan dan mengobrak-abrik tatanan kehidupan rakyat. Sudah
begitu, masih memungut uang rakyat secara ilegal pula. Yang kita alami
sekarang adalah jalan-jalan rusak berat. Kita seperti tak lagi punya akal,
cara dan kemampuan memperbaikinya. Banyak dari kita tahu: jalan akan awet
bila beban muatan dibatasi, keselamatan terjamin bila kendaraan melaju dengan
terukur. Tapi kita tak pernah bisa melakukan itu. Kita hanya terpaksa harus
menerima kenyataan ketidakberaturan.
Kemarahan Ganjar sejatinya bisa memutus
lingkaran setan keterpecundangan kita. Dia ada di pucuk pimpinan, sedangkan
perilaku pecundang di jalan telah merasuk sistem pemerintahan dan kehidupan.
Hanya mereka yang punya wewenang pada sistem kekuasaan yang bisa memutus
lingkaran setan keterpecundangan. Bila penguasa tak juga bertindak malah
berkarakter pecundang, ’’sempurnalah’’ kita meniti jalan pecundang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar