Jumat, 23 Mei 2014

Menyegel Masjid

Menyegel Masjid

Achmad Fauzi  ;   Aktivis Multikulturalisme
TEMPO,  22 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Bisakah rumah Tuhan itu disegel? Di Indonesia, mengunci rumah Tuhan dengan dalih berdiri di atas kebenaran lumrah terjadi. Masjid bukan lagi sebagai tempat suci peribadatan, tapi menjelma sebagai simbol persaingan manakala masing-masing kelompok memiliki cara pandang dan ekspresi penghayatan beragama yang berbeda. Celakanya, rezim penguasa tidak sekadar melakukan pembiaran, tapi justru turut serta melanggengkan praktek itu dengan mendukung kelompok mayoritas memberangus hak beragama minoritas.

Pemerintah Kota Bekasi, misalnya, sudah empat kali menyegel Masjid Al-Misbah di Jalan Pangrango Terusan, Kelurahan Jatibening, Kecamatan Pondokgede, Kota Bekasi, yang menjadi tempat ibadah jemaah Ahmadiyah. Peristiwa mutakhir, meski putusan PTUN Bandung belum berkekuatan hukum tetap, Pemerintah Kota Bekasi kembali menggembok masjid tersebut hingga sekitar 50 anggota jemaah salat Jumat masuk dan keluar dengan melompati pagar (Koran Tempo, 17 Mei).

Memang, tak dimungkiri masjid Ahmadiyah kerap menjadi sasaran amuk massa. Namun, menyegelnya supaya tidak terjadi keributan adalah tindakan perampasan hak beragama dan kewajiban menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Semestinya pemerintah berdiri di atas semua golongan.

Atas penyegelan masjid Ahmadiyah, Pemerintah setempat terkesan tidak berdaya mengayomi semua golongan sehingga mengambil jalan pintas dengan menggembok masjid. Padahal, masjid, dalam sejarah perjalanannya, memberi keteladanan penting tentang inklusivisme beragama dan pola interaksi antarsesama. Peristiwa penyegelan rumah Tuhan tersebut menjadi preseden buruk yang memalukan sekaligus memilukan.

Rupanya keterikatan berlebihan terhadap simbol-simbol agama yang menjadi salah satu tipologi keberagamaan kita saat ini sungguh sangat membahayakan. Simbol agama seperti rumah ibadah telah bergeser sebagai perlambang kesombongan. Ketika rumah ibadah ada yang menandingi, pemberangusan terjadi di mana-mana.

Betapa mirisnya jika umat Islam saat ini tengah terperangkap dalam pertikaian dan perpecahan karena gagal mengelola perbedaan. Padahal kitab sucinya satu, Al-Quran. Nabi yang dijunjung juga sama, Nabi Muhammad SAW. Lantas mengapa ini terjadi. Kenyataan ini mengingatkan kita pada kisah dua orang buta yang ngotot menjelaskan bentuk gajah. Seorang buta mengatakan bentuk gajah seperti bola, karena yang dipegang adalah perutnya. Seorang buta lainnya mengatakan gajah seperti tongkat karena yang dipegang adalah belalainya. Tak ada yang keliru dari keduanya karena perut dan belalai adalah bagian dari anggota tubuh gajah. Tapi, jika mereka melihat gajah secara utuh, tentu kesimpulannya berbeda dan tidak mungkin ada klaim bahwa dirinya yang paling benar. Sebab, dalam pendapatnya yang benar itu, juga ada pendapat orang lain yang juga mengandung kebenaran.

Menyikapi "kelainan" dalam tubuh Ahmadiyah sebaiknya dibicarakan melalui dialog tanpa akhir. Dialog adalah jalan manusiawi untuk tetap merawat perbedaan. Keputusasaan dalam dialog adalah hambatan terbesar membangun mimpi Indonesia dalam bingkai keragaman. Karena itu, Indonesia tak boleh dibajak oleh rezim yang pro anarki dan pemberangusan. Pejabat yang menggunakan kekuasaannya untuk menindas dan tak menghormati konstitusi selayaknya "disegel" dari sejarah perjalanan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar