Refleksi 16
Tahun Reformasi
Stagnasi
Gerakan Reformasi
Agust
Riewanto ; Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Mei 2014
SETIAP memasuki Mei bangsa Indonesia
memiliki memori kolektif sejarah yang tak mudah dipupus dari ingatan, yakni
21 Mei 1998 saat mundurnya Presiden Soeharto dari singgasana kekuasaan yang
digenggam selama 32 tahun akibat dari gelombang gerakan mahasiswa. Sejak
itulah berakhir era Orde Baru (Orba) dan dimulai era Reformasi. Tak terasa
kini era Reformasi tengah memasuki usia yang ke-16. Momentum ini selayaknya
kita melakukan refl eksi atas hasil-hasilnya.
Pascausainya Orba dan memasuki
babakan era Reformasi, ternyata energi intelektual dan kekuatan gerakan
reformasi dari hari ke hari kian meredup dan bahkan tak berbekas. Karena
cita-cita gerakan reformasi, berupa anti-KKN, supremasi hukum, pemerintahan
yang bersih, dan kesejahteraan rakyat yang kian merata, tak terwujud. Lihatlah
faktanya, kini kian masifnya perilaku korupsi elite politik, hukum kehilangan
roh keadilan, rakyat kian jauh dari rasa makmur dan sejahtera.
Pascalengsernya Orba tak lagi
transisional menuju konsolidasi demokrasi, sebagaimana diteorikan oleh Juan J
Linz dan Alfred Stephan dalam Problems of Democratic Transition and
Consolidation, (1996) tapi bersifat transaksional belaka, suatu ciri dan
tanda berkuasanya kroni-kroni rezim Orba dalam format politik baru di era
Reformasi. Perilaku politik rezim reformasi berkompromi dengan kekuatan
kroni-kroni Orba yang mengubah wajah politiknya dalam suasana era reformasi.
Ciri ini sangat anomali karena
sistem politik yang dibangun tidak memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang
jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan merampungkan sejumlah agenda
reformasi yang melahirkan transisi. Dampaknya, sejumlah agenda reformasi yang
diusung sebagai suatu momentum bersama untuk melangkah dalam kehidupan
politik yang lebih baik tidak terjadi.
Tertawan ideologi uang
Salah satu sebabnya hari-hari ini
uang telah menjadi ideologi baru bagi baik semua aktor reformis maupun yang
dulu antireformasi di hampir semua sektor publik, nyaris mengalahkan akal
sehat. Ideologi uang ini mirip seperti yang disinyalkan oleh sosiolog Ignas
Kleden (2004) yang memopulerkan istilah venalitas (venality), yakni gejala uang bisa digunakan untuk membayar dan
membeli hal-hal yang secara substansial tak mungkin bisa dibeli dengan alat
tukar uang.
Termasuk membeli hukum dan
keadilan. Hukum dan keadilan amat bergantung pada uang. Sikap mental
materialisme yang bertumpu pada uang itu kini menjadi ideologi para pekerja dan
pengabdi hukum kita sehingga budaya venalitas ini terus memasuki ruang-ruang yang
dulu mungkin tak dapat dan tak lazim dibeli dengan uang. Hukum dan keadilan
idealnya tak bisa dibeli dengan uang. Namun, realitasnya uang menjadi alat
tukar utama dan daya tawar utama akan terbitnya keadilan.
Di titik ini kita bisa melihat
semuanya bisa dibeli. Siapa memiliki modal, dialah penentu kebijakan politik.
Politik yang selama ini diwarnai politik aliran (nasionalis vs agama)
sebetulnya hanya permukaan. Realitasnya, tidak ada politik aliran yang
benar-benar memperjuangkan visi ideologinya. Yang berkuasa tetap si pemilik
modal itu.
Mengelola negara dagang
Aliran dalam politik sekadar
komoditas politik, bukan untuk memperjuangkan nilai ideologi yang terkandung.
Mereka bergantung pada pemilik modal. Ini yang menyebabkan ketidakmampuan
pemerintah bertindak tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Ini terjadi
tidak hanya di pusat kekuasaan politik di Jakarta, akan telah sampai berurat
nadi di pusat kekuasaan daerah (gubernur/bupati/wali kota), bahkan sampai di
kantor kepala desa di seluruh Indonesia.
Manajemen yang digunakan oleh
elite politik dan pejabat dalam mengelola negeri ini seperti pedagang pasar.
Wajarlah bila disebut negara dagang. Hampir semua kebijakan publik di negeri
ini diukur terlebih dahulu dari aspek untung-ruginya secara ekonomi dari si
aktor pengambil kebijakan. Bila untung, kebijakan dilanjutkan; sebaliknya
bila rugi, kebijakan ditinjau kembali.
Fenomena ini persis seperti
disinyalkan Yosihara Kunio (1978) yang menengarai kini telah lahir model
kapitalisme semu (pseudo-capitalism)
di Asia Tenggara termasuk Indonesia, akibat kongsi kebijakan publik dengan
kekuasaan politik dan ekonomi. Praktik tersebut bahkan dilakukan secara
terang-terangan. Padahal, praktik ini membawa dampak prosedur demokrasi tak
lagi berjalan mulus dan normal. Mengamati pergant an pemimpin politik di DPR
dan DPRD di negeri ini melalui pemilu legislatif 9 April 2014 lalu yang penuh
dengan politik uang (money politics)
yang masif. Tampaknya para caleg terpilih hasil Pemilu 2014 tidak akan
berdaya menghadapi jeratan ideologi uang. Untuk mengembalikan modal uang saat
pemilu. Akibatnya, wataknya bukan lagi pemimpin politik, tapi pedagang
politik yang memperjualbelikan kekuasaan melalui kebijakan sosial politik
yang propasar dan pemilik modal ketimbang rakyat.
Karena itu, sesungguhnya hasil
Pileg 2014 hanya penggantian elite kekuasaan politik, bukan pemimpin sejati.
Karena itu, setiap elite politik akan cenderung mengulang kesalahan
pendahulunya. Kini di gerakan reformasi yang telah menumbangkan penguasa
rezim Orde Baru, segera tampak kekuatan reformasi terjebak dan terpecah-pecah
dalam egoisme kekuasaan karena uang. Reformasi telah kehilangan maknanya yang
hakiki. Partaipartai politik bermunculan bak cendawan di musim hujan sejak
Pemilu 1999 hingga Pemilu 2014, dan setiap pemimpin mengukuhkan kekuasaannya
dengan mendirikan partai politik sebagai kendaraan hanya untuk mendapatkan
uang dan berbagi kekuasaan belaka.
Akibatnya, hari-hari ini bisnis
kekuasaan marak di manamana dan segera melahirkan korupsi, tidak hanya di
lembaga eksekutif, tetapi juga yudikatif, legislatif, bahkan lembaga agama,
dan partai politik. Akibatnya, kekuatan dan gerak reformasi seakan mengalami
stagnasi (kemacetan), tidak berdaya menahan dan mengatasi gelombang korupsi
yang kian menggila.
Pasca-16 tahun gerakan reformasi
sesungguhnya yang terlihat ialah memimpin upacara pengukuhan kekuasaan
melalui Pemilu 2014, bukan memikirkan nasib rakyat. Kesibukan penguasa ialah
mendatangi panggung upacara yang selalu diada-adakan, dari satu upacara ke
upacara lain, di pusat sampai daerah.
Sebaliknya pemecahan problem yang
dihadapi rakyat dengan sendirinya akan dipecahkan melalui mekanisme birokrasi
uang yang busuk dan dengan sendirinya akan melahirkan kebijakan publik yang
propemilik modal. Oleh karena itu, sesungguhnya ideologi uang telah
memacetkan dan menawan jalan reformasi di negeri ini.
Kini gerakan reformasi mengalami stagnasi
(kemacetan) dan terperangkap dalam lorong gelap. Sistem politik yang dibangun
tidak memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang jelas, khususnya dalam
konsolidasi demokrasi dan merampungkan sejumlah agenda reformasi yang
melahirkan transisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar