Islah
Partai Kakbah
Ridho Imawan Hanafi ;
Peneliti
dari Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 03 Mei 2014
MENANJAK
ke puncak kebuntuan, namun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menemukan titik
pertemuan. Melalui Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) III di Bogor Jawa
Barat, partai berlambang Kakbah sepakat mengakhiri konflik internal. Ketua
Umum PPP Suryadharma Ali mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada semua
pengurus dan kader. Selain itu, berakhirnya konflik membuat partai tersebut
harus kembali ke titik nol.
Sebelumnya
publik melihat Suryadharma Ali membawa lari PPP mendekati Partai Gerindra,
dengan calon presiden Prabowo Subianto. Suryadharma, yang kerap disebut
dengan insial SDA, menghadiri kampanye akbar pileg Gerindra di Senayan.
Setelah pileg, ia menerima Prabowo di
kantor DPP, mengumumkan kesepakatan koalisi. Langkahnya menuai tentangan dari
internal, dan percikan ketidaksetujuan itu menyulut bara konflik.
Partai
Kakbah kemudian terbelah dalam dua blok: mereka yang bersepakat dengan SDA
dan yang menentang. Salah satu tokoh dari blok penentang adalah Sekjen PPP
Romahurmuziy. Saling pecat menjadi jalan penghabisan mereka. Suryadharma memecat
mereka yang tak sepakat. Kubu Romahurmuziy membalasnya dengan memberhentikan
sementara Suryadharma. Oleh kubu penentang, langkah Suryadharma dinilai
menyalahi hasil Mukernas II di Bandung pada Februari 2014.
Dalam
Mukernas II Bandung, PPP memutuskan akan menjalin komunikasi dengan beberapa
nama capres. Waktu itu nama Prabowo tidak masuk dalam daftar nama yang
direkomendasikan. Maka langkah yang dilakukan SDA dinilai ilegal karena tidak
melalui mekanisme partai. Beruntung di antara dua perkubuan, berdiri kokoh
Ketua Majelis Syariah PPP KH Maimun Zubair. Melalui sejumlah fatwanya,
konflik internal diselesaikan melalui islah (damai).
Dari
jejak konfliknya, perkubuan atau faksi di PPP sebenarnya hanya
dilatarbelakangi perbedaan menyikapi atau merespons isu koalisi. Langkah
Suryadharma lebih cenderung sebagai manuver personal dan bukan institusional.
Manuver personal seperti itu dipersoalkan tatkala dibenturkan dengan
mekanisme atau aturan internal partai. Pasalnya, melihat mekanisme, keputusan
berkoalisi harus keluar melalui forum resmi yang telah disepakati.
Namun
melalui islah setidak-tidaknya ada keuntungan yang bisa dipetik. Pertama; PPP
bisa menunjukkan kepada publik sebagai partai yang dalam menyelesaikan
konflik berpegang pada mekanisme internal, bukan veto player figur pemimpin
atau mekanisme nonbaku. Merujuk Randall dan Svasand (2002), salah satu
variabel pelembagaan partai adalah systemness, yakni pengelolaan dinamika
internal. Melalui hal ini, pihak yang berkonflik diajak menyelesaikannya
lewat sistem partai sekaligus menumbuhkan tradisi berpartai secara sehat.
Perluasan Alternatif
Kedua;
membangun kembali soliditas internal yang sejauh ini terbelah. Soliditas
dibutuhkan terutama dalam persiapan menghadapi pilpres pada 9 Juli mendatang.
Dengan soliditas, mereka berkesempatan mendukung penuh siapa pun capres
pilihan partai sehingga dukungan yang diberikan tidak terbelah. Andai
terdapat keterbelahan sikap, tak saja merugikan PPP tapi juga pihak yang
didukung karena tidak memperoleh dukungan maksimal.
Ketiga;
PPP bisa memperluas alternatif pilihan ke mana mereka akan bersikap atau
berkoalisi dalam pilpres. Jika sebelumnya kencang diberitakan ketua umum PPP
akan berkoalisi dengan Gerindra maka islah sepertinya merevisi klaim
tersebut. Dengan perolehan suara menurut hitung cepat berkisar 6-7%, PPP bisa
melakukan penjajakan dengan poros PDIP, poros Golkar, kembali melirik poros
Gerindra, atau mencoba mendukung upaya poros yang tengah diinisiasi Partai
Demokrat.
Berkait
pilpres, ke mana sikap politik PPP diputuskan? Berkoalisi dengan PDIP
sepertinya menjadi pilihan ideal. Koalisi dengan partai banteng adalah cara
paling memungkinkan bagi PPP untuk meraih kemenangan pada pilpres. PDIP
memiliki capres Jokowi, yang sejauh ini tingkat elektabilitasnya tertinggi di
antara kandidat lain. Nama Jokowi jauh hari, tepatnya pada Mukernas II di
Bandung, sudah disebut untuk direkomendasikan Partai Kakbah sebagai salah
satu capres yang bisa diusung.
Koalisi
dengan PDIP makin menunjukkan tanda kuat setelah salah satu tokoh PPP yakni
mantan ketua umum Hamzah Haz menemui Megawati Soekarnoputri. Dalam pertemuan
tersebut, Hamzah menyatakan keinginannya bekerja sama dengan PDIP. Ia juga
mengingatkan bahwa PPP dan PDIP sudah pernah bekerja sama, terutama saat
Hamzah Haz menjadi wapres mendampingi Megawati.
Namun, menjatuhkan pilihan pada PDIP juga bukannya tanpa tantangan.
Salah satunya adalah bagaimana partai bisa meyakinkan internalnya bahwa
pilihan berkoalisi dengan partai banteng adalah jalan yang paling
memungkinkan untuk ditempuh. Sekaligus meyakinkan mitra koalisinya, terutama
PDIP, bahwa PPP akan solid mendukung penuh Jokowi sebagai capres, bukan
setengah hati. Hal itu mengingat sejauh ini masih terlihat sebagian internal
menginginkan jalinan koalisi bukan dengan PDIP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar