Kamis, 22 Mei 2014

Gaya Marah-Marah Para Kepala Daerah

Gaya Marah-Marah Para Kepala Daerah

Ardi Winangun ;  Penulis lepas, Tinggal di Jakarta
OKEZONENEWS,  21 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sepertinya gaya marah-marah dalam memerintah sekarang menjadi tren bagi para kepala daerah. Setelah Gubenur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, marah-marah saat melakukan sidak ke salah satu Jembatan Timbang, tak lama kemudian Walikota Surabaya Tri Rismaharini juga melakukan tindakan yang sama saat taman kebangaannya, Taman Bungkul, rusak ketika di tempat itu dijadikan sebuah acara. Marah bagi Risma itu bukan pertama, sebelumnya dirinya juga pernah marah-marah di sebuah pembangunan gedung karena adanya penyimpangan rancangan.

Tidak hanya Ganjar dan Risma yang suka memarahi aparat di bawah atau orang tertentu ketika mereka dianggap melakukan kesalahan. Wakil Gubenur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok pun gemar meluncurkan jurus marahnya kepada bawahan atau orang yang mempunyai kepentingan kepadanya bila mereka dianggap melakukan tidakan yang tak profesional. Bisa jadi ada kepala daerah yang lain yang suka atau sering marah-marah kepada bawahannya namun karena tak terekspos maka aksinya tidak diketahui banyak orang.

Marah-marah adalah buah dari gaya kepemimpinan yang menggunakan cara blusukan atau melihat secara langsung kondisi riel di bawah. Ketika mengetahui kondisi di bawah jauh dari yang dibayangkan oleh kepala daerah, hal demikian membuat kepala daerah menjadi berang atau naik darah. Kondisi demikianlah yang membuat kepala daerah mengumpat atau melepaskan emosinya. Jadi orang yang sering blusukan atau melihat secara langsung kondisi riel di bawah, ia akan sering marah-marah.

Mengapa kepala daerah harus marah-marah kepada orang lain saat memerintah? pertama, tingkat kinerja di lingkup pegawai negeri berbeda dengan kinerja pegawai di lingkup swasta. Di lingkup pegawai negeri selama ini terkenal sebagai institusi di mana kinerja pegawainya santai dan tidak diburu target. Hal demikian menciptakan rasa malas dan memunculkan pameo kalau bisa dikerjakan besok kenapa harus diselesaikan sekarang. Kondisi yang terjadi ini menahun sehingga menyebabkan kinerja pegawai negeri tak produktif dan lamban.

Kondisi yang demikian ditambah dengan para kepala daerah yang sebelumnya tak peduli dengan kinerja para pegawai negeri semakin menambah jeleknya produktivitas. Akibatnya kerja mereka asal-asalan atau menggunakan aji mumpung untuk kepentingan dirinya sendiri, melakukan pungli, korupsi, atau melakukan kegiatan usaha lain di saat jam kerja kantor.

Kita merasa syukur dengan adanya kepala daerah yang suka marah-marah. Kalau tidak dimarahi, sikap dan watak mereka tidak akan berubah. Bila tidak dimarahi mereka akan tetap bebal dan tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan kepada mereka. Dengan diberikan tindakan memarahi maka akan menjadi cemeti bagi kalangan pegawai negeri untuk mengerjakan tugasnya. Penulis yakin, bila kepala daerah di sebuah wilayah sering melakukan tindakan yang demikian maka kinerja pegawai di bawah pemerintahnnya akan menjadi lebih baik.

Kedua, namun bisa jadi sikap marah-marah yang ditunjukkan oleh para kepala daerah itu sebatas pencitraan. Saat ini kinerja para kepala daerah langsung disorot oleh masyarakat. Masyarakat bisa dengan mudah membuat komentar di jejaring sosial berbagai hal tentang daerahnya. Untuk menunjukkan kinerjanya itu maka kepala daerah membangun citra dirinya sedang dan telah bekerja. Citra yang dibangun itu seperti blusukan atau marah-marah kepada orang lain meskipun dengan tanpa marah sebenarnya masalah itu bisa diselesaikan. Dengan marah-marah kepala daerah itu seolah memberikan kabar, ini lho saya sedang serius bekerja.

Menjadi pertanyaan, haruskah marah-marah sebagai solusi untuk mengubah keadaan malas dan tak produktif menjadi kondisi di mana para pegawai negeri giat bekerja? Itu bisa saja dilakukan namun kalau marah-marah sering diekspresikan itu akan menunjukkan kepala daerah itu pemberang atau kena penyakit darah tinggi. Tak hanya itu, bila marah-marah menjadi gaya maka itu bisa menjadi bumerang sebab akan menimbulkan kebencian bagi banyak pihak. Kepala daerah yang suka marah-marah akan membuat suasana di kantor dinas-dinas dan badan-badan akan menjadi tegang. Ketegangan inilah yang malah membuat produktifitas itu tak muncul.

Bila kepala daerah suka menunjukkan gaya kepemimpinan marah-marah maka untuk membuat keseimbangan atau daya tawar dari marah-marahnya, ia harus memuji dan memberi apresiasi kepada bawahannya. Dengan memuji dan memberi apresiasi kepada bawahannya akan menunjukkan bahwa kepala daerahnya suka kepada orang yang giat bekerja dan membenci kepada orang yang malas atau berbuat salah. Tindakan memuji akan membuat para pegawai negeri lebih giat bekerja. Mereka giat bekerja bukan karena dimarahi namun diberi dorongan lewat cara yang simpati. Sayangnya belum ada kabar Ahok, Ganjar, dan Risma, memuji dan memberi apresiasi kepada para pegawainya yang giat dan sukses menjalankan tupoksinya.

Gaya kepala daerahnya dalam membangun wilayahnya memang bisa berbeda-beda. Walikota Bandung, Ridwan Kamil, meski disebut oleh sebuah media online pernah marah namun video rekamannya belum pernah beredar sedang marah-marah, seperti Ganjar, Ahok, dan Risma, di depan pegawainya atau masyarakat Bandung. Meski tanpa marah-marah, namun pembangunan di kota kembang itu berjalan bahkan penuh dengan kreatifitas. Bisa jadi Ridwan dalam membangun wilayahnya dengan pendekatan hati dan budaya sehingga tanpa dimarahi pun pegawainya bisa mengubah kinerjanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar