Membangunkan
Harimau Tidur
Karyudi
Sutajah Putra ; Tenaga Ahli
DPR
|
SUARA
MERDEKA, 21 Mei 2014
MULUTMU
harimaumu. Mengerekah kepala kamu. Begitu Kivlan Zein buka mulut bahwa dia yang
pernah menjabat kepala staf Kostrad mengetahui 13 aktivis yang dihilangkan
dengan cara ditembak atau dibuang pada 1997/1998, dan pengakuannya itu
menjelma menjadi ìharimauî yang mengejar dia. Para aktivis lain ibarat macan
terbangunkan dari tidurnya. Mereka menuntut Komnas HAM dan Kejaksaan Agung
memeriksa Kivlan.
Namun,
bekas anak buah Prabowo Subianto itu bergeming. Ia hanya mau bersaksi di
pengadilan atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Kivlan menilai
langkah Komnas HAM memanggilnya terkait penculikan 13 aktivis tidak akan
menyelesaikan masalah. Ia minta agar semua pelanggaran HAM masa lalu seperti
pemberontakan DI/TII (1953) dan PRRI/Permesta (1958), pembantaian PKI (1965),
peristiwa Talangsari (1989), dan kerusuhan Poso (1998) diungkap.
Kivlan
benar, tapi tak sepenuhnya tepat. Mengapa benar? Bangsa ini tidak bisa
dibangun di atas kebohongan. Siapa yang bertanggung jawab terhadap
pembantaian orang-orang yang dituduh anggota DI/TII, PRRI/Permesta dan PKI,
harus jelas.
Siapa
yang bertanggung jawab terhadap pembantian pascakerusuhan di Talangsari,
Lampung, juga harus jelas. Pun dalam kasus Poso. Mengapa tak sepenuhnya
tepat? Bila semua kasus itu hendak diungkap, kapan selesai? Untuk mengungkap
kasus penculikan aktivis yang selalu dirangkaikan dengan tragedi Trisakti (12
Mei 1998), Semanggi I (11-13 November 1998) dan Semanggi II (23 September
1999) saja, butuh waktu tak sedikit.
Hingga
16 tahun setelah terjadi, penyelesaian kasus-kasus itu masih menggantung di
awang-awang. Bagaimana bisa dibentuk Pengadilan Ad Hoc HAM atau KKR bila
untuk bersaksi di Komnas HAM sebagai bahan penyelidikan saja tak mau? Setelah
ada proses peradilan dan ditentukan siapa pihak yang bersalah, barulah
dilakukan rekonsiliasi. Forgive but not
forget.
”Sedekah”
September
2009 DPR merekomendasikan Presiden SBY untuk membentuk Pengadilan Ad Hoc HAM.
Namun sampai hendak berakhir masa jabatannya, belum ada tanda-tanda SBY
memenuhinya, bahkan sampai para keluarga korban, yang dimotori Sumarsih,
ibunda BR Norma Irawan, korban Semanggi I, menggelar aksi berdiri di depan
Istana Merdeka tiap Kamis, dikenal sebagai aksi Kamisan, hingga kali ke-352..
Aksi
Kamisan ini barangkali bisa diibaratkan sebagai ìngemisî (berasal dari kata
Kemis (Kamis) yang pada zaman kerajaan dulu dilakukan rakyat jelata untuk
meminta sedekah kepada keluarga raja yang dilakukan tiap hari Kamis. Bedanya,
bila dulu rakyat jelata meminta sedekah berupa uang atau makanan, kini para
keluarga korban meminta sedekah berupa Pengadilan Ad Hoc HAM.
Mengapa
SBY seakan menabukan Pangadilan Ad Hoc HAM, toh sudah ada yurisprudensinya,
yakni Pengadilan Ad Hoc HAM untuk kasus Timor Timur (1991) dan Tanjung Priok
(1984)? Semoga tak terkait esprit de corps yang salah kaprah, mengingat SBY
berlatar militer dan yang dituduh terlibat pelanggaran HAM diduga pihak
militer.
Saat ini
berkas perkara penyelidikan kasus penculikan 13 aktivis masih bolak-balik di
Komnas HAM dan Kejagung. Kalau memang tak mau bersaksi di depan Komnas HAM,
mestinya Kivlan tak perlu melontarkan pengakuan yang hanya mengusik macan
tidur. Apalagi saat ini pihak yang dituduh, Prabowo, menjadi calon presiden
untuk Pilpres 9 Juli 2014. Ataukah sesungguhnya Kivlan sedang mengirim pesan
kepada pihak-pihak yang dianggap lawan politik untuk bersikap adil? Kalau kasus
penculikan 1997/1998 hendak dibuka, mengapa kasus-kasus lain tidak, termasuk
kasus 27 Juli 1996 di mana saat itu SBY menjabat Kepala Staf Kodam Jaya?
Sesungguhnya
Kivlan atau pihak mana pun tak perlu defensif. Sebab, Komnas HAM dalam
laporannya tahun 2006 menyatakan, penangkapan orang-orang tahun 1997/1998
adalah bagian dari operasi resmi negara, dan orang-orang yang ditangkap Tim
Mawar dari Kopassus berjumlah 9 orang, semua sudah kembali hidup-hidup,
sementara orang lain yang tersisa ditangkap oleh pasukan lain, dan karena
Prabowo hanya bertanggung jawab atas tindakan Kopassus maka nasib orang yang
masih hilang bukan tanggung jawab dia.
Akan
halnya Prabowo, saat kasus terjadi menjabat Komandan Jenderal Kopassus,
pihaknya selalu menggunakan korban penculikan, yang kemudian bergabung ke
partainya, sebagai legitimasi ketakterlibatan dia. Mereka antara lain Desmon
J Mahesa dan Pius Lustrilanang yang kemudian terpilih menjadi anggota DPR.
Keduanya bagian dari 9 korban penculikan yang dikembalikan, sedangkan 1
korban lain meninggal, yakni Nugroho Iskandar alias Gilang. Tujuh lainnya
adalah Aan Rusdiyanto, Andi Arief, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Mugiyanto,
Nezar Patria, dan Raharja Waluya Jati.
Sementara
13 aktivis lain hingga kini belum kembali. Mereka adalah Yani Afri alias
Rian, Sonny, Deddy Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Herman Hendrawan,
Petrus Bima Anugerah, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Hendra Hambali,
Abdun Nasser dan penyair Wiji Thukul.
Pertanyaannya,
apakah keengganan Kivlan memberikan keterangan bisa berimplikasi pidana?
Pasal 165 KUHP mengamanatkan tiap orang yang mengetahui atau memiliki
informasi tentang tindak pidana harus melaporkannya kepada aparat penegak
hukum. Bila tidak, dapat dikategorikan menghalang-halangi pengungkapan
keadilan (obstruction of justice)
sehingga bisa dipidanakan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar