Gaya
Marah-Marah Para Kepala Daerah
Ardi
Winangun ; Penulis
lepas, Tinggal di Jakarta
|
OKEZONENEWS,
21 Mei 2014
Sepertinya
gaya marah-marah dalam memerintah sekarang menjadi tren bagi para kepala
daerah. Setelah Gubenur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, marah-marah saat
melakukan sidak ke salah satu Jembatan Timbang, tak lama kemudian Walikota
Surabaya Tri Rismaharini juga melakukan tindakan yang sama saat taman
kebangaannya, Taman Bungkul, rusak ketika di tempat itu dijadikan sebuah
acara. Marah bagi Risma itu bukan pertama, sebelumnya dirinya juga pernah
marah-marah di sebuah pembangunan gedung karena adanya penyimpangan
rancangan.
Tidak
hanya Ganjar dan Risma yang suka memarahi aparat di bawah atau orang tertentu
ketika mereka dianggap melakukan kesalahan. Wakil Gubenur Jakarta Basuki
Tjahaya Purnama alias Ahok pun gemar meluncurkan jurus marahnya kepada
bawahan atau orang yang mempunyai kepentingan kepadanya bila mereka dianggap
melakukan tidakan yang tak profesional. Bisa jadi ada kepala daerah yang lain
yang suka atau sering marah-marah kepada bawahannya namun karena tak
terekspos maka aksinya tidak diketahui banyak orang.
Marah-marah
adalah buah dari gaya kepemimpinan yang menggunakan cara blusukan atau
melihat secara langsung kondisi riel di bawah. Ketika mengetahui kondisi di
bawah jauh dari yang dibayangkan oleh kepala daerah, hal demikian membuat
kepala daerah menjadi berang atau naik darah. Kondisi demikianlah yang membuat
kepala daerah mengumpat atau melepaskan emosinya. Jadi orang yang sering
blusukan atau melihat secara langsung kondisi riel di bawah, ia akan sering
marah-marah.
Mengapa
kepala daerah harus marah-marah kepada orang lain saat memerintah? pertama,
tingkat kinerja di lingkup pegawai negeri berbeda dengan kinerja pegawai di
lingkup swasta. Di lingkup pegawai negeri selama ini terkenal sebagai
institusi di mana kinerja pegawainya santai dan tidak diburu target. Hal
demikian menciptakan rasa malas dan memunculkan pameo kalau bisa dikerjakan
besok kenapa harus diselesaikan sekarang. Kondisi yang terjadi ini menahun
sehingga menyebabkan kinerja pegawai negeri tak produktif dan lamban.
Kondisi
yang demikian ditambah dengan para kepala daerah yang sebelumnya tak peduli
dengan kinerja para pegawai negeri semakin menambah jeleknya produktivitas.
Akibatnya kerja mereka asal-asalan atau menggunakan aji mumpung untuk
kepentingan dirinya sendiri, melakukan pungli, korupsi, atau melakukan
kegiatan usaha lain di saat jam kerja kantor.
Kita
merasa syukur dengan adanya kepala daerah yang suka marah-marah. Kalau tidak
dimarahi, sikap dan watak mereka tidak akan berubah. Bila tidak dimarahi
mereka akan tetap bebal dan tidak mau mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan
kepada mereka. Dengan diberikan tindakan memarahi maka akan menjadi cemeti
bagi kalangan pegawai negeri untuk mengerjakan tugasnya. Penulis yakin, bila
kepala daerah di sebuah wilayah sering melakukan tindakan yang demikian maka
kinerja pegawai di bawah pemerintahnnya akan menjadi lebih baik.
Kedua,
namun bisa jadi sikap marah-marah yang ditunjukkan oleh para kepala daerah
itu sebatas pencitraan. Saat ini kinerja para kepala daerah langsung disorot
oleh masyarakat. Masyarakat bisa dengan mudah membuat komentar di jejaring
sosial berbagai hal tentang daerahnya. Untuk menunjukkan kinerjanya itu maka
kepala daerah membangun citra dirinya sedang dan telah bekerja. Citra yang
dibangun itu seperti blusukan atau marah-marah kepada orang lain meskipun
dengan tanpa marah sebenarnya masalah itu bisa diselesaikan. Dengan
marah-marah kepala daerah itu seolah memberikan kabar, ini lho saya sedang
serius bekerja.
Menjadi
pertanyaan, haruskah marah-marah sebagai solusi untuk mengubah keadaan malas
dan tak produktif menjadi kondisi di mana para pegawai negeri giat bekerja?
Itu bisa saja dilakukan namun kalau marah-marah sering diekspresikan itu akan
menunjukkan kepala daerah itu pemberang atau kena penyakit darah tinggi. Tak
hanya itu, bila marah-marah menjadi gaya maka itu bisa menjadi bumerang sebab
akan menimbulkan kebencian bagi banyak pihak. Kepala daerah yang suka
marah-marah akan membuat suasana di kantor dinas-dinas dan badan-badan akan
menjadi tegang. Ketegangan inilah yang malah membuat produktifitas itu tak
muncul.
Bila
kepala daerah suka menunjukkan gaya kepemimpinan marah-marah maka untuk
membuat keseimbangan atau daya tawar dari marah-marahnya, ia harus memuji dan
memberi apresiasi kepada bawahannya. Dengan memuji dan memberi apresiasi
kepada bawahannya akan menunjukkan bahwa kepala daerahnya suka kepada orang
yang giat bekerja dan membenci kepada orang yang malas atau berbuat salah.
Tindakan memuji akan membuat para pegawai negeri lebih giat bekerja. Mereka
giat bekerja bukan karena dimarahi namun diberi dorongan lewat cara yang
simpati. Sayangnya belum ada kabar Ahok, Ganjar, dan Risma, memuji dan
memberi apresiasi kepada para pegawainya yang giat dan sukses menjalankan
tupoksinya.
Gaya
kepala daerahnya dalam membangun wilayahnya memang bisa berbeda-beda.
Walikota Bandung, Ridwan Kamil, meski disebut oleh sebuah media online pernah
marah namun video rekamannya belum pernah beredar sedang marah-marah, seperti
Ganjar, Ahok, dan Risma, di depan pegawainya atau masyarakat Bandung. Meski
tanpa marah-marah, namun pembangunan di kota kembang itu berjalan bahkan
penuh dengan kreatifitas. Bisa jadi Ridwan dalam membangun wilayahnya dengan
pendekatan hati dan budaya sehingga tanpa dimarahi pun pegawainya bisa
mengubah kinerjanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar