Rumah
Kebangsaan yang Gerah
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS, 08 April 2017
Perjalanan bangsa Indonesia saat
ini mencapai titik yang mengkhawatirkan. Hal ini dilihat dari cara berpikir,
berekspresi, dan berperilaku yang mempertajam perbedaan berdasarkan
primordialisme-agama dan sentimen politik.
Primordialisme, paham yang
berbicara tentang ”kembali ke akar” budaya, kini mengalami perluasan makna.
Tidak lagi sebatas kesukuan/tribalisme, tetapi juga penguatan kelompok
berdasarkan ”keyakinan” atau interes politik, ikatan solidaritas sosial dan
kepentingan ekonomi, serta ”kesamaan keyakinan agama”. Akibatnya, terjadi
polarisasi dalam kehidupan masyarakat.
Setiap pihak atau kelompok
senantiasa melakukan klaim atas kebenarannya sendiri. Jika klaim itu
dilakukan di ”rumah sendiri”, tidak terlalu masalah. Namun, ketika hal itu
dibawa di ranah publik atau ”rumah kebangsaan”, yang terjadi adalah konflik.
Roh
liberalisme
Kenyataan di atas tidak lepas dari
penguatan liberalisme yang membonceng dan bertopeng demokrasi. Liberalisme
memberikan peluang kepada setiap individu dan kelompok untuk mendapatkan
serta menggunakan kebebasan ”tanpa batas”.
Ketika roh liberalisme ini memasuki
tubuh dan memberikan sifat pada demokrasi, maka demokrasi pun menjadi
kebablasan, seperti dikatakan Presiden Joko Widodo. Ketika liberalisme
merasuki ekonomi, ekonomi yang berlaku cenderung bebas, ganas, dan
bersemangat pertarungan (kompetisi anti-keadilan), yang menang hanya kelompok
ekonomi bermodal besar dan kuat. Muncullah kapitalisme liberal yang tidak
memiliki empati sosial, terutama terhadap kaum miskin.
Ketika liberalisme merasuki jagat
politik, yang muncul dan dominan adalah politik yang menyembah
berhala-berhala kebebasan niretika dan kepentingan yang jauh dari tujuan
menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Kue kesejahteraan dibagi hanya untuk
kelompok elite.
Kini, bangsa ini memasuki era yang
mencemaskan, yaitu suatu kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang
ditentukan oleh kuasa politik dan modal yang mendapat angin liberalisme.
Mereka selalu berkontestasi untuk merebut kekuasaan dengan seluruh aset yang
dikandungnya. Berbagai cara mereka tempuh, termasuk memompa sentimen-sentimen
primordialisme-keagamaan dan sentimen politik yang terbukti mampu menjadi
magnet sosial.
Masyarakat pun menjadi mudah
digerakkan. Ketika mobilisasi dilakukan, terjadilah konflik horizontal berupa
pertarungan ”ide”, ”sentimentalitas agama dan politik”, ataupun ketegangan
sosial yang mencemaskan.
Akibat turun dari kenyataan di
atas, antara lain, bangkitnya masyarakat sektarian (level agama) dan
masyarakat partisan (level politik). Pada masyarakat sektarian terjadi
radikalisasi nilai-nilai agama yang mengguncang ”irisan” agama dan negara.
”Kamar-kamar”
sumpek
Salah satu indikatornya adalah
munculnya desakan untuk menggunakan sistem nilai keyakinan agama tertentu
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini dilakukan baik secara sistemik
maupun nonsistemik, misalnya ujaran verbal dan visual yang mengekspose
simbol-simbol dan pesan-pesan tertentu. Cara ini dilakukan selain untuk
meneguhkan identitas kelompok juga demi memperluas pengaruh dan dukungan
politik. Agama selalu diyakini sebagai resep yang manjur untuk melakukan
kapitalisasi sosial dan politik.
Sementara pada masyarakat partisan
terjadi akumulasi sentimen politik untuk meneguhkan kekuasaan yang
didukungnya. Wujud kekuasaan itu bisa tokoh, bisa pula sistem dan
kebijakannya.
Komunitas-komunitas masyarakat
yang semula berposisi sebagai ”pendukung” kekuasaan dalam arti yang longgar
dan luas, akhirnya mengalami penyempitan, pengetatan, dan pengerucutan. Lalu,
muncullah politik partisan atau partisanisme.
Bagi komunitas partisan, kekuasaan
yang didukung selalu dianggap benar dan baik. Tak peduli ada banyak hal yang
harus dibaca dan ditinjau ulang. Daya kritis meredup atau memang tidak lagi
dihidupkan karena dianggap sudah tidak relevan.
Selain itu, komunitas partisan
yang aktif dan ”dekat” dengan kekuasaan melakukan perayaan atau pengagungan
kekuasaan melalui berbagai cara dan media. Tujuan pokoknya adalah memperkokoh
citra kekuasaan tertentu, sekaligus memproduksi nilai-nilai yang
menguntungkan kekuasaan yang mereka dukung.
Hal yang sangat terasa sekarang
adalah suasana gerah di dalam rumah kebangsaan kita. Indonesia Raya, yang
semula berupa ”rumah” yang lebar dan luas penuh kedamaian, kini tereduksi
menjadi ”kamar-kamar” tanpa pintu tembus.
Ada kamar sektarianisme. Ada kamar
primordialisme. Ada juga kamar partisanisme. Keberadaan kamar-kamar itu
akhirnya mendesak ruang nasionalisme yang sejatinya punya hak atas seluruh
rumah besar kebangsaan.
Setiap komunitas penghuni kamar
cenderung berjarak dengan penghuni kamar lainnya karena tiap-tiap pihak hanya
memperjuangkan kepentingan sendiri. Termasuk kurang peduli pada
komunitas-komunitas ”senyap” rakyat miskin-papa yang terserak di luar kamar.
Kaum miskin-papa hanya bisa jadi
penonton ”pergelaran teater politik” dan pesta kelompok-kelompok elite. Gerah.
Sumpek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar