Minggu, 09 November 2014

Menghindari Penaklukan Kultural

Menghindari Penaklukan Kultural

Agus Maladi Irianto  ;  Antropolog,
Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 08 November 2014
                                                
                                                                                                                       


MEMBACA Indonesia hari ini adalah gambaran tentang masyarakat konsumen yang tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi. Sejak hiruk-pikuk orang memadati  shopping mall, hingga potret hutan kota yang dipenuhi baliho iklan parfum, telepon genggam, apartemen, makanan cepat saji, dan suplemen obat kuat.

Membaca Indonesia hari ini adalah gambaran tentang generasi tua yang berusaha melakukan konservasi budaya, dengan generasi kontemporer yang berjuang mengikuti pengetahuan dan peradaban bangsa yang terus-menerus berubah. Membaca Indonesia hari ini adalah gambaran kebudayaan yang tidak statis dan tidak mapan, melainkan berubah dan bergerak.

Sejalan dengan itulah, menjadi menarik ketika menyimak susunan kabinet Jokowi-JK, yang dideklarasikan beberapa hari lalu. Dalam struktur tersebut, kata ”kebudayaan” menjadi salah satu diskursus yang bakal dijadikan kebijakan pemeritah. Terlepas siapa yang jadi menterinya, setidak-tidaknya sudah ada dua kementerian yang memasang kata ”kebudayaan”, yakni Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah (dengan singkatan tetap Kemdikbud) dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Dua kementerian tersebut seolah-oleh menegaskan bahwa eksistensi bidang kebudayaan sebenarnya tidak kalah penting dibanding bidang lain seperti politik, ekonomi, hukum, tekonologi, pertanian, dan sebagainya. Adanya dua kementerian yang menggunakan kata ”kebudayaan” itu, berarti mengindikasikan bahwa kebudayaan merupakan isyu penting yang patut mendapat perhatian dalam konstelasi kebijakan pemerintah ke depan.

Niat negara menangani persoalan kebudayaan melalui struktur kabinet tersebut di satu sisi memberi angin segar, namun di sisi lain tidak menutup kemungkinan melahirkan kekhawatiran. Kekhawatiran akan mengemuka jika nilai strategis kebudayaan dijadikan alat negara untuk mengendalikan ruang kreatif masyarakat.

Kebijakan pemerintahan Soeharto yang cenderung mengedepankan struktur (politik) justru telah mengalahkan kultur (masyarakat). Masih lekat dalam ingatan kita tentang politik kebudayaan Orde Baru, ketika kebudayaan justru dimanipulasi untuk kepentingan status quo penguasa.

Atas nama menangani  kebudayaan, pemerintah  pada waktu itu justru telah mengendalikan ruang kreatif warga negaranya. Dengan menempatkan kebudayaan pada struktur pemerintahan, Soeharto melakukan penaklukan daya kultural masyarakat. Jika dalam struktur pemerintahan Jokowi-JK kali ini telah menempatkan kebudayaan.menjadi bagian kebijakannya, maka tidak berlebihan jika kita pun menjadi khawatir.

Namun saya berusaha tidak larut dalam kekhawatiran berkepanjangan. Setidak-tidaknya, saya masih ingat janji Jokowi ketika kampanye bahwa dia akan membawa bangsa ini berkepribadian secara kultural. Dengan berpegang konsep Trisakti Bung Karno, saya justru sangat berharap pemerintahan Jokowi-JK menempatkan diskursus kebudayaan sebagai payung sejumlah kebijakannya.

Di era kontemporer saat ini, tanggung jawab negara menangani diskursus kebudayaan dapat dilihat sebagai kebijakan pembangunan harkat dan martabat manusia seutuhnya dalam merespons perkembangan peradaban bangsa. Dari sinilah, diharapkan lahir strategi kebudayaan. Strategi itu merupakan gerakan menuju kesadaran, kemartabatan, dan kepribadian kultural bangsa.

Pemikiran Pascamodernitas

Perkembangan  fenomena sosial saat ini, pada dasarnya telah melampaui pemikiran modernitas —yang ditandai dengan munculnya industri barang dan jasa— menuju pemikiran pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan konsumsi budaya. Untuk itulah, sesungguhnya permasalahan pokok tentang negara menangani  kebudayaan tidak semata-mata bertolak dari ketakutan menghadapi globalisasi.

Gambaran Indonesia hari ini yang lebih ditandai oleh perkembangan teknologi informasi dan diorganisasi konsumsi budaya, maka kehadiran negara dalam menangani kebudayaan janganlah berhenti sekadar melakukan konservasi semata. Saya berkeyakinan bahwa konservasi tanpa ada gerakan revitalisasi sama saja mendorong kebudayaan tersebut ke ambang kehancuran.

Bertolak dari sejumlah gambaran tersebut, dengan adanya dua kementerian kebudayaan dalam struktur pemerintahan Jokowi-JK, saya justru sangat berharap kepribadian kultural bangsa ini jadi kekuatan yang harus selalu dinegosiasikan. Sebaliknya, saya tidak berharap dengan ditempatkannya kultur (masyarakat) menjadi bagian dari struktur (politik) membuahkan tindakan penaklukan kultural.

Saya juga tidak berharap dua kementerian yang menggunakan kata ”kebudayaan” itu, akan dijadikan sarana manipulasi kepentingan negara demi pengendalian kreativitas warga negara. Semoga dengan dimasukkan kultur dalam struktur justru akan mampu menegaskan tentang strategi kebudayaan menuju kesadaran, kemartabatan, dan kepribadian kultural bangsa Indonesia ini ke depan.

1 komentar: