Membuka
Akses ke Ruang Domestik
Putu Fajar Arcana ; Wartawan
Seni dan Budaya
|
KOMPAS,
23 November 2014
Biografi
selalu menuntun kita memasuki ruang lebih dalam dari seseorang. Di dalamnya
kita bisa melihat aktivitas, kebiasaan, dan perilaku, bahkan kecenderungan
karakter yang kemudian tersembul lewat kenyataan sehari-hari. Bukan tak
mungkin kita diajak bertamasya ke ruang domestik.
Begitulah
pameran Apa Kabar Ibu? #2 yang dihelat 14 perempuan, 17-28 November 2014 di
Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Secara lebih spesifik pameran unik ini
memberi topik pameran biografi kesenian. Memang ”benda-benda” yang dipamerkan
bukan ”hanya” karya seni, tetapi segala sesuatu, termasuk aktivitas
sehari-hari, yang berkaitan dengan biografi kesenian seseorang. Terminologi
ini ”berusaha” memecahkan kebekuan pengertian seniman, pengurus seni, dan
pencinta seni.
Kurator
pameran, Anunsiata Srisabda, kemudian memilih para seniman seperti Ully Sigar
Rusady (musisi), Heyi Ma’mun (perupa), Sugiyati Anirun (aktor), Ine Arini
(tari), Yvonne de Fretes (penyair), Sammaria Simandjuntak (sineas), Tiarma
Sirait (art fashion), Moel Soenarko (penyulam), Marintan Sirait (body
movement), Ken Atik Djatmiko (tekstil), Anne Nurfarina (drawing), Herra
Pahlasari (manajemen seni), Attina Nuraini (perupa), dan Yunis Kartika
(visual art). Apa yang bisa dipamerkan dari keberagaman profesi ini?
Paling
menarik apa yang dilakukan Herra Pahlasari selaku pengelola manajemen kesenian.
Sejak mendirikan s.14, semacam ruang presentasi karya-karya seniman di
Bandung, Herra berusaha memecahkan batas-batas antara ruang domestik di
rumahnya dan ruang ekspresi para pengunjung s.14. Ruang tamu adalah juga
ruang pameran, ruang keluarga menjadi ruang diskusi, garasi menjadi tempat
workshop dan perpustakaan. Peleburan ruang-ruang ini sejak semula menjadi
mimpi Herra, ketika ia ingin menghancurkan menara gading seni dengan
masyarakat.
Seluruh
aktivitas di dalam s.14 itulah yang kemudian dipresentasikan Herra dalam Apa
Kabar Ibu? #2. Di situ ada foto keluarga, video, perpustakaan, dan segala
macam benda di rumah tinggal, termasuk tembok yang penuh corat-coret. Herra
memberinya tajuk ”Berbagi Ruang Berbagi Gagasan”, di mana Anda bisa mencorat-coret
sekehendak hati di tembok ruang pamer.
Menarik
juga apa yang dipamerkan musisi balada Ully Sigar Rusady. Selain selendang
yang menjadi ciri khasnya pada setiap momen menyanyi, Ully membawa serta
kotak gitar yang penuh ditempeli stiker dari berbagai bandar udara di
Indonesia. Penempelan itu sungguh jelas mengabarkan balada Ully yang
mencintai perjalanan ke berbagai daerah Nusantara sambil membawa pesan-pesan
pelestarian lingkungan.
Kotak
gitar mewakili sebagian biografi kesenimanan Ully. Keseniman itu tumbuh
seiring dengan perjalanannya menyusuri jejak kota-kota, sembari menembangkan
kecintaan kepada Tanah Air.
Kegelisahan
Perupa
Yunis Kartika gelisah bukan karena keinginan menemukan bahasa yang tepat
untuk mewujudkan karyanya, tetapi melihat kenyataan betapa beban ledakan
jumlah bayi itu ditumpukan kepada para perempuan. Pada karya berjudul ”Nina
Bobo, Anakku Akan Jadi Apa?” ia menghamparkan sosok para bayi di lantai
Galeri Nasional Indonesia. Sementara di tembok tergantung seorang ibu yang sedang
menggendong bayi. Perempuan itu gelisah dan terus mengurai angka-angka
statistik. Bahwa setiap tahun setidaknya lahir 4,5 juta bayi di Indonesia.
Angka yang fantastis! Beban itu seolah ditanggung sendirian oleh perempuan.
Tak henti ia bertanya, ”Akan jadi apa bayi-bayi itu kelak, jika kondisi
bangsa terus-menerus begini?”
Sementara
penulis Yvonne de Fretes dengan mesin ketik manual di mejanya menulis dalam
”Sajak dan Wanita”, begini: ”…kita memang wanita negeri ini/ku tak ingin
mencatat jumlah cinta/yang kita pasrahkan di sini/pun tak
menggugat/ruang-ruang yang kadang mendadak bisu/ambang yang didesak
kesenyapan/kecuali ingin menembus kegelisahan/yang sama kita pahami/meraih
apa pun yang tampak di depan sana//.
Kegelisahan
yang serupa bukan? Perempuan senantiasa ditempatkan pada bilik yang terkunci
rapat oleh dominasi nilai, yang sebagian besar ditentukan oleh maskulinitas.
Sekat-sekat yang ingin dipecahkan Herra, jelas dibentuk oleh berbagai aturan
berbau maskulin. Bahwa ruang domistik haruslah menjadi keniscayaan, di mana
akses publik dibatasi. Herra memberontaki nilai itu dengan mendirikan ruang
s.14, yang kemudian menghancurkan aturan-aturan maskulin tadi.
Selain berbicara tentang biografi kesenian, pameran ini juga
menyodorkan ruang kebebasan kepada para perempuan untuk mendobrak
kesehariannya yang beku, keseharian yang diawasi dan dibatasi ruang-ruang
domestik secara ketat. Pembebasan itulah yang kemudian mendorong para
perempuan untuk ”memublikasi” ruang domestik sebagai bentuk ”perlawanan”. Perlawanan
terhadap dominasi maskulinitas yang meletakkan perempuan dalam posisi lemah,
tak berdaya, bahkan tak memiliki harapan masa depan.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar