Ulah
DPR dan Sepak Bola Gajah
Gunawan Witjaksana ; Dosen
dan Ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 08 November 2014
“Tinggal dua pilihan yang bisa
dilakukan DPR: mau mengubah sikap atau tetap memperlihatkan adu kekuatan”
KITA saat ini sangat
gusar oleh ulah sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang setelah
sebulan dilantik terus melakukan benturan, bahkan saat ini terbelah dua
kelompok. Di sisi lain juga kecewa dengan sepak bola kita yang seharusnya
dijadikan pangkal suportivitas tapi malah mempertontonkan sepak bola gajah
hingga dua tim yang melakukan didiskualifikasi.
Meski sifat dan tujuannya
berbeda, PSIS dan PSS sama-sama takut dan ingin menghindari Borneo FC di
semifinal, dan DPR dua kelompok saling berdalih ingin menyejahterakan rakyat
dengan versi masing-masing, urgensi keduanya sama. Baik DPR maupun tim sepak
bola itu sangatlah memalukan dan tidak mampu menjaga marwah lembaganya.
Keduanya pun memperoleh kecaman bertubi-tubi dari masyarakat, baik langsung,
melalui media massa, bahkan media sosial.
Sadar dan segera mau berubahkah keduanya? Atau sebaliknya akan
tidak acuh dan terus nyenyak dalam mimpi yang memuakkan hingga rakyat
terpaksa menjauhinya, dan bila perlu menindaknya?
Kita yang saat ini hidup dalam era informasi yang penuh
kebebasan dan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, terlebih sekelas
elite politik DPR atau pemain, pelatih, dan manajer klub sepak bola, mestinya
paham kekuatan media. Dengan fungsi mediasi dan advokasinya yang makin
maksimal maka apa pun yang mereka lakukan, tentu cepat tersebar hingga ke
seantero jagad.
Betapa malunya mestinya, bila sikap dan perilaku buruk mereka
terlipatgandakan melalui kekuatan pelipatgandaan pengetahuan (multiplier of knowledge) oleh berbagai
media sehingga rakyat mengetahui dan menilainya. Terlebih dari dampak
komunikasi seperti yang disampaikan Towne dan Alder, komunikasi itu tidak
bisa diulang dan diperbaiki (communication
is unrepeatable and irreversible). Nenek moyang kita pun jauh lebih
cermat dan menasihatkan bahwa sabda
padhita ratu, tan kena wola-wali.
Intinya, sikap dan perbuatan orang atau sekelompok orang yang
hakikatnya adalah pesan komunikasi itu tidak boleh terkonotasi buruk, karena
konotasi buruk (karakter buruk) tersebut akan berpengaruh terhadap
kredibilitas orang atau lembaga, seperti sinyalemen Yale.
Terpuruknya prestasi persepakbolaan kita yang baru saja mulai
beranjak pulih dengan sedikit prestasi U-19, kembali ternodai oleh dua klub
divisi utama yang akhirnya didiskualifikasi. Demikian pula dengan citra DPR
dan partai politik (parpol) yang hampir pada titik nadir, bahkan makin
terpuruk dengan model pemilihan brutal karena mengandalkan dana, ternyata
diperparah oleh sikap dan perilaku buruk anggota yang terliput media, setelah
terpilih.
Teori Kekerasan
Alasan mengalihkan konflik ke legislasi tatkala mereka berdalih
pada UU Pilkada yang tidak langsung, ternyata justru memberikan tontonan
sekaligus contoh buruk kepada masyarakat akar rumput. Wakil rakyat barangkali
lupa atau bahkan tidak tahu ada teori kekerasan melalui televisi: aggressive cues theory dan observasional learning theory, yang
justru memicu akar rumput belajar sekaligus mencontoh tanda-tanda kekerasan
yang mereka pertontonkan.
Para elite sering dengan gampangnya menuduh rakyat belum dewasa
dalam berpolitik. Namun, kenyataannya justru rakyat sudah sangat dewasa.
Bersatu dan guyupnya rakyat ketika mengadakan pesta menyambut pelantikan
Jokowi-JK sebagai presiden-wakil presiden dengan melupakan pilihannya ketika
Pilpres 2014, seharusnya membuat para elite malu dan introspeksi, sekaligus
berkaca pada sikap dan perilaku rakyat. Pepatah kebo nusu gudel, seharusnya
mereka anut, terlebih bila mengaku menjalankan demokrasi Pancasila.
Demokrasi Pancasila yang
intinya mengedepankan musyawarah mufakat, dalam bahasa komunikasi sama saja
dengan dialog. Sebuah dialog akan berhasil menemukan titik temu (mutual understanding) bila para pihak
yang berdialog mau saling mengalah. Sebaliknya, jalan buntu seperti kita
saksikan saat ini semata karena kata musyawarah itu hanya lips service, namun kenyataannya yang
kuat tetap berupaya memaksakan kehendak.
Akhirnya, tinggal dua pilihan yang bisa dilakukan DPR. Mengubah
sikap, saling berdialog, saling mengalah sehingga tercapai titik temu demi
kemaslahatan rakyat, bangsa dan NKRI seperti antara lain dijanjikan Ketua
MPR. Atau sebaliknya, tetap memperlihatkan adu kuat tanpa penyelesaian, dan
pemerintah yang tampak prorakyat tidak bisa bekerja sehingga akhirnya rakyat
marah dan memorakporandakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar