Nusantara
di Tepi Mediterania
Diajeng Pangestri Larashati ; Penari, Tinggal di Bandung
|
JAWA
POS, 24 November 2014
PADA
hari ketiga Festival Constellation #4,
saya menarikan sebuah nomor yang diberi tajuk Miliers D’Iles atau Ribuan Pulau. Saya menari di Musee d’Art (museum seni) di Toulon,
Prancis. Di sekeliling terpacak gambar yang melukiskan kota dari negara
kepulauan yang terus bergerak. Gambar-gambar itu merupakan karya Gunawan,
perupa asal Bandung.
Saya
membayangkan Sinta dalam epos Ramayana, yang mesti menghadapi tegangan antara
kebaruan dan kelampauan, modernitas dan tradisi, kosmopolitanisme dan
pedalaman. Saya menari sembari mengisahkan tafsir perihal Sinta. Benarkah ia
objek tarik-menarik dua kuasa tanpa kesempatan menjadi subjek? Bagaimana bila
Sinta bukan korban? Saya akhiri pentas dengan melepas batik, melakukan hand-stand dengan kaki mengangkang ke
langit.
’’Saya tak pernah menonton ada tarian dari
Indonesia dimainkan di sini,’’ kata Tata Noer, seorang WNI
yang bekerja di Toulon. ’’Balutan
kontemporernya membuat kami merasakan sesuatu yang segar. Jangan hilangkan
warna tradisimu,’’ komentar Bi Jia Yang, penari dari Taiwan.
Indonesia
mendapat tempat penting dalam Festival
Constellation #4, 19–21 September silam, terutama karena Kubilai Khan,
kelompok tari yang dibangun Frank Micheletti yang juga inisiator festival,
melakukan residensi di Indonesia cukup lama. Frank bahkan membuka festival
itu dengan pertunjukan berjudul Island
in Between yang mengadopsi konsep Nusantara. Kita tahu, Nusantara berasal
dari kata ’’nusa’’ dan ’’antara’’, di antara nusa, Island in Between.
Dalam Islands in Between, tujuh penari
menari mengelilingi globe besar yang terletak di sebuah plaza. Penampilan
berlangsung hingga larut malam. Tujuh penari utama dipecah dalam sekuen
masing-masing di tempat yang berbeda di berbagai sudut area Place du Globe. Saya didapuk menari di
studio foto milik seorang fotografer. Sara Tan dan Bi Jia ditempatkan di
kelab malam. Gabriela melakukan art
performance di galeri. Idio Chicava di sebuah lantai dasar apartemen
bekas. Esse menari solo di Galeri Metaxu. Dan Erwann bersama Tsirihaka
mengentakkan drum, menekan keyboard, dan meniup saksofonnya di studio tato Neo Vintage.
Saya
menjadi satu di antara tujuh penari utama grup Kubilai Khan Investigation (KKI) pada Festival Constellation #4. Frank merasa perlu mengundang
representasi Indonesia untuk menjelaskan keselarasan visi Kubilai Khan Investigation dengan
konsep Nusantara. Kami bertemu saat KKI melaksanakan residensi di Bandung
pada Mei 2014. Difasilitasi Institut
Francais Indonesie (IFI), KKI bekerja sama dengan banyak seniman Bandung
seperti Bottlesmoker, Etza Meisyara, Tisna Sanjaya, Komunitas Jendela Ide, dan Body Movement. Kolaborasi KKI dengan seniman Bandung mewujud dalam Constellation Bandung dan menjadi
acara pembuka Festival Printemps
Francais 2014.
Ballades Urbaines (Balada
Urban) menjadi tema Constellation Festival #4 2014. Frank melibatkan 50
seniman dari 14 negara. Antara lain, Mozambik, Taiwan, Singapura, Indonesia,
Syria, Meksiko, Belgia, dan Prancis sendiri. Menggunakan 16 spot di penjuru
Kota Toulon sebagai tempat pertunjukan selama tiga hari, menghadirkan
pertunjukan tari, musik, serta lagu di kota yang menjadi markas angkatan laut
Prancis itu.
Saya
bertanya kepada Frank mengapa memilih nama Kubilai Khan. ’’Dia orang Mongol yang menguasai Asia dan Eropa. Kira-kira kami
ingin menjembatani kebudayaan Asia dan Eropa serta dunia secara luas.
Sehingga yang terjadi adalah pemahaman, bukan penguasaan.’’
Frank
lahir dan besar di Toulon, kota di tepi Laut Mediterania, kawasan penting
bagi sejarah Eropa. Meliputi Eropa di sisi utara, Afrika di sisi selatan, dan
Asia di sisi timur, laut itu menjadi penghubung banyak bangsa untuk berbagai
keperluan: perdagangan, penyebaran agama, hingga peperangan.
Dibimbing
kesadaran historis itulah, inisiatif Frank membuat festival dengan tema
Ballades Urbaines jadi lebih masuk akal saat mengundang berbagai seniman dari
lintas negara budaya. Dan itulah yang memang dilakukannya. Akhirnya, Festival
Constellation #4 tergelar dengan merayakan seni urban sembari menjunjung
tinggi kosmopolitanisme budaya.
Hal itu
terlihat saat pertunjukan digelar di Tour Royale, sebuah benteng yang
dibangun pada masa Renaissance oleh arsitek Italia. Di tempat itulah, mulai
pukul 15.00 hingga tengah malam, berbagai nomor pertunjukan ditampilkan di
hadapan publik Toulon yang sedang bergairah menikmati hari-hari terakhir
musim panas Laut Mediterania.
Antusiasme
tampak pada makin banyaknya warga yang datang. Mereka tidak hanya menonton,
tapi juga menyambut ajakan penampil yang coba melibatkan mereka.
Sophiatou
Kossoko, penari sekaligus koreografer dari Afrika Selatan, tampil membawakan ’’Although I Live Inside… My Hair Will
Always Reach Toward the Sun…’’, yang memadukan tari kontemporer, seni
instalasi, dan story telling. Kossoko berhasil membuat penonton menjadi
bagian aktif dalam penampilannya. Penonton bisa mengikuti instruksi Kossoko
untuk berpindah arah duduk dan hadap. Dia menggunakan properti seperti kolam
plastik yang diisi air dan penonton bisa bermain di dalamnya.
Esse
(Belgia) dan Sara (Singapura) tampil duet dalam sebuah penampilan berjudul Time Is A Test of Trouble. Keduanya
mampu menguasai dermaga sebagai panggung guna bercerita tentang pencarian
identitas perempuan urban. Adegan penutupnya mengundang aplaus: melompat ke
laut sebagai simbol pilihan bunuh diri. Apa yang dilakukan Esse dan Sara
memperlihatkan bagaimana seni urban tak mungkin mengabaikan identitas dan
dinamika sebuah kota yang menjadi latarnya.
Melompat
ke laut memperlihatkan kepekaan keduanya pada situasi Toulon yang hangat,
pada hari-hari terakhir musim panas. Warga datang ke dermaga tidak hanya
untuk pertunjukan, tapi juga berenang. Melompat ke laut, akhirnya,
memperlihatkan kepekaan kedua penari akan dinamika, hasrat, serta kehidupan
sehari-hari warga Toulon.
Saya sungguh
menikmati hari-hari di Toulon. Saya menikmati udara Laut Mediterania di musim
panas, menikmati suasana Toulon yang tenang dan hangat, serta menikmati
kehadiran kesenian yang menyelinap begitu saja dalam denyut keseharian kota.
Seni kontemporer terlihat dan terasa lebih jelas, lebih konkret, dan
lebih membumi. Barangkali itulah hal terpenting yang bisa saya unduh selama
berada di tepi Laut Mediterania di Kota Toulon. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar