Revolusi
Mental Berawal dari Bahasa
Frans Sartono ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
23 November 2014
Revolusi
mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki bahasa, yaitu
untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Itu pandangan
Sudaryanto, doktor linguistik yang puluhan tahun mencurahkan perhatian dan
pikirannya pada bahasa.
Hiruk-pikuk
kehidupan, termasuk kehidupan di panggung politik, tidak lepas dari peran
bahasa. Ada yang menggunakan bahasa untuk menusuk perasaan, menyakiti,
mengutuk. Orang lupa pada fungsi hakiki bahasa yaitu untuk mengembangkan akal
budi, dan memelihara kerja sama.
Ketika
akal budi tidak dikembangkan, ketika kerja sama tidak dipelihara dengan
bahasa, maka hasilnya? Mungkin hiruk-pikuk di pentas politik, dan
peristiwa-peristiwa di sekitar kita akan menjelaskan hasil tersebut. Meja
bergelimpangan, batu-batu beterbangan....
Bahasa
diberikan kepada manusia itu sebenarnya untuk apa? Bertahun-tahun Sudaryanto,
doktor linguistik yang lulus dengan predikat cum laude dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1979,
itu mencoba mengidentifikasi fungsi bahasa. Ada dua fungsi bahasa yang ia
sebut sebagai khas dan hakiki yaitu mengembangkan akal budi dan memelihara
kerja sama.
Sejauh
ini orang mengidentifikasi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.
Itu
bukan spesifikasi bahasa. Untuk alat komunikasi, bukan bahasa verbal pun
bisa. Apa pun yang keluar dari hati bisa diungkapkan. Tapi, untuk
mengungkapkan isi hati, kan, tidak harus dengan bahasa. Dengan tindakan,
dengan kesenian juga bisa kok. Dengan kata lain kita sebetulnya belum
mengidentifikasi fungsi bahasa itu sebetulnya untuk apa.
Saya
sebagai orang yang terjun di bidang bahasa berusaha memikirkan betul-betul,
mestinya kalau orang diberikan bahasa verbal, mestinya ada fungsi yang khas.
Fungsi yang hanya bisa dijalankan oleh bahasa, dan tidak mungkin oleh yang
lain. Saya mengidentifikasi fungsi bahasa yang khas dan sangat hakiki ada dua,
yaitu untuk mengembangkan akal budi dan untuk memelihara kerja sama.
Akal
budi itu hubungannya dengan kesadaran. Akal budi itu, kan, agar untuk orang
menjadi sadar, dan yang disadari itu mestinya nilai-nilai. Mengembangkan
nilai-nilai, akal budi, itu hanya bisa lewat bahasa verbal ini.
Untuk memelihara kerja sama, juga hanya dengan
bahasa?
Kalau
hanya untuk kerja sama saja, tanpa untuk memelihara, itu bisa saja tanpa
bahasa. Wong kita neson-nesonan
(saling marah) saja masih bisa kerja sama kok. Tapi, untuk memelihara harus
pakai bahasa. Jadi, tampaknya dua fungsi itu yang esensial dan tak bisa
digantikan dengan yang lain. Saya sendiri sudah puluhan tahun berusaha
menentang pendapat saya ini, tapi tidak bisa. Karena hanya dengan bahasa
verbal itulah kita bisa memelihara.
Konflik politik, diselesaikan dengan bahasa?
Setiap
ada konflik, entah itu taraf lokal, nasional seperti yang terjadi DPR, atau
bahkan kelas dunia, mau tak mau harus kembali menggunakan bahasa verbal,
dialog, musyawarah. Ketika ada konflik Israel dengan Palestina, mereka harus
berdialog, musyawarah. Mereka menggunakan bahasa verbal tadi.
Seperti
juga ketika Jokowi menjadi Wali Kota Solo, dia menggunakan dialog dengan
pedagang kaki lima. Dialog tidak sekali, tapi sampai sekian puluh kali, dalam
sekian bulan. Karena kalau tidak ada dialog, tidak dengan bahasa, ya tidak
bisa. Kalau kita menyadari fungsi hakikinya, orang tidak akan bisa
semena-mena menggunakan bahasa.
Mengapa?
Karena
hanya dengan menyadari fungsi hakiki dan setia pada fungsi hakiki itu bahasa
menjadi kreatif. Kalau tidak, pasti tidak menjadi kreatif. Coba kita
marah-marahan, mengumpat-umpat nanti, kan, bahasa tidak kreatif. Kata-katanya
ya itu-itu saja.
Lain itu
kalau untuk mengembangkan akal budi dan untuk betul-betul memelihara kerja
sama, akhirnya menjadi sangat kreatif. Seperti di dalam dunia ilmiah, seni,
kepengarangan, bahkan juga di dalam dunia bisnis yang sungguh-sungguh. Saya
kira itu merupakan hal yang layak disadari oleh kita semua.
Mengapa dua fungsi itu?
Mestinya
ada yang lebih mendasar lagi yaitu agar setiap manusia itu bisa menjadi
sesama buat yang lain. Sebab tanpa itu, tidak bisa menjadi sesama. Untuk
menjadi sesama, dialognya memang luar biasa. Itu mengapa kita perlu orang
lain, bahkan dalam keluarga itu ada suami istri karena mau tak mau kita harus
mengembangkan dialog. Orang yang berkeluarga 25 tahun saja dimungkinkan untuk
tidak klop kok.
Itu
artinya kita menjadi manusia itu harus berdialog terus-menerus, sebab tanpa
dialog tidak bisa menjadi sesama. Padahal di keluarga itulah puncaknya orang
untuk menjadi sesama. Kalau di luar keluarga masih ada sekat, tapi kalau
dengan bojo, (suami/istri) atau dengan anak, jaraknya apa?
Oleh
karena itu di keluarga kita dididik betul menjadi manusia, lepas dari orang
yang mendapat kelebihan, ora nikah ya ra popo itu kita anggap orang yang luar
biasa. Orang ditempatkan di suatu kondisi sehingga yang bersangkutan itu bisa
menjadi sesama, untuk bisa mengembangkan akal budinya, untuk bisa bekerja
sama, harus dialog.
Budaya
Lebih
jauh dalam pandangan Sudaryanto, kebudayaan pun hanya bisa ada karena dua
fungsi bahasa tersebut. Kebudayaan ada kalau akal budi berkembang, juga kalau
ada kerja sama yang bisa dipelihara. Sudaryanto melihat ada kaitan yang
sangat erat dan esensial, dan bahkan ”mutlak”.
”Jadi ada hubungan antara memelihara kerja sama,
mengembangkan akal budi lewat bahasa, dan memunculkan kebudayaan,
menghadirkan kebudayaan. Bukan hanya menghadirkan tapi juga memelihara
kebudayaan, memperlancar berkembangnya kebudayaan, memanfaatkan kebudayaan,
sampai menikmati kebudayaan. Itu satu keutuhan,” kata
Sudaryanto.
”Saya tidak tahu kalau saat ini, terjadi perubahan
yang luar biasa, apakah hal ini disadari tidak oleh tokoh-tokoh kita, siapa
pun mereka. Kalau ini disadari, persoalannya saya kira akan menjadi lebih
jelas. Harus dikembalikan ke situ.”
Kaitannya dengan revolusi mental?
Kalau
kaitannya dengan revolusi mental saya kira kita harus kembali menyadari
fungsi hakiki bahasa. Kalau kita menyadari hal itu, saya kira revolusinya
dimungkinkan. Karena revolusi mental itu sebenarnya, kan, kembali agar orang
itu bisa mengembangkan akal budi, dan bisa memelihara kerja sama sehingga
bisa menciptakan, menghasilkan, memelihara, memanfaatkan, dan menikmati
kebudayaan. Dengan begitu, orang bisa menjadi sesama bagi yang lain. Revolusi
mental itu seharusnya ke sana. Itu menurut hemat saya lho.
Rancu
Namun
demikian, terjadi pamahaman yang rancu tentang kebudayaan. Hal itu tampak
pada penamaan lembaga. Dulu ada fakultas ”sastra dan kebudayaan”. Jadi,
kebudayaan dan sastra itu seakan setara. Ada juga ”seni dan budaya”, lantas
”bahasa, sastra, dan budaya”.
”Kenapa
kita menyetarakan kebudayaan itu dengan macam-macam. Misalnya pariwisata dan
kebudayaan. Jadi, seakan ada budaya, dan ada pariwisata, setingkat. Ada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi di sini, ada pendidikan sendiri,
ada pula kebudayaan sendiri. Jadi wajar sekali kalau sampai hari ini orang
menentukan yang namanya kebudayaan itu tidak cetha, (tidak jelas.)
Kebudayaan itu apa?
Kalau
kita kaitkan bahasa, lalu pengembangan akal budi, memelihara kerja sama yang
itu semua memungkinkan terciptanya kebudayaan, saya kira kebudayaan itu ya
keseluruhan dari manifestasi wujud manusia. Jejak dan langkah manusia demi
penghidupan dan kehidupannya itulah kebudayaan.
Sekarang ada Menteri Koordinator Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan. Menurut Anda?
Ya
bagaimana kita tidak kacau. Lalu yang menjadi masalah selanjutnya, sekiranya
kita itu menyetujui bahwa harus ada kebudayaan yang memang harus
dikembangkan, dan harus bisa dinikmati, terus kebudayaan macam apa? Ini perlu
dipikirkan. Kalau tidak ada gambaran yang jelas mengenai kebudayaan, ke depan
Indonesia itu saya kira akan menjadi repot.
Pendurgunaan bahasa
Sudaryanto
menengarai adanya pendurgunaan bahasa. Pendapat yang mengatakan bahwa bahasa
itu alat untuk mengeluarkan isi hati, lupa bahwa hal itu itu telah
mengawafungsikan atau mendisfungsikan bahasa. Hal itu justru menggunakan
bahasa tidak sebagaimana yang menjadi fungsi bahasa.
”Banyak kegiatan yang mengawafungsikan,
mendisfungsikan, atau istilah saya mendurgunakan bahasa, atau menggunakan
bahasa untuk hal yang jahat dan kejam.”
Sudaryanto
menambahkan bahwa ia tidak suka menggunakan dengan istilah ”kekerasan”,
karena bagi dia tidak begitu konkret. ”Misalnya
kekerasan seksual atau apa. Saya menggunakan kejahatan dan kekejaman seksual,
karena konkret dan karena hal itu memang jahat dan kejam. Kalau kekerasan itu
tidak ada lawan katanya. Lalu apa (lawan katanya), kelunakan?” katanya.
”Selama
kita tidak menyadari fungsi yang hakiki tadi pasti muncul hal-hal seperti
itu. Selama bahasa tidak menjadi kreatif, maka orang akan cenderung mendurgunakan
atau mengawafungsikan bahasa. Sebab kalau sesuai dengan fungsi yang
sesungguhnya, bahasa itu akan selalu berkembang dengan kreatif.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar