Mengapa
Prasetyo?
Reza Indragiri Amriel ; Psikolog Forensik, Alumnus The University of
Melbourne,
Terlibat dalam Berbagai Program Reformasi Yudisial
|
KORAN
SINDO, 26 November 2014
Pengangkatan
M Prasetyo sebagai jaksa agung masih memancing polemik panjang. Kebanyakan
kritik mempermasalahkan latar belakang Prasetyo sebagai seorang politisi,
tepatnya politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem). Beriringan dengan itu
adalah penilaian tentang minimnya prestasi Prasetyo selama bekerja sebagai
seorang jaksa karier.
Attitudinal Model
Mustahil
penegak hukum mampu bekerja dengan berlandaskan semata-mata pada landasan
hukum. Alihalih, penegak hukum sangat dipengaruhi oleh preferensi
ideologisnya saat membuat putusan. Makna attitudinal model sedemikian rupa
memang ditelurkan dari berbagai riset tentang bagaimana hakim membuat putusan
hukum. Namun, menganalogikan kerja jaksa yang hingga derajat tertentu
memiliki kemiripan dengan kerja hakim, boleh jadi attitudinal model juga bisa
diterapkan guna memahami perilaku jaksa.
Attitudinal
model , sebagai salah satu manifestasi new legal empiricism, merupakan
tandingan terhadap legal model . Para ilmuwan yang berada pada mazhab new
legal empiricism menaruh skeptisisme mendalam terhadap serbaneka doktrin yang
mengesankan penegak hukum sebagai sosok yang mampu menepis pengaruh-pengaruh
ekstralegal terhadap kerja legal mereka.
Kajian-kajian new legal empiricism membuktikan bahwa justru unsurunsur
subjektivitas penegak hukum yang bermain sangat dominan di dalam proses
kognitif penegak hukum, yang pada akhirnya memengaruhi ragam putusan yang
para punggawa hukum itu hasilkan. Dengan attitudinal model, bisa dipahami
bahwa latar belakang Prasetyo sebagai politisi sangat mungkin diwarnai
ideologi kepartaiannya. Ideologi kepartaian NasDem itulah, yang mengacu pada
attitudinal model, berkelindan dengan ideologi hukum Presiden Jokowi.
Kecocokan
ideologis sedemikian rupa menjadi alasan di balik keputusan Jokowi menunjuk
Prasetyo sebagai pucuk pimpinan korps adhiyaksa. Pada sisi lain, attitudinal
model menjadi dasar argumentatif bagi kekhawatiran bahwa ideologi kepartaian
akan menjadikan Prasetyo sebagai sosok partisan sesuatu yang diharamkan bagi
penegak hukum. Sepintas lalu kerisauan macam itu masuk akal.
Tetapi,
apabila cermatan dilakukan terhadap program-program hukum Partai NasDem,
sebagaimana uraian Taufik Basari selaku ketua bidang hukum, advokasi, dan HAM
partai tersebut pada laman hukumonline, kegundahan sebagian kalangan akan
figur Prasetyo tampak berlebihan.
Dari sekian
banyak fokus program Partai NasDem, terdapat tiga area yang paling
berhubungan dengan lembaga kejaksaan agung yakni pemberantasan korupsi,
revisi legislasi terkait hak asasi manusia, dan revisi KUHAP. Pada ketiga
bidang tersebut, posisi Partai NasDem tidak memperlihatkan sesuatu yang baru
apalagi orisinal.
Hanya pada
bidang pemberantasan korupsi, Partai NasDem terlihat bertentangan dengan arus
utama opini publik. Ketika sebagian besar masyarakat masih menginginkan KPK
berkonsentrasi pada kerja penindakan, Partai NasDem papar Taufik memandang lembaga antirasuah
tersebut lebih tepat mengkhususkan diri pada kerja preventif.
Betapa pun
demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa banyak pihak, baik parpol maupun
bukan parpol, yang telah lebih dahulu menunjukkan perhatian pada tiga area
program hukum Partai NasDem tersebut. Tambahan lagi, penegasan Taufik Basari
bahwa Partai NasDem bertekad menegakkan Pancasila dan UUD 1945 (disertai
upaya amendemen) semakin mengunci NasDem sebagai parpol yang katakanlah ideal
normatif dan steril dari ideologi-ideologi lain.
Strategic Model
Alih-alih
mempersoalkan kemungkinan campur tangan ideologi kepartaian terhadap kerjanya
selaku jaksa agung, pertanyaan khalayak luas akan kapasitas dan integritas
Prasetyo hemat saya justru lebih tepat jika didasarkan pada strategic model .
Menurut model ini, penegak hukum mempertimbangkan matang-matang dampak
putusan yang dihasilkannya.
Baik dampak pada tataran makro (hingga level nasional)
maupun mikro (kepentingan personal si penegak hukum). Berbeda dengan
attitudinal model yang memandang unsurunsur fundamental (ideologi,
keyakinan/belief) sebagai pengintervensi kerja penegak hukum, strategic model
justru meyakini bahwa langkah atau program penegak hukum sangat ditentukan
oleh orientasi jangka pendek, lebih superfisial, dan berbasis pada pemikiran
(kognitif) semata.
Logika penegak hukum bukan lagi berdasarkan pada
tafsiran ideologis akan kebenaran dan keadilan, melainkan pada seberapa jauh
kerja yang ia tampilkan dapat mengamankan kepentingan tertentu sekaligus
mengeliminasi kepentingan pihak lain.
Pada tujuan strategis itulah terarah kecemasan bahwa
Prasetyo akan memfungsikan jabatan jaksa agung sebagai instrumen politik,
namun tetap dengan dalih hukum, untuk meremukkan pihak-pihak yang
berseberangan dengan kepentingan makro dan mikro tadi. Filter Prasetyo untuk
menangkal intervensi-intervensi nonhukum tersebut tampaknya tidak cukup kuat.
Pertama, dari sisi pribadi, Prasetyo tidak terekam
dalam catatan publik sebagai individu penegak hukum dengan marwah istimewa.
Kedua , dari sisi latar organisasi kejaksaan, karier Prasetyo dirintis dan
dibangun dalam sebuah institusi hukum yang dinilai masih harus melakukan
reformasi besar terhadap sistem dan kultur kelembagaannya. Juga, dari sisi
latar organisasi kepartaian, NasDem sebagai parpol belia belum cukup kokoh
menata orientasi dan implementasi fokus kerja hukumnya.
Lalu
Berhadapan dengan kritisi publik, Presiden Jokowi
sepatutnya memberikan penjelasan substantif dan terbuka mengenai
pertimbangan-pertimbangannya dalam memilih Prasetyo selaku jaksa agung. Tidak
hanya transparansi itu dibutuhkan sebagai model acuan bagi seluruh lembaga
penegak hukum dalam menegakkan merit system untuk membangun karier para
personelnya, penjelasan Jokowi juga akan berfungsi sebagai pedoman bagi
masyarakat untuk menilai kinerja Prasetyo kelak.
Apalagi manakala komentar-komentar sinis hingga kini
masih deras tertuju ke sosok ”misterius” menteri hukum dan HAM, kian mendesak
tuntutan terhadap Jokowi untuk menyampaikan penjelasan tentang pengangkatan
jaksa agung baru tersebut. Tanpa itu, jangan salahkan publik jika sudah mulai
bersimpulan sejak dini bahwa area penegakan hukum pemerintahan Jokowi-Jusuf
Kalla tidak usah terlalu banyak diharapkan. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar