Menjadi
Percontohan Kurikulum 2013
Lily Halim ; Guru dan Kepala SD Kristen Kalam Kudus,
Yogyakarta
|
KOMPAS,
26 November 2014
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan akan memutuskan ”nasib”
Kurikulum 2013 pada akhir semester I, berarti Desember tahun ini. Akankah
dilanjutkan, dilanjutkan dengan evaluasi, atau ditunda pelaksanaannya?
Semua
memang sedang dalam kajian. Yang jelas, belum ada umpan balik dari 6.000
SD yang menjadi proyek percontohan,
Kurikulum 2013 sudah dipaksakan untuk dijalankan.
Tahun
2013 sekolah kami ditunjuk menjadi salah satu SD percontohan. Ibarat dua sisi
mata uang, ada rasa senang karena mungkin kami akan lebih paham lebih dulu dibandingkan dengan SD lain. Namun,
ada juga risiko karena ketergesaan dan ”bau politik” yang menyengat. Selain
kami, total ada 15 SD di Kota Yogyakarta yang menerapkan Kurikulum 2013 di
kelas I dan IV.
Pada
tahun pertama, kami para guru berdarah-darah untuk bisa memahami, mengolah, memilah,
sekaligus ”memasak” agar rasa ”kurikulum” tetap enak dan nikmat bagi siswa.
Mengapa kami sampai bersusah payah?
Sudah
rahasia umum bahwa Kurikulum 2013 disiapkan secara ”kejar tayang”, serba
cepat, dan tergesa-gesa. Kurikulum dan turunannya, yaitu buku, sudah pasti
penuh ranjau di sana-sini. Tak hanya itu, bekal pendidikan dan latihan
(diklat) untuk kami juga sangat kurang. Maka, agar siswa tidak menginjak ranjau, sang guru/pendidik harus
benar-benar mengolah kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, dan
merancang kegiatan dengan pendekatan saintifik, sekaligus penilaian yang
otentik.
Sungguh
tidak mudah menyiapkan itu semua. Masih untung, salah satu dari kami pernah
terlibat litbang SD Eksperimen Romo Mangun. Mengolah dan memasak kembali kurikulum
dan buku sudah pernah dilakukannya sehingga dengan segera melihat hakiki
Kurikulum 2013. Bagaimana dengan sekolah lain?
Kelebihan dan kekurangan
Di
tengah kebingungan melaksanakan pada tahun pertama, kami bersepakat tidak mau
terpuruk dan berusaha memelihara
semangat agar siswa tetap terlayani dengan baik.
Di
tengah ketergesaan, kekurangan, dan kesalahan buku, kami bersyukur tema-tema
Kurikulum 2013 sangat kontekstual alias dekat dengan siswa. Banyak tema yang
digemari siswa karena merupakan bagian dari keseharian siswa SD. Sebenarnya,
Kurikulum 2013 memberikan ruang cukup untuk pengembangan pengetahuan
dan keterampilan siswa, juga sikap yang bisa distimulus dari setiap kegiatan.
Sayang, keleluasaan untuk eksplorasi kurang sehingga tema bagus, tetapi ruang
eksplorasi dibiarkan sepi.
Selama
”bergaul dan bekerja sama” dengan dinas dan sekolah sesama percontohan, kami
merasakan pendampingan implementasi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
pendampingan administrasi. Padahal, guru SD percontohan dan SD-SD di negeri
ini membutuhkan pendampingan intensif karena memahami dan melaksanakan apa
yang disebut pendekatan saintifik dan penilaian otentik itu tidak mudah.
Perlu revolusi mental dari kebiasaan guru ”ceramah” menjadi seorang
fasilitator. Lompatan tersebut memerlukan perubahan paradigma.
Sebagai
SD yang pernah melaksanakan percontohan, kami
bisa mengungkapkan bahwa Kurikulum 2013 secara konsep bagus. Ada dua
hal yang nyata beda dengan kurikulum sebelumnya, yaitu pendekatan saintifik
dan penilaian otentik. Namun, justru pemerintah kurang memberikan
pendampingan maksimal dalam dua hal tersebut.
Tidak
heran jika guru bingung, meraba-raba bak berjalan di tempat gelap. Maka,
salah satu hal yang perlu diperbaiki adalah pendidikan dan pelatihan guru terlebih
dahulu. Kenyataannya, diklat kurikulum tak selalu menambah paham, hanya
menambah materi ke sekolah.
Kurangi administrasi
Jika
diklat perlu ditingkatkan mutunya, sebaliknya pendampingan formal
administrasi dikurangi karena memberatkan. Kami semakin repot melayani
permintaan data dan mengisi instrumen dari berbagai pihak.
Siswa SD
kami jika ditanya banyak yang senang dengan Kurikulum 2013 karena ada
beberapa yang dipraktikkan, didiskusikan. Belajar dengan mengamati, menanya,
menganalisis, tetapi untuk itu sang guru perlu menyiapkan ”peta belajar” agar siswa dapat menemukan
dan membangun pengetahuannya.
Sebagai
guru yang pernah mengalami kurikulum 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013,
kegiatan dan tema Kurikulum 2013 memang lebih variatif sehingga jika dilakukan dengan baik dan
benar, pastilah siswa akan senang belajar, bukan menghafal.
Kesimpulannya, Kurikulum 2013 bisa dilanjutkan dengan revisi kesalahan,
perbaikan sistem diklat, dan pendampingannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar